Mudah-mudahan cerita ini menjadi
bahan renungan, bahwa setia itu tidak diukur oleh faktor yang tampak, tapi
lebih didominasi oleh komitmen dan cinta yang terarah. Mudah-mudahan SETIA yang
terbentuk hanya berasal dari cinta kepada Allah.
Jujur saja, dunia kuliah kadang
menjemukan. Dalam canda, sering aku dan teman-teman melontarkan pertanyaan
“Kapan ya giliran si ibu sakit ?”. Sulit juga mencari standar sakit buat Ibu,
karena sudah sekitar lima
tahun beliau berperang melawan kanker. Padahal menurut prediksi dokter luar
negeri yang menangani pengobatannya, seharusnya diperkirakan dua tahun yang
lalu usianya habis. Ternyata Alhamdulilah, sampai kini Ibu masih segar bugar.
Dalam kegembiraan, mau tidak mau ada
juga rasa gelisah yang hadir dalam pikiranku “Ada apa dengan ibu yah ? “. Masih teringat
senyum dan semangat Ibu saat memberi kuliah seminggu yang lalu. Walau sebelah
matanya sudah diperban. Namun, sedikitpun tidak terbersit wajah putus asa.
Seperti lazimnya terlihat pada pasien penderita kanker lainnya. Saat sedang
merenung, tiba-tiba muncul Bang Rudi (asisten ibu) sambil berkata, “Ibu masuk
Rumah Sakit.”, ujarnya. Kontan, diam-diam muncul pertanyaan di hati… ” Buah
dari doa kita kah ?”. Mata-mata yang tadinya jail berubah jadi sendu. Inikah
saatnya perjuangan Ibu berakhir ?, pikirku kembali.
Perlahan. ., aku dan teman-teman melangkah
ke kantor Jurusan dengan alam pikiran masing-masing. Tepat di depan Dekanat,
Suami ibu yang juga dosenku melintas dan menyapa dengan keramahannya yang khas
“Habis kuliah ya? Kuliah apa ?”, sapa beliau.
Lalu, Bagai berondongan senapan
mesin, kami semua ingin bersuara untuk menjawab sambil mengajukan perrtanyaan,
“jadwal kuliah sama Ibu Pak, tapi kami dapat kabar Ibu dirawat.” “Ibu nggak
apa-apa kan
Pak ?”, “Ibu kenapa Pak? “, tanya kami.
Sambil tersenyum, Bapak tersebut
menjawab “Ibu anfal semalam, menurut dokter … kanker ibu sudah menjalar ke
kepala sehingga harus dioperasi, mohon doa dari kalian semua” , ujar beliau
penuh harap.
“Wah, gue salut banget sama Bapak.
Beliau gagah. padahal ibu nggak gitu cantik, ga punya anak lagi tapi setianya
itu. gue benar-benar salut deh !” tiba-tiba Anti nyerocos tanpa diminta. “Gue
mau deh jadi isteri keduanya Bapak” tambah Anti lagi, kontan semua rekanku
menjadi tertawa.
========== *** =========
Hari itu, sudah dua pekan Ibu
dirawat di Rumah Sakit, namun selalu saja cari-cari alasan untuk tidak
menjenguk beliau. Kuliah Exacta-lah, Jadwal kuliah dan praktikum yang sangat
padat lah, belum lagi setumpuk tugas dan laporan yang harus diselesaikan.
Kalaupun ada waktu, siang hari di saat mentari sedang bersinar garang. Melelahkan.
Dari kejauhan, di ujung koridor..
wajah Bapak terlihat sendu, tidak seperti biasanya. “Apa yang terjadi dengan
ibu yah ?, tanyaku. “Jangan-jangan.” , diriku mulai berpikir cemas.
Kali ini, setengah berlari aku dan
teman-teman menyongsong Bapak, tidak sabar ingin dapat jawaban.
“Pak, maafin ya.. kami belum sempat
menjenguk ibu.” Dengan penyesalan yang dalam Dida membuka percakapan.
“Bapak ngerti. ” , sambil tersenyum,
walaupun dalam sorot matanya tidak bisa menyembunyikan kesenduan.
“Ibu kalian mulai tidak sadarkan
diri, dan juga Bapak telah melakukan kesalahan”, kata beliau memulai ceritanya
pada kami. “Dua hari yang lalu, ujar beliau, seperti biasa Bapak papah Ibu ke
kamar kecil. tapi Bapak ceroboh sehingga Ibu tergelincir. bapak spontan menarik
tangan Ibu agar jangan jatuh. Ibu memang tidak jadi jatuh, tapi tangan kiri Ibu
patah, sesalnya.
Namun, dalam sakitnya Ibu masih bisa
tersenyum dan menghibur. bahwa itu bukan salah Bapak”, kata beliau sambil
merenung.
Belum selesai Bapak bercerita..,
bulir-bulir air mata beliau perlahan turun menuruni pipinya.
Suasana itu pun membawa kami jadi
ikut bersedih, sehingga menangis bersama. Aku pun bertanya dalam hati, kenapa
dalam duka kebersamaan itu baru terasa ?, Ya Rabb, beri kami kesempatan untuk
tetap menikmati semangat Ibu, harapku. Entahlah, mungkin doa yang sama terucap
dari batin masing-masing ketika itu.
Sore itu, kami akhirnya menjenguk
Ibu ke Rumah Sakit. Dan memang Ibu mulai tidak sadarkan diri. Dia mengigau.
Sebentar-sebentar memanggil Bapak. Lalu dengan setia, Bapak mengusap tangan Ibu
yang mulai bengkak karena telah lama dipasok infus dan terus berbaring. Dengan
tatapan cinta dan senyuman Bapak membesarkan hati Ibu dan meyakinkannya bahwa
ibu Insya Alloh bisa sembuh.
Pemandangan itu meluluh lantakkan
segala kearoganan. Sampai akhirnya ada seorang teman Bapak bersuara “Sebenarnya
istrimu sudah lama ingin menghadap Rabbnya, tapi kasih sayangmu masih
membelenggunya, sehingga dia belum bisa pergi tenang. Lepaskanlah dia..
biarkanlah dia kembali. Allah mencintainya lebih dari cinta yang kau punya.
Yakinlah saudaraku ! Allah pun takkan mengambilnya tanpa restumu, orang yang
telah menjaga cinta yang dititipkan-Nya”, jelas bapak tersebut memberi nasehat.
Genangan air mata yang tadi
tertahan, sekarang meluncur deras . mengiringi perjuangan seorang hamba
mempertaruhkan cintanya. Semua terpaku diam.. hening..
“Ya Rabb, bantu Bapak untuk
mengikhlaskan Ibu pergi. Jangan hukum Bapak karena rasa cintanya” , kataku
dalam hati ini berharap.
Lalu, dengan suara tersendat, Bapak
berujar “Pergilah kekasih hatiku. sudah banyak kebahagiaan yang kau beri
untukku, dengan sabarmu telah kau buat aku SETIA, dengan ketegasanmu telah kau
antar aku menjadi seorang yang berarti. Dia lebih mencintaimu sayang.
kembalilah kepadanya dengan tenang. Semoga kedamaian rumah tangga yang selama
ini kita bina akan mempertemukan kita kembali di surga-Nya. Aku mencintaimu
isteriku. Asyhaadu allaa ilaaha illallaah wa asyhaadu anna
muhammaadurrasuulullaah..” Bapak terkulai di dahi Ibu. seakan tak rela
berpisah. Ibu pun tersenyum perlahan. Dan ternyata itulah senyumannya yang
terakhir.
“Innalillaahi wa ina ilaihi
raaji’un.”
Ibu kembali ke pangkuan Yang Kuasa.
Akankah Embriologi tetap menjemukan ?
Tidak !! Kami harus semangat. tidak
boleh gagal ! Setidaknya, Ibu tetap bisa tersenyum dari alam sana . karena perjuangannya tidak sia-sia.
“Ringankan siksa Ibu di kuburnya ya
Rabb. Izinkan Ibu tetap tersenyum dalam menjalani penantian menunggu hisabnya.
Beri kami semangat dan ketabahan seperti yang Ibu punya ya Allah. Sampaikan
kalau kami sangat kehilangan.
Ampuni kesalahan kami pada Ibu. Kami
menyayanginya ya Rahman” Saudaraku yang baik. mungkin kesetiaan menjadi lain
artinya dalam versi sahabat semua.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar