Rabu, 30 Mei 2012

pengertian tasawuf


2.1. Pengertian Tasawuf
Dari segi bahasa terdapat sejumlah kata atau istilah yang dihubungkan para ahli untuk menjelaskan kata tasawuf. Nasution, misalnya menyebutkan lima istilah yang berhubungan dengan tasawuf, yaitu
1.    Shafa(suci). Disebut suci karena kesucian batin , kebersihan tindakan dan keikhlasan kaum sufi.
2.    Shaff(barisan), karena kaum sufi mempunyai iman yang kuat, jiwa yang bersih, ikhlas dan senantiasa memilih barisan yang paling depan dalam shalat berjama’ah.
3.    Theosophi(Yunani, Theo: Tuhan dan Shopos: Hikmah), yang artinya hikmah/kebijaksanaan ketuhanan.
4.    Shuffah(serambi tempat duduk), yaitu serambi Masjid Nabawi di Madinah yang disediakan untuk orang-orang yang belum mempunyai tempat tinggal dari kalangan muhajirin di masa Rasulullah SAW. Mereka biasa dipanggil ahl shuffah(pemilik serambi) karena di serambi itulah mereka bernaung.
5.    shuf(bulu domba), hal ini disebabkan karena kaum sufi biasa menggunakan pakaian dari bulu domba yang kasar, sebagai lambing akan kerendahan hati mereka, juga untuk menghindari sikap sombong dihatinya, disamping untuk menenangkan jiwa, serta meninggalkan usaha-usaha yang bersifat duniawi.
Dari segi kebahasaan dapat dipahami bahwa tasawuf adalah sikap mental yang selalu memelihara kesucian diri, beribadah, hidup sederhana, rela berkorban untuk kebaikan dan selalu bersikap bijaksana.
Basyuni menyimpulkan bahwa tasawuf adalah kesadaran murni yang mengerahkan jiwa secara benar kepada amal dan aktivitas yang sungguh-sungguh dan menjauhkan diri dari keduniaan dalam mendekatkan diri kepada Allah SWT untuk mendapatkan perasaan yang begitu dekat dalam berhubungan denganNya. (Mulyadi,2005, hal 129)
2.2. Karakteristik tasawuf
Meskipun pengertian lengkap tentang tasawuf sangat sulit dijelaskan namun,beberapa ahli berusaha mengungkapkan tasawuf dari karakter yang paling menonjol, antara lain : tasawuf itu diartikan sebagai pengalaman mistik,ini diartikan sebagai suatu kondisi pemahaman yang dapat memungkinkan tersingkapnya realitas mutlak. Pemahaman ini tentunya tasawuf itu mustahil dapat diekspresikan atau dijabarkan, karena tasawuf berupa kondisi perasaan yang sulit dijabarkan dengan kata-kata biasa.
Abul Wafa Al-Ghanimi At-Tafizani ahli filsafat islam dan tasawuf menyampaikan pendapatnya bahwa cirri umum tasawuf yaitu, tasawuf memiliki nilai-nilai moral yang tujuannya membersihkan jiwa yang hanya dapat depiroleh melaui latihan fisik-psikis serta pengekangan diri dari pengaruh matrelialisme duniawi. Menurut Ibnu Arabi pengetahuan dalam tasawuf bersifat pasti dan meyakinkan, bukan bersifat spekulatif.
Berdasarkan objek dan sasarannya tasawuf diklasifikasikan menjadi 3 macam:
1.      Tasawuf akhlaqi yaitu tasawuf yang sangat menekankan nilai-nilai moral.
2.      Tasawuf amali yaitu tasawuf yang lebih mengutamakan kebiasaan beribadah, tujuannya agar memperoleh penghayatan spiritual dalam setiap melakukan ibadah.
3.      Tasawuf falsafi yang menekankan pada masalah-masalah yang yang metafisik.
(Mulyadi, 2005,hal 129-131)
2.3. Maqamat dan Hal dalam Tasawuf
ü  Maqamat
Secara harfiah maqamat berasal dari bahasa Arab yang berarti tempat orang berdiri atau pangkal mulia. Istilah ini kemudian digunakan sebagai jalan panjang yang harus ditempuh oleh seorang sufi untuk berada dekat dengan Allah. Dalam bahasa Inggris maqamat dikenal dengan istilah stage yang berarti tangga. Dalam Bahasa Inggris maqamat dikenal dengan istilah stage yang artinya tangga.
Tingkatan atau maqamat yang harus ditempuh seorang sufi untuk sampai menuju Tuhannya , ada 7 menurut Abu Nasr As Sarraj, antara lain:
1.      Taubat
Kata Taubat adalah bentuk mashdar dari bahasa Arab taba, yatuubu, taubatan yang artinya kembali. Sedangkan taubat yang dimaksud oleh kalangan sufi adalah memohon ampun atas segala dosa dan kesalahan disertai janji yang sungguh-sungguh tidak akan mengulangi perbuatan dosa tersebut, yang disertai dengan melakukan amal kebajikan. Untuk mencapai taubat yang sesungguhnya dan dirasakan diterima oleh Allah terkadang tidak dapat dicapai satu kali saja. Ada kisah yang mengatakan bahwa seorang sufi sampai tujuh puluh kali taubat, baru ia mencapai tingkat taubat yang sesungguhnya. Taubat yang sebenarnya dalam paham sufisme ialah lupa pada segala hal kecuali Allah.
2.      Wara’
Wara’ berarti shaleh, yaitu menghindari diri dari perbuatan dosa atau menjauhi hal-hal yang tidak baik dan syubhat. Dan dalam pengertian sufi, wara adalah meninggalkan segala yang di dalamnya terdapat keragu-raguan antara halal dan haram (syubhat). Sikap menjauhi diri dari yang syubhat ini sejalan dengan hadis Nabi yang berbunyi: “Barangsiapa yang dirinya terbebas dari syubhat, maka sesungguhnya ia telah terbebas dari yang haram.” (HR. Bukhari). Hadits tersebut menunjukkan bahwa syubhat lebih dekat pada yang haram. Kaum sufi menyadari benar bahwa setiap makanan, minuman, pakaian dan sebagainya yang haram dapat memberi pengaruh bagi orang yang memakan, meminum atau memakannya. Orang yang demikian akan keras hatinya, sulit mendapatkan hidayah dan ilham dari Tuhan. Hal ini dipahami dari hadits Nabi yang menyatakan bahwa setiap makanan yang haram yang dimakan oleh manusia akan menyebabkan noda hitam pada hati yang lama-kelamaan hati menjadi keras. ini sangat ditakuti oleh para sufi yang senantiasa mengharapka Nur Ilahi yang dipancarkan lewat hatinya yang bersih.
3.      Zuhud
Secara harfiah zuhud berarti tidak ingin kepada sesuatu yang bersifat keduniawian.
Orang yang zuhud lebih mengutamakan atau mengejar kebahagiaan hidup di akhirat yang kekal dan abadi, daripada mengejar kehidupan dunia yang fana dan sepintas lalu. Hal ini dapat dipahami dari isyarat ayat yang berbunyi,“Katakanlah kesenangan di dunia ini hanya sebentar dan akhirat itu lebih baik bagi orang-orang yang bertakwa, dan kamu tidak akan dianiaya sedikitpun” (QS. 4: 78)
4.      Fakir
Fakir menurut bahasa adalah orang yang berhajat, butuh atau orang miskin, sedangkan dalam pandangan kaum sufi , fakir adalah tidak meminta lebih dari apa yang menjadi haknya,tidak banyak mengharap dan memohon rezeki, kecuali hanya untuk menjalankan kewajiban-kewajiban dalam rangka mendekatkan diri kepada Allah SWT.
5.      Sabar
Sabar berarti menghindari diri dari hal-hal yang bertentangan dengan apa yang dilarang Allah, ia tenang ketika mendapatkan cobaan dan menampakkan sikap perwira walaupun sebenarnya berada dalam kefakiran bidang ekonomi. Dalam kalangan sufi sabar itu , ada sabar dalam menjalani perintah-perintah Allah, sabar dalam menjauhi segala larangan-Nya, dan sabar dalam menerima segala cobaan yang ditimpa kepadanya.
6.      Tawakkal
Tawakkal adalah penyerahan diri seorang hamba kepada Allah setelah ada usaha yang maksimal.
7.      Ridha
Ridha dilihat dari segi bahasa berarti senang, rela, suka. Harun Nasution mengatakan bahwa ridha berarti tidak berusaha, tidak menentang qadha dan qadhar Allah, menerima qadha dan qadhar Allah dengan senang hati, mengeluarkan perasaan benci dari hatinya, merasa senang menerima malapetaka sebagaimana merasa senang ketika mereka mendapatkan nikmat, tidak meminta surga dari Allah dan tidak minta dijauhkan dari neraka.

ü  Hal atau keadaan kaum sufi dalam tasawuf
Menurut Harun Nasution, hal merupakan keadaan mental, seperti perasaan senang, perasaan sedih, perasaan takut dan sebagainya. Hal yang biasa disebut sebagai hal adalah takut (Khauf), rendah hati (tawadhu), patuh (Taqwa), ikhlas (Ikhlas), rasa berteman (uns), gembira hati (Wajd), berterima kasih (Syukur).
Hal berlainan dengan maqam, bukan diperoleh atas usaha manusia, tetapi didapat sebagai anugerah dan rahmat dari Tuhan. Dan berlainan pula dengan maqam, hal bersifat sementara, datang dan pergi, datang dan pergi bagi seorang sufi dalam perjalanannya mendekati Tuhan.
Selain melaksanakan berbagai kegiatan dan usaha sebagai mana disebutkan di atas, seorang sufi juga harus melakukan serangkaian kegiatan mental yang berat. Kegiatan mental tersebut seperti riyadah, mujahadah, khalwat, uzlah, muraqabah, suluk dan sebagainya. Riyadah berarti latihan mental dengan melaksanakan zikir dan tafakkur yang sebanyak-banyaknya serta melatih diri dengan berbagai sifat yang terdapat dalam maqam. Selanjutnya mujahadah berarti berusaha sungguh-sungguh dalam melaksanakan perintah Allah. Selanjutnya khalwat berarti menyepi atau bersemedi, dan uzlah berarti mengasingkan diri dari pengaruh keduniaan. Dan muraqabah berarti mendekatkan diri kepada Allah; dan suluk berarti menjalankan cara hidup sebagai sufi dengan zikir dan zikir.
Perjalanan spiritual yang dilakukan seorang sufi dalam menemukan hakikat dan ma’rifah TuhanNya mempunyai kecendrungan yang berbeda sehingga muncul beberapa tokoh sufi yang menonjol dalam pengalaman rohaninya , seperti mahabbah, ma’rifah, fana, baqa, ittihad, hulul, wahdatul wujud, insan kamil.
è  MAHABBAH
Pengertian, Tujuan dan Kedudukan maahabbah
Kata mahabbah berasal dari kata ahabba, yuhibbu, mahabatan, yang secara harfiah berarti mencintai secara mendalam, atau kecintaan atau cinta yang mendalam. Dalam Mu'jam al-Falsafi, Jamil Shaliba mengatakan mahabbah adalah lawan dari al-baghd(benci). Mahabbah dapat pula berarti wadud, yakni yang sangat kasih atau penyayang. Selain itu mahabbah dapat pula berarti kecenderungan pada sesuatu yang sedang berjalan, dengan tujuan untuk memperoleh kebutuhan yang bersifat material maupun spiritual, Mahabbah pada tingkat selanjutnya dapat pula berarti suatu usaha sungguh-sungguh dari seseorang untuk mencapai tingkat rohaniah tertinggi dengan tercapainya gambaran Yang Mutlak, yaitu cinta kepada Tuhan.
Kata mahabbah tersebut selanjutnya digunakan untuk menunjukkan pada suatu paham atau aliran dalam tasawuf. Dalam hubungan ini mahabbah obyeknya lebih ditujukan pada Tuhan. Dari sekian banyak arti mahabbah yang dikemukakami di atas, tampaknya ada juga yang cocok dengan arti mahabbah yang dikehendaki dalam tasawuf, yaitu mahabbah yang artinya kecintaan yang mendalam secara ruhiah pada Tuhan.
Rabi'ah al-Adawiyah adalah seorang zahid perempuan yang amat besar dari Bashrah, di Irak. Menurut riwayatnya ia adalah seorang hamba yang kemudian dibebaskan. Dalam hidup selanjutnya ia banyak beribadat, bertaubat dan menjauhi hidup duniawi. la hidup dalam kesederhanaan dan menolak segala bantuan material yang diberikan orang kepadanya. Dalam berbagai doa yang dipanjatkannya ia tak mau meminta hal-hal yang bersifat materi dari Tuhan. la betul-betul hidup dalam keadaan zuhud dan hanya ingin berada dekat dengan Tuhan.
è MA’RIFAH
Pengertian Tujuan Dan Kedudukan Ma'rifah
Dari segi bahasa ma'rifah berasal dari kata arafa, ya'rifu, irfan, ma'rifah yang artinya pengetahuan atau pengalaman Dan dapat pula berarti pengetahuan tentang rahasia hakikat agama, yaitu ilmu yang lebih tinggi daripada ilmu yang biasa didapati oleh orang-orang pada umumnya. Ma'rifah adalah pengetahuan yang obyeknya bukan pada hal-hal yang bersifat zahir, tetapi lebih mendalam terhadap batinnya dengan mengetahui rahasianya. Hal ini didasarkan pada pandangan bahwa akal manusia sanggup mengetahui hakikat ketuhanan, dan hakikat itu satu, dan segala yang maujud berasal dari yang satu.
Selanjutnya ma'rifah digunakan untuk menunjukan, pada salah satu tingkatan dalam tasawuf. Dalam arti sufistik ini, ma'rifah diartikan sebagai pengetahuan mengenai Tuhan: melalui hati sanubari. Pengetahuan itu demikian lengkap dan jelas sehingga jiwanya merasa satu dengan yang diketahuinya itu, yaitu Tuhan. Selanjutnya Harun Nasution mengatakan bahwa ma'rifah menggambarkan hubungan rapat daiam bentuk gnosis (pengetahuan dengan hati sanubari).
Seterusnya al-Ghazali menjelaskan bahwa orang yang mempunyai ma'rifah tentang Tuhan, yaitu arif, tidak akan mengatakan ya Allah atau ya rabb karena memanggil Tuhan dengan kata-kata serupa ini menyatakan bahwa Tuhan ada di bekalang tabir. Orang yang duduk berhadapan dengan temannya tidak akan memanggil temannya itu. Tetapi bagi al-Ghazali ma'rifah urutannya terlebih dahulu daripada mahabbah, karena mahabbah timbul dari ma'rifah. Namun mahabbah yang dimaksud al-Ghazali berlainan dengan mahabbah yang diucapkan oleh Rabi'ah al-Adawiyah, yaitu mahabbah dalam bentuk cinta seseorang kepada yang berbuat baik kepadanya, cinta yang timbul dari kasih dan rahmat Tuhan kepada manusia yang memberi manusia hidup, rezeki, kesenangan dan lain-lain. Al-Ghazali lebih lanjut mengatakan bahwa ma'rifah dan mahabbah itulah setinggi-tinggi tingkat yang dapat dicapai seorang sufi. Dan pengetahuan yang diper­oleh dari ma'rifah lebih tinggi mutunya dari pengetahuan yang diperoleh dengan akal.
è FANA, BAQA DAN ITTIHAD
Pengertian tujuan dan kedudukan Fana, Baqa dan Ittihad
Dari segi bahasa kata fana’ artinya sirna, lebur atau hilang. Sedangkan baqa artinya kekal, abadi dan senantiasa ada. Sedangkan ittihad yaitu pengalaman bathin akan kesatuan seorang sufi. Jadi, ketika seorang sufi mencapai tingkat ini merasa fana’ yaitu hilangnya sifat-sifat yang tercela dan munculnya sifat terpuji. Pendapat kaum orientalis maqamat fana’ ini dianggap ada persamaan dengan ajaran windu tentang nirwana. Dan ketika telah mencapai maqamat ittihad seorang sufi akan mabuk dalam kenikmatan bersatu dengan Allah. Tokoh yang terpopuler dalam ittihad adalah Abu Yazid Al-Bustami.
Berdasarkan uraian tersebut dapat diketahui bahwa yang dituju dengan fana dan baqa ini adalah mencapai persatuan secara rohaniah dan batiniah dengan Tuhan, sehingga yang disadarinya hanya Tuhan dalam dirinya.
è HULUL
Pengertian, Tujuan Dan Kedudukan Hulul
Secara harfiah hulul berarti Tuhan mengambil tempat dalam tubuh manusia tertentu, yaitu manusia yang telah dapat melenyapkan sifat-sifat kemanusiaannya melalui fana. Menurut keterangan Abu Nasr al-Tusi dalam al-Luma' sebagai dikutip Harun Nasution, adalah paham yang mengatakan bahwa Tuhan memilih tubuh-tubuh manusia tertentu untuk mengambil tempat di dalamnya setelah kemanusiaan yang ada dalam tubuh itu dilenyapkan. Di dalam teks Arab pernyataan tersebut berbunyi: "Sesungguhnya Allah memilih jasad-jasad (tertentu) dan me-nempatinya dengan makna ketuhanan (setelah) menghilangkan sifat-sifat kemanusiaan".
Paham bahwa Allah dapat mengambil tempat pada manusia ini, bertolak dari dasar pemikiran al-Hallaj yang mengatakan bahwa pada diri manusia terdapat dua sifat dasar yaitu lahut (ketuhanan) dan nasut (kemanusiaan). Ini dapat; dilihat dari teorinya mengenai kejadian manusia dalam bukunya bernama al-thaiwasim “Sebelum Tuhan menjadikan makhluk”, la hanya melihat diri-Nya sendiri. Dalam kesendian-Nya itu terjadilah dialog antara Tuhan dengan diri-Nya sendiri, yaitu dialog yang didalamnya tidak terdapat kata ataupun huruf. Yang dilihat Allah hanyalah kemuliaan dan ketinggian zat-Nya. Allah melihat kepada zat-nya dan la pun cinta pada zat-Nya sendiri, cinta yang tak dapat disifatkan, dan cinta inilah yang menjadi sebab wujud dan sebab dari yang banyak ini. Tokoh yang Mengembangkan Paham al-Hulul adalah al-Hallaj. Al-Junaid yang juga seorang sufi. Selain itu ia pernah juga menunaikan ibadah haji di Mekkah selama tiga kali. Dengan riwayat hidup yang singkat ini jelas bahwa ia memiliki dasar pengetahuan tentang tasawuf yang cukup kuat dan mendalam. Dalam perjalanan hidup selanjutnya ia pernah keluar masuk penjara akibat konflik dengan ulama fikih. Pandangan-pandangan tasawuf yang agak ganjil sebagaimana akan dikemukakan di bawah ini menyebabkan seorang ulama fiqh bernama Ibn Daud al-Isfahani mengeluarkan fatwa untuk membantah dan memberantas pahamnya. Al-lsfahani dikenal sebagai ulama fikih penganut mazhab Zahiri, suatu mazhab yang hanya mementingkan zahir Nash ayat belaka. Fatwa yang menyesatkan yang dikeluarkan oleh Ibn Daud itu sangat besar pengaruhnya terhadap diri al-Hallaj, sehingga al-Hallaj ditangkap dan dipenjarakan. Tetapi setelah satu tahun dalam penjara, dia dapat meloloskan diri berkat bantuan seorang sifir penjara.
è WAHDATUL WUJUD
Pengertian dan Tujuan Wahdatul Wujud
Wahdatul wujud adalah ungkapan yang terdiri dari dua kata, yaitu wahdat dan al-wujud. Wahdat artinya sendiri, tunggal atau kesatuan, sedangkan al-wujud artinya ada. Dengan demi kian wahdat al-wujud berarti kesatuan wujud. Selain itu kata al-wahdah digunakan pula oleh para ahli filsafat dan sufistik sebagai suatu kesatuan antara materi dan roh, substansi (hakikat) dan forma (bentuk), antara yang tampak (lahir) dan yang batin, antara alam dan Allah, karena alam dari segi hakikatnya qadim dan berasal dari Tuhan. Pengertian wahdatul wujud yang terakhir itulah yang se lanjutnya digunakan para sufi, yaitu paham bahwa antara manusia dan Tuhan pada hakikatnya adalah satu kesatuan wujud. Harun Nasution lebih lanjut menjelaskan paham ini dengan mengatakan, bahwa dalam paham wahdatul wujud.
Tokoh yang Membawa Paham Wahdatul Wujud
Paham Wahdatul Wujud dibawa oleh Muhyiddin Ibn Arabi yang lahir di Murcia, Spanyol di tahun 1165. Selain sebagai sufi, Ibn Arabi juga dikenal sebagai penulis yang produktif,  bukunya yang termasyhur ialah Fusus al-Hikam yang berisi tentang tasawuf.
Menurut Hamka, Ibn Arabi dapat disebut sebagai orang yang telah sampai pada puncak wahdatul wujud. Dia telah menegakkan pahamnya dengan berdasarkan renungan pikir dan filsafat dan zauq tasawuf. la menyajikan ajaran tasawufnya dengan bahasa yang agak berbelit-belit dengan tujuan untuk menghindari tuduhan, fitnah dan ancaman kaum awam sebagaimana dialami al-Hallaj.
è INSAN KAMIL
Pengertian Insan Kamil
Insan kamil berasal dari bahasa Arab, yaitu dari dua kata: Insan dan kamil. Secara harfiah, Insan berarti manusia, dan kamil berarti yang sempurna. Dengan demikian, insan kamil berarti manusia yang sempurna. Dalam bahasa Arab kata insan mengacu kepada sifat manusia yang terpuji seperti kasih sayang, mulia dan lainnya. Selanjutnya kata insan digunakan oleh para filosof klasik sebagai kata yang menunjukkan pada arti manusia secara totalitas yang secara langsung mengarah pada hakikat manusia. Kata insan juga digunakan untuk menunjukkan pada arti terkumpulnya seluruh potensi intelektual, rohani dan fisik yang ada pada manusia, seperti hidup, sifat kehewanan, berkata-kata dan lainnya.
Adapun kata kamil dapat pula berarti suatu keadaan yang sempurna, dan digunakan untuk menunjukkan pada sempurnanya zat dan sifat, dan hal itu terjadi melalui terkumpulnya sejumlah potensi dan kelengkapan seperti ilmu, dan sekalian sifat yang baik lainnya.
Selanjutnya kata insan dijumpai di dalam al-Qur'an dan dibedakan dengan istilah basyar dan an-nas. Kata insan jamak-nya kata an-nas. Kata insan mempunyai tiga asal kata. Pertama, berasal dari kata anasa yang mempunyai arti melihat, mengeta-hui dan minta izin. Yang kedua berasal dari kata nasiya yang artinya lupa. Yang ketiga berasal dari kata al-uns yang artinya jinak, lawan dari kata buas. Dengan bertumpu pada asal kata anasa, maka insan mengandung arti melihat, mengetahui dan meminta izin, dan semua arti ini berkaitan dengan kemampuan manusia dalam bidang penalaran, sehingga dapat menerima pengajaran. Selanjutnya dengan bertumpu pada akar kata nasiya, insan mengandung arti lupa, dan menunjukkan adanya kaitan dengan kesadaran diri. Manusia lupa terhadap sesuatu karena ia kehilangan kesadaran terhadap hal tersebut. Orang yang lupa dalam agama dapat dimaafkan, karena hal yang demikian termasuk sifat insaniyah. Dengan demikian, insan kamil lebih ditujukan kepada manusia yang sempurna dari segi pengembangan potensi intelektual, rohaniah, intuisi, kata hati, akal sehat, fitrah dan lainnya yang bersifat batin lainnya, dan bukan pada manusia dari dimensi basyariahnya. Pembinaan kesempurnaan basyariah bukan menjadi bidang garapan tasawuf, tetapi menjadi garapan fikih. Dengan perpaduan fikih dan tasawuf inilah insan kamil akan lebih terbina lagi. Namun insan kamil lebih ditekankan pada manusia yang sempurna dari segi insaniyahnya, atau segi potensi intelektual, rohaniah dan lainnya itu. Insan Kamil juga berarti manusia yang sehat dan terbina potensi rohaniahnya sehingga dapat berfungsi secara optimal dan dapat berhubungan dengan Allah dan dengan makhluk la innya secara benar menurut akhlak Islami. Manusia yang selamat rohaniah itulah yang diharapkan dari manusia Insan Kamil. Manusia yang demikian inilah yang akan selamat hidupnya di dunia dan akhirat. Diantara cirri-ciri manusia insan kamil , antara lain :
1. Berfungsi Akalnya Secara Optimal
Fungsi akal secara optimal dapat dijumpai pada pendapat kaum Muktazilah. Menurutnya manusia yang akalnya berfungsi secara optimal dapat mengetahui bahwa segala perbuatan baik seperti adil, jujur, berakhlak sesuai dengan essensinya dan merasa wajib melakukan semua itu walaupun tidak diperintahkan oleh wahyu. Manusia yang berfungsi akalnya sudah merasa wajib melakukan perbuatan yang baik. Dan manusia yang demikianlah yang dapat mendekati tingkat insan kamil. De ngan demikian insan kamil akalnya dapat mengenali perbuatan yang baik dan perbuatan buruk karena hal itu telah terkandung pada essensi perbuatan tersebut.
2. Berfungsi Intuisinya
Insan Kamil dapat juga dicirikan dengan berfungsinya intuisi yang ada dalam dirinya. Intuisi ini dalam pandangan Ibn Sina disebut jiwa manusia (rasional soul). Menurutnya jika yang berpengaruh dalam diri manusia adalah jiwa manusianya, maka orang itu hampir menyerupai malaikat dan mendekati kesempurnaan.
3. Mampu Menciptakan Budaya
Sebagai bentuk pengamalan dari berbagai potensi yang terdapat pada dirinya sebagai insan, manusia yang sempurna adalah manusia yang mampu mendayagunakan seluruh potensi rohaniahnya secara optimal. Menurut Ibn Khaldun manusia adalah makhluk berpikir. Sifat-sifat semacam ini tidak dimiliki oleh makhluk lainnya. Lewat kemampuan berpikirnya itu, ma nusia tidak hanya membuat kehidupannya, tetapi juga menaruh perhatian terhadap berbagai cara guna memperoleh makna hidup. Proses-proses semacam ini melahirkan peradaban.
Tetapi dalam kaca mata Ibn Khaldun kelengkapan serta kesempurnaan manusia tidaklah lahir dengan begitu saja, melainkan melalui suatu proses tertentu. Proses tersebut dewasa ini dikenal dengan evolusi.
4.    Menghiasi Diri dengan Sifat-sifat Ketuhanan
Pada uraian tentang arti insan tersebut di atas telah disebutkan bahwa manusia termasuk makhluk yang mempunyai naluri ketuhanan (fitrah). la cenderung kepada hal-hal yang berasal dari Tuhan, dan mengimaninya. Sifat-sifat tersebut menyebabkan ia menjadi wakil Tuhan di muka bumi. Manusia sebagai khalifah yang demikian itu merupakan gambaran ideal. Yaitu manusia yang berusaha menentukan nasibnya sendiri, baik sebagai kelompok masyarakat maupun sebagai individu. Yaitu manusia yang memiliki tanggung jawab yang besar, ka rena memiliki daya kehendak yang bebas. Manusia yang ideal itulah yang disebut insan kamil, yaitu manusia yang dengan sifat-sifat ketuhanan yang ada pada dirinya dapat mengendalikan sifat-sifat rendah yang lain. Sebagai khalifah Allah di muka bumi ia melaksanakan amanat Tuhan dengan melaksanakan perintah-Nya.
5.      Berakhlak Mulia
Sejalan dengan ciri keempat di atas, insan kamil juga adalah manusia yang berakhlak mulia. Hal ini sejalan dengan pendapat Ali Syari'ati yang mengatakan bahwa manusia yang sempurna memiliki tiga aspek, yakni aspek kebenaran, kebajikan dan keindahan. Dengan kata lain ia memiliki pengetahuan, etika dan seni. Semua ini dapat dicapai dengan kesadaran, kemerdekaan dan kreativitas. Manusia yang ideal (sempurna) adalah manusia yang memiliki otak yang briliyan sekaligus memiliki kelembutan hati. Insan kamil dengan kemampuan otaknya mampu menciptakan peradaban yang tinggi dengan kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi, juga memiliki kedalaman perasaan terhadap segala sesuatu yang menyebabkan penderitaan, kemiskinan, kebodohan dan kelemahan.
6.      Berjiwa Seimbang
Menurut Nashr, sebagai dikutip Komaruddin Hidayat, bahwa manusia modem sekarang ini tidak jauh meleset dari siratan Darwin. Bahwa hakikat manusia terletak pada aspek kedalamannya, yang bersifat permanen, immortal yang kini tengah bereksistensi sebagai bagian dari perjalanan hidupnya yang teramat panjang. Tetapi disayangkan, kebanyakan dari mereka lupa akan immortalitas dirinya yang hakiki tadi. Manusia modern mengabaikan kebutuhannya yang paling mendasar, yang bersifat ruhiyah, sehingga mereka tidak akan mendapatkan ketenteraman batin, yang berarti tidak hanya ke seimbangan diri, terlebih lagi bila tekanannya pada kebutuhan materi kian meningkat, maka keseimbangan akan semakin rusak.
Kutipan tersebut mengisyaratkan tentang perlunya sikap seimbang dalam kehidupan, yaitu seimbang antara pemenuhan kebutuhan material dengan spiritual atau ruhiyah. Ini berarti perlunya ditanamkan jiwa sufistik yang dibarengi dengan pengamalan syariat Islam, terutama ibadah, zikir, tafakkur, muhasabbah, dan seterusnya.

2.4. Tasawuf Kontemporer
Tasawuf kontemporer adalah tasawuf bercorak kekinian yang masih berakar pada tasawuf klasik dan konvensional. Bila tasawuf konvensional hanya menyebar melalui buku-buku, tetapi tasawuf kontemporer menggunakan instrumen teknologi. Pada tataran ini, bila nilai tasawuf menjadi kecil atau justru menjadi bahan dari teknologi, maka tasawuf kontemporer diragui akan keotentikannya. Ia hanya menjadi bagian kecil dari teknologi maju. Bukan sebagai subjek dari kemajuan.
Tasawuf kontemporer masih berlandaskan Al-Quran dan Hadits, tetapi mengedepankan packaging dari pada esensi. Walaupun demikian, mereka yang terlibat di dalam dunia tasawuf kontemporer terus mencoba dan menggali serta merasakan, juga mengakui mereka sudah masuk dalam dunia tasawuf. Menurut analisa penulis, tentulah tidak akan mampu marwah tasawuf yang pernah ada pada masa lalu bisa dijemput secara total tanpa mengetahui secara utuh ajaran tasawuf masa lalu tersebut. Apalagi hanya mencomot bagian-bagian penting dan menjadikannya bahan dari apa yang dikomersilkan karena dibutuhkan pasar kepada masyarakat kota.
Walaupun secara tidak langsung ada akar klasik dan konvensional, sesungguhnya mereka mempelajari secara mendalam setiap ajaran yang sudah dan mengamalkannya dalam kehidupan sehari-hari. Menurut analisa penulis, ada kerinduan masyarakat kota untuk kembali hidup pada akar budaya agama yang mengedepan marwah beragama. Tidak sekedar formalitas aktual tetapi juga memiliki makna yang dalam terhadap kehidupan sehari-hari. Tetapi jika kita lihat lebih jauh, semestinya harus terus diawasi karena tasawuf ini bersentuhan dengan industri yang cenderung bermata dua.
Terlepas dari plus dan minus ajaran, juga corak dan potret kehidupannya yang nyaris mengarah kepada pseudo tasawuf, semangat dan pengaruhnya membawa arti penting bagi agama Islam di tengah masyarakat. Lebih-lebih masyarakat kota yang memang merindukan khazanah kehidupan beragama.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar