2.1.
Pengertian Tasawuf
Dari segi bahasa terdapat sejumlah kata atau istilah yang
dihubungkan para ahli untuk menjelaskan kata tasawuf. Nasution, misalnya
menyebutkan lima istilah yang berhubungan dengan tasawuf, yaitu
1. Shafa(suci). Disebut
suci karena kesucian batin , kebersihan tindakan dan keikhlasan kaum sufi.
2. Shaff(barisan),
karena kaum sufi mempunyai iman yang kuat, jiwa yang bersih, ikhlas dan
senantiasa memilih barisan yang paling depan dalam shalat berjama’ah.
3. Theosophi(Yunani,
Theo: Tuhan dan Shopos: Hikmah), yang artinya hikmah/kebijaksanaan ketuhanan.
4. Shuffah(serambi
tempat duduk), yaitu serambi Masjid Nabawi di Madinah yang disediakan untuk
orang-orang yang belum mempunyai tempat tinggal dari kalangan muhajirin di
masa Rasulullah SAW. Mereka biasa dipanggil ahl shuffah(pemilik serambi) karena
di serambi itulah mereka bernaung.
5. shuf(bulu domba), hal
ini disebabkan karena kaum sufi biasa menggunakan pakaian dari bulu domba yang
kasar, sebagai lambing akan kerendahan hati mereka, juga untuk menghindari
sikap sombong dihatinya, disamping untuk menenangkan jiwa, serta meninggalkan
usaha-usaha yang bersifat duniawi.
Dari segi kebahasaan dapat dipahami bahwa tasawuf adalah sikap
mental yang selalu memelihara kesucian diri, beribadah, hidup sederhana, rela
berkorban untuk kebaikan dan selalu bersikap bijaksana.
Basyuni menyimpulkan bahwa tasawuf adalah kesadaran murni yang
mengerahkan jiwa secara benar kepada amal dan aktivitas yang sungguh-sungguh
dan menjauhkan diri dari keduniaan dalam mendekatkan diri kepada Allah SWT
untuk mendapatkan perasaan yang begitu dekat dalam berhubungan denganNya.
(Mulyadi,2005, hal 129)
2.2. Karakteristik tasawuf
Meskipun pengertian lengkap tentang tasawuf sangat sulit dijelaskan
namun,beberapa ahli berusaha mengungkapkan tasawuf dari karakter yang paling
menonjol, antara lain : tasawuf itu diartikan sebagai pengalaman mistik,ini
diartikan sebagai suatu kondisi pemahaman yang dapat memungkinkan tersingkapnya
realitas mutlak. Pemahaman ini tentunya tasawuf itu mustahil dapat
diekspresikan atau dijabarkan, karena tasawuf berupa kondisi perasaan yang
sulit dijabarkan dengan kata-kata biasa.
Abul Wafa Al-Ghanimi At-Tafizani ahli filsafat islam dan tasawuf
menyampaikan pendapatnya bahwa cirri umum tasawuf yaitu, tasawuf memiliki
nilai-nilai moral yang tujuannya membersihkan jiwa yang hanya dapat depiroleh
melaui latihan fisik-psikis serta pengekangan diri dari pengaruh matrelialisme
duniawi. Menurut Ibnu Arabi pengetahuan dalam tasawuf bersifat pasti dan
meyakinkan, bukan bersifat spekulatif.
Berdasarkan objek dan sasarannya tasawuf diklasifikasikan menjadi 3
macam:
1.
Tasawuf akhlaqi
yaitu tasawuf yang sangat menekankan nilai-nilai moral.
2.
Tasawuf amali
yaitu tasawuf yang lebih mengutamakan kebiasaan beribadah, tujuannya agar
memperoleh penghayatan spiritual dalam setiap melakukan ibadah.
3.
Tasawuf falsafi
yang menekankan pada masalah-masalah yang yang metafisik.
(Mulyadi, 2005,hal 129-131)
2.3. Maqamat dan Hal dalam Tasawuf
ü Maqamat
Secara harfiah maqamat berasal dari bahasa Arab yang
berarti tempat orang berdiri atau pangkal mulia. Istilah ini kemudian digunakan
sebagai jalan panjang yang harus ditempuh oleh seorang sufi untuk berada dekat
dengan Allah. Dalam bahasa Inggris maqamat dikenal dengan istilah stage yang
berarti tangga. Dalam Bahasa Inggris maqamat dikenal dengan istilah stage yang artinya tangga.
Tingkatan atau maqamat yang harus ditempuh seorang sufi untuk sampai menuju Tuhannya , ada 7 menurut Abu Nasr As Sarraj, antara lain:
Tingkatan atau maqamat yang harus ditempuh seorang sufi untuk sampai menuju Tuhannya , ada 7 menurut Abu Nasr As Sarraj, antara lain:
1.
Taubat
Kata Taubat adalah bentuk mashdar dari bahasa Arab taba, yatuubu, taubatan yang artinya kembali. Sedangkan taubat yang dimaksud oleh kalangan sufi adalah memohon ampun atas segala dosa dan kesalahan disertai janji yang sungguh-sungguh tidak akan mengulangi perbuatan dosa tersebut, yang disertai dengan melakukan amal kebajikan. Untuk mencapai taubat yang sesungguhnya dan dirasakan diterima oleh Allah terkadang tidak dapat dicapai satu kali saja. Ada kisah yang mengatakan bahwa seorang sufi sampai tujuh puluh kali taubat, baru ia mencapai tingkat taubat yang sesungguhnya. Taubat yang sebenarnya dalam paham sufisme ialah lupa pada segala hal kecuali Allah.
Kata Taubat adalah bentuk mashdar dari bahasa Arab taba, yatuubu, taubatan yang artinya kembali. Sedangkan taubat yang dimaksud oleh kalangan sufi adalah memohon ampun atas segala dosa dan kesalahan disertai janji yang sungguh-sungguh tidak akan mengulangi perbuatan dosa tersebut, yang disertai dengan melakukan amal kebajikan. Untuk mencapai taubat yang sesungguhnya dan dirasakan diterima oleh Allah terkadang tidak dapat dicapai satu kali saja. Ada kisah yang mengatakan bahwa seorang sufi sampai tujuh puluh kali taubat, baru ia mencapai tingkat taubat yang sesungguhnya. Taubat yang sebenarnya dalam paham sufisme ialah lupa pada segala hal kecuali Allah.
2.
Wara’
Wara’
berarti shaleh, yaitu menghindari diri dari perbuatan dosa atau menjauhi
hal-hal yang tidak baik dan syubhat. Dan dalam pengertian sufi, wara
adalah meninggalkan segala yang di dalamnya terdapat keragu-raguan antara halal
dan haram (syubhat). Sikap menjauhi diri dari yang syubhat ini sejalan dengan
hadis Nabi yang berbunyi: “Barangsiapa yang dirinya terbebas dari syubhat, maka
sesungguhnya ia telah terbebas dari yang haram.” (HR. Bukhari). Hadits tersebut
menunjukkan bahwa syubhat lebih dekat pada yang haram. Kaum sufi menyadari benar
bahwa setiap makanan, minuman, pakaian dan sebagainya yang haram dapat memberi
pengaruh bagi orang yang memakan, meminum atau memakannya. Orang yang demikian
akan keras hatinya, sulit mendapatkan hidayah dan ilham dari Tuhan. Hal ini
dipahami dari hadits Nabi yang menyatakan bahwa setiap makanan yang haram yang
dimakan oleh manusia akan menyebabkan noda hitam pada hati yang lama-kelamaan
hati menjadi keras. ini sangat ditakuti oleh para sufi yang senantiasa
mengharapka Nur Ilahi yang dipancarkan lewat hatinya yang bersih.
3.
Zuhud
Secara harfiah zuhud berarti tidak
ingin kepada sesuatu yang bersifat keduniawian.
Orang yang zuhud lebih mengutamakan atau mengejar kebahagiaan hidup di akhirat yang kekal dan abadi, daripada mengejar kehidupan dunia yang fana dan sepintas lalu. Hal ini dapat dipahami dari isyarat ayat yang berbunyi,“Katakanlah kesenangan di dunia ini hanya sebentar dan akhirat itu lebih baik bagi orang-orang yang bertakwa, dan kamu tidak akan dianiaya sedikitpun” (QS. 4: 78)
Orang yang zuhud lebih mengutamakan atau mengejar kebahagiaan hidup di akhirat yang kekal dan abadi, daripada mengejar kehidupan dunia yang fana dan sepintas lalu. Hal ini dapat dipahami dari isyarat ayat yang berbunyi,“Katakanlah kesenangan di dunia ini hanya sebentar dan akhirat itu lebih baik bagi orang-orang yang bertakwa, dan kamu tidak akan dianiaya sedikitpun” (QS. 4: 78)
4.
Fakir
Fakir menurut bahasa adalah orang
yang berhajat, butuh atau orang miskin, sedangkan dalam pandangan kaum sufi , fakir
adalah tidak meminta lebih dari apa yang menjadi haknya,tidak banyak
mengharap dan memohon rezeki, kecuali hanya untuk menjalankan
kewajiban-kewajiban dalam rangka mendekatkan diri kepada Allah SWT.
5.
Sabar
Sabar berarti menghindari diri
dari hal-hal yang bertentangan dengan apa yang dilarang Allah, ia tenang ketika
mendapatkan cobaan dan menampakkan sikap perwira walaupun sebenarnya berada
dalam kefakiran bidang ekonomi. Dalam kalangan sufi sabar itu , ada sabar
dalam menjalani perintah-perintah Allah, sabar dalam menjauhi segala
larangan-Nya, dan sabar dalam menerima segala cobaan yang ditimpa kepadanya.
6.
Tawakkal
Tawakkal adalah penyerahan
diri seorang hamba kepada Allah setelah ada usaha yang maksimal.
7.
Ridha
Ridha dilihat dari segi bahasa berarti senang, rela, suka. Harun
Nasution mengatakan bahwa ridha berarti tidak berusaha, tidak menentang qadha
dan qadhar Allah, menerima qadha dan qadhar Allah dengan senang hati,
mengeluarkan perasaan benci dari hatinya, merasa senang menerima malapetaka
sebagaimana merasa senang ketika mereka mendapatkan nikmat, tidak meminta surga
dari Allah dan tidak minta dijauhkan dari neraka.
ü Hal
atau keadaan kaum sufi dalam tasawuf
Menurut Harun Nasution, hal
merupakan keadaan mental, seperti perasaan senang, perasaan sedih, perasaan
takut dan sebagainya. Hal yang biasa disebut sebagai hal adalah takut (Khauf),
rendah hati (tawadhu), patuh (Taqwa), ikhlas (Ikhlas), rasa berteman (uns),
gembira hati (Wajd), berterima kasih (Syukur).
Hal berlainan dengan maqam, bukan
diperoleh atas usaha manusia, tetapi didapat sebagai anugerah dan rahmat
dari Tuhan. Dan berlainan pula dengan maqam, hal bersifat sementara, datang
dan pergi, datang dan pergi bagi seorang sufi dalam perjalanannya mendekati
Tuhan.
Selain melaksanakan berbagai kegiatan dan usaha sebagai mana disebutkan di atas, seorang sufi juga harus melakukan serangkaian kegiatan mental yang berat. Kegiatan mental tersebut seperti riyadah, mujahadah, khalwat, uzlah, muraqabah, suluk dan sebagainya. Riyadah berarti latihan mental dengan melaksanakan zikir dan tafakkur yang sebanyak-banyaknya serta melatih diri dengan berbagai sifat yang terdapat dalam maqam. Selanjutnya mujahadah berarti berusaha sungguh-sungguh dalam melaksanakan perintah Allah. Selanjutnya khalwat berarti menyepi atau bersemedi, dan uzlah berarti mengasingkan diri dari pengaruh keduniaan. Dan muraqabah berarti mendekatkan diri kepada Allah; dan suluk berarti menjalankan cara hidup sebagai sufi dengan zikir dan zikir.
Selain melaksanakan berbagai kegiatan dan usaha sebagai mana disebutkan di atas, seorang sufi juga harus melakukan serangkaian kegiatan mental yang berat. Kegiatan mental tersebut seperti riyadah, mujahadah, khalwat, uzlah, muraqabah, suluk dan sebagainya. Riyadah berarti latihan mental dengan melaksanakan zikir dan tafakkur yang sebanyak-banyaknya serta melatih diri dengan berbagai sifat yang terdapat dalam maqam. Selanjutnya mujahadah berarti berusaha sungguh-sungguh dalam melaksanakan perintah Allah. Selanjutnya khalwat berarti menyepi atau bersemedi, dan uzlah berarti mengasingkan diri dari pengaruh keduniaan. Dan muraqabah berarti mendekatkan diri kepada Allah; dan suluk berarti menjalankan cara hidup sebagai sufi dengan zikir dan zikir.
Perjalanan spiritual yang
dilakukan seorang sufi dalam menemukan hakikat dan ma’rifah TuhanNya mempunyai
kecendrungan yang berbeda sehingga muncul beberapa tokoh sufi yang menonjol dalam
pengalaman rohaninya , seperti mahabbah, ma’rifah, fana, baqa, ittihad, hulul,
wahdatul wujud, insan kamil.
è MAHABBAH
Pengertian, Tujuan dan Kedudukan maahabbah
Pengertian, Tujuan dan Kedudukan maahabbah
Kata mahabbah berasal dari kata
ahabba, yuhibbu, mahabatan, yang secara harfiah berarti mencintai secara
mendalam, atau kecintaan atau cinta yang mendalam. Dalam Mu'jam al-Falsafi,
Jamil Shaliba mengatakan mahabbah adalah lawan dari al-baghd(benci). Mahabbah
dapat pula berarti wadud, yakni yang sangat kasih atau penyayang. Selain
itu mahabbah dapat pula berarti kecenderungan pada sesuatu yang sedang
berjalan, dengan tujuan untuk memperoleh kebutuhan yang bersifat material
maupun spiritual, Mahabbah pada tingkat selanjutnya dapat pula berarti suatu
usaha sungguh-sungguh dari seseorang untuk mencapai tingkat rohaniah tertinggi
dengan tercapainya gambaran Yang Mutlak, yaitu cinta kepada Tuhan.
Kata mahabbah tersebut
selanjutnya digunakan untuk menunjukkan pada suatu paham atau aliran dalam
tasawuf. Dalam hubungan ini mahabbah obyeknya lebih ditujukan pada Tuhan. Dari
sekian banyak arti mahabbah yang dikemukakami di atas, tampaknya ada juga yang
cocok dengan arti mahabbah yang dikehendaki dalam tasawuf, yaitu mahabbah yang
artinya kecintaan yang mendalam secara ruhiah pada Tuhan.
Rabi'ah al-Adawiyah adalah seorang
zahid perempuan yang amat besar dari Bashrah, di Irak. Menurut riwayatnya ia
adalah seorang hamba yang kemudian dibebaskan. Dalam hidup selanjutnya ia
banyak beribadat, bertaubat dan menjauhi hidup duniawi. la hidup dalam
kesederhanaan dan menolak segala bantuan material yang diberikan orang
kepadanya. Dalam berbagai doa yang dipanjatkannya ia tak mau meminta hal-hal
yang bersifat materi dari Tuhan. la betul-betul hidup dalam keadaan zuhud dan
hanya ingin berada dekat dengan Tuhan.
è MA’RIFAH
Pengertian Tujuan Dan Kedudukan Ma'rifah
Pengertian Tujuan Dan Kedudukan Ma'rifah
Dari segi bahasa ma'rifah berasal
dari kata arafa, ya'rifu, irfan, ma'rifah yang artinya pengetahuan atau
pengalaman Dan dapat pula berarti pengetahuan tentang rahasia hakikat agama,
yaitu ilmu yang lebih tinggi daripada ilmu yang biasa didapati oleh orang-orang
pada umumnya. Ma'rifah adalah pengetahuan yang obyeknya bukan pada hal-hal
yang bersifat zahir, tetapi lebih mendalam terhadap batinnya dengan
mengetahui rahasianya. Hal ini didasarkan pada pandangan bahwa akal manusia
sanggup mengetahui hakikat ketuhanan, dan hakikat itu satu, dan segala yang
maujud berasal dari yang satu.
Selanjutnya ma'rifah digunakan
untuk menunjukan, pada salah satu tingkatan dalam tasawuf. Dalam arti sufistik
ini, ma'rifah diartikan sebagai pengetahuan mengenai Tuhan: melalui hati
sanubari. Pengetahuan itu demikian lengkap dan jelas sehingga jiwanya
merasa satu dengan yang diketahuinya itu, yaitu Tuhan. Selanjutnya Harun
Nasution mengatakan bahwa ma'rifah menggambarkan hubungan rapat daiam bentuk
gnosis (pengetahuan dengan hati sanubari).
Seterusnya al-Ghazali menjelaskan
bahwa orang yang mempunyai ma'rifah tentang Tuhan, yaitu arif, tidak akan
mengatakan ya Allah atau ya rabb karena memanggil Tuhan dengan kata-kata serupa
ini menyatakan bahwa Tuhan ada di bekalang tabir. Orang yang duduk berhadapan
dengan temannya tidak akan memanggil temannya itu. Tetapi bagi al-Ghazali
ma'rifah urutannya terlebih dahulu daripada mahabbah, karena mahabbah timbul
dari ma'rifah. Namun mahabbah yang dimaksud al-Ghazali berlainan dengan
mahabbah yang diucapkan oleh Rabi'ah al-Adawiyah, yaitu mahabbah dalam bentuk
cinta seseorang kepada yang berbuat baik kepadanya, cinta yang timbul dari
kasih dan rahmat Tuhan kepada manusia yang memberi manusia hidup, rezeki,
kesenangan dan lain-lain. Al-Ghazali lebih lanjut mengatakan bahwa ma'rifah dan
mahabbah itulah setinggi-tinggi tingkat yang dapat dicapai seorang sufi. Dan
pengetahuan yang diperoleh dari ma'rifah lebih tinggi mutunya dari pengetahuan
yang diperoleh dengan akal.
è FANA,
BAQA DAN ITTIHAD
Pengertian tujuan dan kedudukan Fana, Baqa dan Ittihad
Dari segi bahasa kata fana’
artinya sirna, lebur atau hilang. Sedangkan baqa artinya kekal, abadi dan
senantiasa ada. Sedangkan ittihad yaitu pengalaman bathin akan kesatuan seorang
sufi. Jadi, ketika seorang sufi mencapai tingkat ini merasa fana’ yaitu
hilangnya sifat-sifat yang tercela dan munculnya sifat terpuji. Pendapat kaum
orientalis maqamat fana’ ini dianggap ada persamaan dengan ajaran windu tentang
nirwana. Dan ketika telah mencapai maqamat ittihad seorang sufi akan mabuk
dalam kenikmatan bersatu dengan Allah. Tokoh yang terpopuler dalam ittihad adalah Abu Yazid Al-Bustami.
Berdasarkan uraian tersebut dapat
diketahui bahwa yang dituju dengan fana dan baqa ini adalah mencapai
persatuan secara rohaniah dan batiniah dengan Tuhan, sehingga yang disadarinya
hanya Tuhan dalam dirinya.
è HULUL
Pengertian, Tujuan Dan Kedudukan Hulul
Pengertian, Tujuan Dan Kedudukan Hulul
Secara harfiah hulul berarti
Tuhan mengambil tempat dalam tubuh manusia tertentu, yaitu manusia yang telah
dapat melenyapkan sifat-sifat kemanusiaannya melalui fana. Menurut keterangan
Abu Nasr al-Tusi dalam al-Luma' sebagai dikutip Harun Nasution, adalah paham
yang mengatakan bahwa Tuhan memilih tubuh-tubuh manusia tertentu untuk
mengambil tempat di dalamnya setelah kemanusiaan yang ada dalam tubuh itu
dilenyapkan. Di dalam teks Arab pernyataan tersebut berbunyi:
"Sesungguhnya Allah memilih jasad-jasad (tertentu) dan me-nempatinya
dengan makna ketuhanan (setelah) menghilangkan sifat-sifat kemanusiaan".
Paham bahwa Allah dapat mengambil
tempat pada manusia ini, bertolak dari dasar pemikiran al-Hallaj yang
mengatakan bahwa pada diri manusia terdapat dua sifat dasar yaitu lahut
(ketuhanan) dan nasut (kemanusiaan). Ini dapat; dilihat dari teorinya mengenai
kejadian manusia dalam bukunya bernama al-thaiwasim “Sebelum Tuhan menjadikan
makhluk”, la hanya melihat diri-Nya sendiri. Dalam kesendian-Nya itu terjadilah
dialog antara Tuhan dengan diri-Nya sendiri, yaitu dialog yang didalamnya tidak
terdapat kata ataupun huruf. Yang dilihat Allah hanyalah kemuliaan dan
ketinggian zat-Nya. Allah melihat kepada zat-nya dan la pun cinta pada zat-Nya
sendiri, cinta yang tak dapat disifatkan, dan cinta inilah yang menjadi sebab
wujud dan sebab dari yang banyak ini. Tokoh yang Mengembangkan Paham
al-Hulul adalah al-Hallaj. Al-Junaid yang juga seorang sufi. Selain itu ia
pernah juga menunaikan ibadah haji di Mekkah selama tiga kali. Dengan riwayat
hidup yang singkat ini jelas bahwa ia memiliki dasar pengetahuan tentang tasawuf
yang cukup kuat dan mendalam. Dalam perjalanan hidup selanjutnya ia pernah
keluar masuk penjara akibat konflik dengan ulama fikih. Pandangan-pandangan
tasawuf yang agak ganjil sebagaimana akan dikemukakan di bawah ini menyebabkan
seorang ulama fiqh bernama Ibn Daud al-Isfahani mengeluarkan fatwa untuk
membantah dan memberantas pahamnya. Al-lsfahani dikenal sebagai ulama fikih
penganut mazhab Zahiri, suatu mazhab yang hanya mementingkan zahir Nash ayat
belaka. Fatwa yang menyesatkan yang dikeluarkan oleh Ibn Daud itu sangat besar
pengaruhnya terhadap diri al-Hallaj, sehingga al-Hallaj ditangkap dan
dipenjarakan. Tetapi setelah satu tahun dalam penjara, dia dapat meloloskan
diri berkat bantuan seorang sifir penjara.
è WAHDATUL
WUJUD
Pengertian
dan Tujuan Wahdatul Wujud
Wahdatul wujud adalah ungkapan
yang terdiri dari dua kata, yaitu wahdat dan al-wujud. Wahdat artinya sendiri,
tunggal atau kesatuan, sedangkan al-wujud artinya ada. Dengan demi kian wahdat
al-wujud berarti kesatuan wujud. Selain itu kata al-wahdah digunakan
pula oleh para ahli filsafat dan sufistik sebagai suatu kesatuan antara
materi dan roh, substansi (hakikat) dan forma (bentuk), antara yang tampak
(lahir) dan yang batin, antara alam dan Allah, karena alam dari segi hakikatnya
qadim dan berasal dari Tuhan. Pengertian wahdatul wujud yang terakhir
itulah yang se lanjutnya digunakan para sufi, yaitu paham bahwa antara manusia
dan Tuhan pada hakikatnya adalah satu kesatuan wujud. Harun Nasution
lebih lanjut menjelaskan paham ini dengan mengatakan, bahwa dalam paham
wahdatul wujud.
Tokoh yang Membawa Paham Wahdatul
Wujud
Paham Wahdatul Wujud dibawa oleh
Muhyiddin Ibn Arabi yang lahir di Murcia, Spanyol di tahun 1165. Selain
sebagai sufi, Ibn Arabi juga dikenal sebagai penulis yang produktif, bukunya yang termasyhur ialah Fusus al-Hikam
yang berisi tentang tasawuf.
Menurut Hamka, Ibn Arabi dapat
disebut sebagai orang yang telah sampai pada puncak wahdatul wujud. Dia telah
menegakkan pahamnya dengan berdasarkan renungan pikir dan filsafat dan zauq
tasawuf. la menyajikan ajaran tasawufnya dengan bahasa yang agak berbelit-belit
dengan tujuan untuk menghindari tuduhan, fitnah dan ancaman kaum awam sebagaimana
dialami al-Hallaj.
è INSAN
KAMIL
Pengertian
Insan Kamil
Insan kamil berasal dari bahasa
Arab, yaitu dari dua kata: Insan dan kamil. Secara harfiah, Insan berarti
manusia, dan kamil berarti yang sempurna. Dengan demikian, insan kamil berarti
manusia yang sempurna. Dalam bahasa Arab kata insan mengacu kepada sifat
manusia yang terpuji seperti kasih sayang, mulia dan lainnya. Selanjutnya kata
insan digunakan oleh para filosof klasik sebagai kata yang menunjukkan pada
arti manusia secara totalitas yang secara langsung mengarah pada hakikat
manusia. Kata insan juga digunakan untuk menunjukkan pada arti terkumpulnya
seluruh potensi intelektual, rohani dan fisik yang ada pada manusia, seperti
hidup, sifat kehewanan, berkata-kata dan lainnya.
Adapun kata kamil dapat pula
berarti suatu keadaan yang sempurna, dan digunakan untuk menunjukkan pada
sempurnanya zat dan sifat, dan hal itu terjadi melalui terkumpulnya sejumlah
potensi dan kelengkapan seperti ilmu, dan sekalian sifat yang baik lainnya.
Selanjutnya kata insan dijumpai di dalam al-Qur'an dan dibedakan dengan istilah basyar dan an-nas. Kata insan jamak-nya kata an-nas. Kata insan mempunyai tiga asal kata. Pertama, berasal dari kata anasa yang mempunyai arti melihat, mengeta-hui dan minta izin. Yang kedua berasal dari kata nasiya yang artinya lupa. Yang ketiga berasal dari kata al-uns yang artinya jinak, lawan dari kata buas. Dengan bertumpu pada asal kata anasa, maka insan mengandung arti melihat, mengetahui dan meminta izin, dan semua arti ini berkaitan dengan kemampuan manusia dalam bidang penalaran, sehingga dapat menerima pengajaran. Selanjutnya dengan bertumpu pada akar kata nasiya, insan mengandung arti lupa, dan menunjukkan adanya kaitan dengan kesadaran diri. Manusia lupa terhadap sesuatu karena ia kehilangan kesadaran terhadap hal tersebut. Orang yang lupa dalam agama dapat dimaafkan, karena hal yang demikian termasuk sifat insaniyah. Dengan demikian, insan kamil lebih ditujukan kepada manusia yang sempurna dari segi pengembangan potensi intelektual, rohaniah, intuisi, kata hati, akal sehat, fitrah dan lainnya yang bersifat batin lainnya, dan bukan pada manusia dari dimensi basyariahnya. Pembinaan kesempurnaan basyariah bukan menjadi bidang garapan tasawuf, tetapi menjadi garapan fikih. Dengan perpaduan fikih dan tasawuf inilah insan kamil akan lebih terbina lagi. Namun insan kamil lebih ditekankan pada manusia yang sempurna dari segi insaniyahnya, atau segi potensi intelektual, rohaniah dan lainnya itu. Insan Kamil juga berarti manusia yang sehat dan terbina potensi rohaniahnya sehingga dapat berfungsi secara optimal dan dapat berhubungan dengan Allah dan dengan makhluk la innya secara benar menurut akhlak Islami. Manusia yang selamat rohaniah itulah yang diharapkan dari manusia Insan Kamil. Manusia yang demikian inilah yang akan selamat hidupnya di dunia dan akhirat. Diantara cirri-ciri manusia insan kamil , antara lain :
Selanjutnya kata insan dijumpai di dalam al-Qur'an dan dibedakan dengan istilah basyar dan an-nas. Kata insan jamak-nya kata an-nas. Kata insan mempunyai tiga asal kata. Pertama, berasal dari kata anasa yang mempunyai arti melihat, mengeta-hui dan minta izin. Yang kedua berasal dari kata nasiya yang artinya lupa. Yang ketiga berasal dari kata al-uns yang artinya jinak, lawan dari kata buas. Dengan bertumpu pada asal kata anasa, maka insan mengandung arti melihat, mengetahui dan meminta izin, dan semua arti ini berkaitan dengan kemampuan manusia dalam bidang penalaran, sehingga dapat menerima pengajaran. Selanjutnya dengan bertumpu pada akar kata nasiya, insan mengandung arti lupa, dan menunjukkan adanya kaitan dengan kesadaran diri. Manusia lupa terhadap sesuatu karena ia kehilangan kesadaran terhadap hal tersebut. Orang yang lupa dalam agama dapat dimaafkan, karena hal yang demikian termasuk sifat insaniyah. Dengan demikian, insan kamil lebih ditujukan kepada manusia yang sempurna dari segi pengembangan potensi intelektual, rohaniah, intuisi, kata hati, akal sehat, fitrah dan lainnya yang bersifat batin lainnya, dan bukan pada manusia dari dimensi basyariahnya. Pembinaan kesempurnaan basyariah bukan menjadi bidang garapan tasawuf, tetapi menjadi garapan fikih. Dengan perpaduan fikih dan tasawuf inilah insan kamil akan lebih terbina lagi. Namun insan kamil lebih ditekankan pada manusia yang sempurna dari segi insaniyahnya, atau segi potensi intelektual, rohaniah dan lainnya itu. Insan Kamil juga berarti manusia yang sehat dan terbina potensi rohaniahnya sehingga dapat berfungsi secara optimal dan dapat berhubungan dengan Allah dan dengan makhluk la innya secara benar menurut akhlak Islami. Manusia yang selamat rohaniah itulah yang diharapkan dari manusia Insan Kamil. Manusia yang demikian inilah yang akan selamat hidupnya di dunia dan akhirat. Diantara cirri-ciri manusia insan kamil , antara lain :
1. Berfungsi Akalnya Secara
Optimal
Fungsi akal secara optimal dapat
dijumpai pada pendapat kaum Muktazilah. Menurutnya manusia yang akalnya
berfungsi secara optimal dapat mengetahui bahwa segala perbuatan baik seperti
adil, jujur, berakhlak sesuai dengan essensinya dan merasa wajib melakukan
semua itu walaupun tidak diperintahkan oleh wahyu. Manusia yang berfungsi
akalnya sudah merasa wajib melakukan perbuatan yang baik. Dan manusia yang
demikianlah yang dapat mendekati tingkat insan kamil. De ngan demikian insan
kamil akalnya dapat mengenali perbuatan yang baik dan perbuatan buruk karena
hal itu telah terkandung pada essensi perbuatan tersebut.
2. Berfungsi Intuisinya
Insan Kamil dapat juga dicirikan
dengan berfungsinya intuisi yang ada dalam dirinya. Intuisi ini dalam pandangan
Ibn Sina disebut jiwa manusia (rasional soul). Menurutnya jika yang berpengaruh
dalam diri manusia adalah jiwa manusianya, maka orang itu hampir menyerupai
malaikat dan mendekati kesempurnaan.
3. Mampu Menciptakan Budaya
Sebagai bentuk pengamalan dari
berbagai potensi yang terdapat pada dirinya sebagai insan, manusia yang
sempurna adalah manusia yang mampu mendayagunakan seluruh potensi rohaniahnya
secara optimal. Menurut Ibn Khaldun manusia adalah makhluk berpikir.
Sifat-sifat semacam ini tidak dimiliki oleh makhluk lainnya. Lewat kemampuan
berpikirnya itu, ma nusia tidak hanya membuat kehidupannya, tetapi juga menaruh
perhatian terhadap berbagai cara guna memperoleh makna hidup. Proses-proses
semacam ini melahirkan peradaban.
Tetapi dalam kaca mata Ibn Khaldun kelengkapan serta kesempurnaan manusia tidaklah lahir dengan begitu saja, melainkan melalui suatu proses tertentu. Proses tersebut dewasa ini dikenal dengan evolusi.
Tetapi dalam kaca mata Ibn Khaldun kelengkapan serta kesempurnaan manusia tidaklah lahir dengan begitu saja, melainkan melalui suatu proses tertentu. Proses tersebut dewasa ini dikenal dengan evolusi.
4.
Menghiasi Diri dengan Sifat-sifat
Ketuhanan
Pada uraian tentang arti insan
tersebut di atas telah disebutkan bahwa manusia termasuk makhluk yang mempunyai
naluri ketuhanan (fitrah). la cenderung kepada hal-hal yang berasal dari Tuhan,
dan mengimaninya. Sifat-sifat tersebut menyebabkan ia menjadi wakil Tuhan di
muka bumi. Manusia sebagai khalifah yang demikian itu merupakan gambaran ideal.
Yaitu manusia yang berusaha menentukan nasibnya sendiri, baik sebagai kelompok
masyarakat maupun sebagai individu. Yaitu manusia yang memiliki tanggung jawab
yang besar, ka rena memiliki daya kehendak yang bebas. Manusia yang ideal
itulah yang disebut insan kamil, yaitu manusia yang dengan sifat-sifat
ketuhanan yang ada pada dirinya dapat mengendalikan sifat-sifat rendah yang
lain. Sebagai khalifah Allah di muka bumi ia melaksanakan amanat Tuhan dengan
melaksanakan perintah-Nya.
5.
Berakhlak Mulia
Sejalan dengan ciri keempat di
atas, insan kamil juga adalah manusia yang berakhlak mulia. Hal ini sejalan
dengan pendapat Ali Syari'ati yang mengatakan bahwa manusia yang sempurna
memiliki tiga aspek, yakni aspek kebenaran, kebajikan dan keindahan. Dengan
kata lain ia memiliki pengetahuan, etika dan seni. Semua ini dapat dicapai
dengan kesadaran, kemerdekaan dan kreativitas. Manusia yang ideal (sempurna)
adalah manusia yang memiliki otak yang briliyan sekaligus memiliki kelembutan
hati. Insan kamil dengan kemampuan otaknya mampu menciptakan peradaban yang
tinggi dengan kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi, juga memiliki kedalaman
perasaan terhadap segala sesuatu yang menyebabkan penderitaan, kemiskinan,
kebodohan dan kelemahan.
6.
Berjiwa Seimbang
Menurut Nashr, sebagai dikutip
Komaruddin Hidayat, bahwa manusia modem sekarang ini tidak jauh meleset dari
siratan Darwin. Bahwa hakikat manusia terletak pada aspek kedalamannya, yang
bersifat permanen, immortal yang kini tengah bereksistensi sebagai bagian dari
perjalanan hidupnya yang teramat panjang. Tetapi disayangkan, kebanyakan dari
mereka lupa akan immortalitas dirinya yang hakiki tadi. Manusia modern
mengabaikan kebutuhannya yang paling mendasar, yang bersifat ruhiyah, sehingga
mereka tidak akan mendapatkan ketenteraman batin, yang berarti tidak hanya ke
seimbangan diri, terlebih lagi bila tekanannya pada kebutuhan materi kian
meningkat, maka keseimbangan akan semakin rusak.
Kutipan tersebut mengisyaratkan
tentang perlunya sikap seimbang dalam kehidupan, yaitu seimbang antara
pemenuhan kebutuhan material dengan spiritual atau ruhiyah. Ini berarti
perlunya ditanamkan jiwa sufistik yang dibarengi dengan pengamalan syariat
Islam, terutama ibadah, zikir, tafakkur, muhasabbah, dan seterusnya.
2.4. Tasawuf Kontemporer
Tasawuf
kontemporer adalah tasawuf bercorak kekinian yang masih berakar pada tasawuf
klasik dan konvensional. Bila tasawuf konvensional hanya menyebar melalui buku-buku,
tetapi tasawuf kontemporer menggunakan instrumen teknologi. Pada tataran ini,
bila nilai tasawuf menjadi kecil atau justru menjadi bahan dari teknologi, maka
tasawuf kontemporer diragui akan keotentikannya. Ia hanya menjadi bagian kecil
dari teknologi maju. Bukan sebagai subjek dari kemajuan.
Tasawuf
kontemporer masih berlandaskan Al-Quran dan Hadits, tetapi mengedepankan packaging dari
pada esensi. Walaupun demikian, mereka yang terlibat di dalam dunia tasawuf
kontemporer terus mencoba dan menggali serta merasakan, juga mengakui mereka sudah
masuk dalam dunia tasawuf. Menurut analisa penulis, tentulah tidak akan
mampu marwah tasawuf yang pernah ada pada masa lalu bisa
dijemput secara total tanpa mengetahui secara utuh ajaran tasawuf masa lalu tersebut.
Apalagi hanya mencomot bagian-bagian penting dan menjadikannya bahan dari apa
yang dikomersilkan karena dibutuhkan pasar kepada masyarakat kota.
Walaupun secara tidak langsung ada
akar klasik dan konvensional, sesungguhnya mereka mempelajari secara mendalam
setiap ajaran yang sudah dan mengamalkannya dalam kehidupan sehari-hari.
Menurut analisa penulis, ada kerinduan masyarakat kota untuk
kembali hidup pada akar budaya agama yang mengedepan marwah beragama.
Tidak sekedar formalitas aktual tetapi juga memiliki makna yang dalam terhadap
kehidupan sehari-hari. Tetapi jika kita lihat lebih jauh, semestinya harus
terus diawasi karena tasawuf ini bersentuhan dengan industri yang cenderung
bermata dua.
Terlepas dari plus dan minus ajaran,
juga corak dan potret kehidupannya yang nyaris mengarah kepada pseudo tasawuf,
semangat dan pengaruhnya membawa arti penting bagi agama Islam di tengah
masyarakat. Lebih-lebih masyarakat kota yang memang merindukan khazanah
kehidupan beragama.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar