Rabu, 30 Mei 2012

bagaiman hukum Seni dalam pandangan islam??


BAB I
PENDAHULUAN
1.1 LATAR BELAKANG MASALAH
Masyarakat kaum Muslimīn dewasa ini umumnya menghadapi kesenian
sebagai suatu masalah hingga timbul berbagai pertanyaan, bagaimana
hukum tentang bidang yang satu ini, boleh, makrūh atau harām? Di
samping itu dalam praktek kehidupan sehari-hari, sadar atau tidak,
mereka juga telah terlibat dengan masalah seni. Bahkan sekarang ini
bidang tersebut telah menjadi bagian dari gaya hidup mereka. Seperti contoh yang telah terjadi di beberapa kota, banyaknya diskotik, dan tempat tongkrongan yang di penuhi oleh suara bising musik dan dipenuhi oleh muda-mudi yang mencari kesenangan dengan bernyanyi dan menari tanpa mempedulikan lagi hukum halāl-harām.
Semua keadaan yang kami tuturkan di atas terjadi dan berawal dari
kejatuhan seni budaya dan peradaban Islam. Kita dapat menyaksikan
sendiri, seni dan budaya kita telah digantikan dan tergeser(shifted ,moved, removed) oleh seni budaya dan peradaban produk Barat yang nota-benenya(perhatiannya ) menekankan kehidupan yang bebas tanpa ikatan agama apapun.
Berangkat dari hal ini saya ingin mencoba membahas sedikit permasalahan yang berkaitan dengan seni dan tari dalam pandangan Islam. Mengingat Islam adalah agama yang syamil dan mutakamil sehingga tidak ada yang diragukan didalamnya.
Namun, Sebelum kita membahas tentang pandangan islam terhadap seni dan tari itu sendiri kita harus mengetahui terlebih dahulu apa itu seni dan cabang seni itu sendiri khususnya seni tari.
BAB II
ISI

2.1 Pengertian seni
Secara harfiah, seni merupakan bentuk dari karya manusia yang mengandung keindahan; mengandung pesona karya dan rasa jika diamati dan dinikmati. Kemudian memberikan kepuasan dan kesenangan pada setiap jiwa manusia dan seni adalah keindahan yang memberikan kepuasan dalam kehidupan kita sehari-hari. Maka seni dan kesenian adalah suatu jelmaan dari rasa keindahan yang wujud dari kerja manusia untuk mencapai kesejahteraan hidupnya. Disusun berdasarkan pemikiran-pemikirannya sehingga ia menjadi suatu karya yang indah dan menimbulkan kesenangan untuk dinikmati.
Secara filsafat, kalau segala sesuatu yang baik dan buruk dapat dinilai dengan dimensi etika, maka seni dan keindahan ini selalu dibahas dengan dimensi estetika yaitu melalui penghayatan dan pengalaman-pengalaman indra manusia.
Dalam Ensiklopedi Indonesia disebutkan bahwa seni adalah penjelmaan rasa indah yang terkandung dalam jiwa manusia, yang dilahirkan dengan perantaraan alat komunikasi ke dalam bentuk yang dapat ditangkap oleh indera pendengar (seni suara), indera pendengar (seni lukis), atau dilahirkan dengan perantaraan gerak (seni tari, drama)
Dilihat dari ruh ajaran Islam dan kaedahnya Islam tidak melarang sesuatu yang baik, indah dan kenikmatan yang diterima akal sehat. Sebagaimana dalam Surah Al-Maidah ayat 4 "Mereka bertanya kepadamu tentang apa yang dihalalkan Allah, katakanlah dihalalkan kepadamu segala yang baik-baik". Seni merupakan fitrah yang Allah ciptakan dalam diri manusia.
2.2 Seni Musik
     Adapun seni musik (instrumental art) adalah seni yang berhubungan dengan alat-alat musik dan irama yang keluar dari alat-alat musik tersebut. Seni musik membahas antara lain cara memainkan instrumen musik, cara membuat not, dan studi bermacam-macam aliran musik.
 Seni musik ini bentuknya dapat berdiri sendiri sebagai seni instrumentalia (tanpa vokal) dan dapat juga disatukan dengan seni vokal. Seni instrumentalia, seperti telah dijelaskan di muka, adalah seni yang diperdengarkan melalui media alat-alat musik. Sedang seni vokal, adalah seni yang diungkapkan dengan cara melagukan syair melalui perantaraan oral (suara saja) tanpa iringan instrumen musik.
Seni vokal tersebut dapat digabungkan dengan alat-alat musik tunggal (gitar, biola, piano, dan lain-lain) atau dengan alat-alat musik majemuk seperti band, orkes simfoni, karawitan, dan sebagainya.
2.3 Pengarang Teori Musik dari Kalangan Kaum Muslimin.
Pada waktu itu muncullah seorang ahli musik bernama Ibnu Misjah
(wafat tahun 705 M.). Setelah itu kaum Muslimin banyak yang
mempelajari buku-buku musik yang diterjemahkan dari bahasa Yunani dan
Hindia. Mereka mengarang kitab-kitab musik baru dengan mengadakan penambahan, penyempurnaan, dan pembaharuan, baik dari segi alat-alat instrumen maupun dengan sistem dan teknisnya.
 Di antara pengarang teori musik Islam yang terkenal ialah:
1. Yunus bin Sulaimān Al-Khatīb (wafat tahun 785 M.). Beliau adalah
pengarang musik pertama dalam Islam. Kitāb-kitāb karangannya dalam
musik sangat bernilai tinggi sehingga penggarang-penggarang teori musik
Eropa banyak yang merujuk ke ahli musik ini.
2. Khalīl bin Ahmad (wafat tahun 791 M.). Beliau telah mengarang buku teori musik mengenai not dan irama.
3. Ishāk bin Ibrāhīm Al-Mausully (wafat tahun 850 M.) telah berhasil
memperbaiki musik ‘Arab jāhilliyah dengan sistem baru. Buku musiknya
yang terkenal adalah KITĀB-UL-ALHAN WAL-ANGHĀM (Buku Not dan
Irama). Beliau sangat terkenal dalam musik sehingga mendapat julukan
IMĀM-UL-MUGHANNIYĪN (Raja Penyanyi).
2.4 Kehidupan Masyarakat Islam pada Masa Rasulullah S.A.W.
Walaupun demikian perlu juga diperhatikan, kehidupan masyarakat Islam
di masa Rasūlullāh s.a.w. ditandai oleh dua karakteristik, yaitu (1).
sederhana; (2). banyak berbuat untuk jihād fī sabīlillāh.
Membela Islam dan meluaskannya menghendaki seluruh pemikiran dan
usaha sehingga tidak ada sisa waktu lagi untuk bersenang-senang
menciptakan bentuk-bentuk keindahan (seni musik, lagu) apalagi
menikmatinya. Orang-orang Islam dengan lagu dan musik. Ini
membuktikan bahwa masyarakat Islam di masa Rasūlullāh bukan tanah
yang subur untuk kesenian. Tetapi ketika wilayah Islam meluas, kaum
Muslimīn berbaur dengan berbagai bangsa yang masing-masing
mempunyai kebudayaan dan kesenian sehingga terbukalah mata mereka
kepada kesenian suara baru dengan mengambil musik-musik Persia dan
Romawi.
2.5 Pendidikan Musik di Negeri-Negeri Islam.
Selain dari penyusunan kitāb musik yang dicurahkan pada akhir masa
Daulah Umayyah. Pada masa itu para khalīfah dan para pejabat lainnya
memberikan perhatian yang sangat besar dalam pengembangan
pendidikan musik. (Lihat Prof. A.Hasmy, Sejarah kebudayaan Islam, hlm.320-321).
Banyak sekolah musik didirikan oleh negara Islam di berbagai kota dan daerah, baik sekolah tingkat menengah maupun sekolah tingkat tinggi. Sekolah musik yang paling sempurna dan teratur adalah yang didirikan oleh Sa‘id ‘Abd-ul-Mu’mīn (wafat tahun 1294 M.).
Salah satu sebab mengapa dalam Daulah ‘Abbāsiyyah didirikan banyak
sekolah musik adalah karena keahlian menyanyi dan bermusik menjadi
salah satu syarat bagi pelayan (budak), pengasuh, dayang-dayang di
istana dan di rumah pejabat negara atau pun di rumah para hartawan
untuk mendapatkan pekerjaan. Karena itu telah menjadi suatu keharusan
bagi para pemuda dan pemudi untuk mempelajari musik.
BAB III
PEMBAHASAN

3.1. Hukum Melantunkan Nyanyian (al-Ghina’ / at-Taghanni)
Para ulama berbeda pendapat mengenai hukum menyanyi (al-ghina’ / at-taghanni). Sebagian mengharamkan nyanyian dan sebagian lainnya menghalalkan.
A. Dalil-Dalil Yang Mengharamkan Nyanyian:
a. Berdasarkan firman Allah:
Dan di antara manusia ada orang yang mempergunakan perkataan yang tidak berguna (lahwal hadits) untuk menyesatkan manusia dari jalan Allah tanpa pengetahuan dan menjadikan jalan Allah itu ejekan. Mereka itu akan memperoleh adzab yang menghinakan.” (Qs. Luqmân [31]: 6)
b. Hadits Abu Malik Al-Asy’ari ra bahwa Rasulullah Saw bersabda:
Sesungguhnya akan ada di kalangan umatku golongan yang menghalalkan zina, sutera, arak, dan alat-alat musik (al-ma’azif).” [HR. Bukhari, Shahih Bukhari, hadits no. 5590].
c. Hadits Aisyah ra Rasulullah Saw bersabda:
Sesungguhnya Allah mengharamkan nyanyian-nyanyian (qoynah) dan menjualbelikannya, mempelajarinya atau mendengar-kannya.” Kemudian beliau membacakan ayat di atas. [HR. Ibnu Abi Dunya dan Ibnu Mardawaih].
e. Hadits dari Abu Umamah ra, Rasulullah Saw bersabda:
Orang yang bernyanyi, maka Allah SWT mengutus padanya dua syaitan yang menunggangi dua pundaknya dan memukul-mukul tumitnya pada dada si penyanyi sampai dia berhenti.” [HR. Ibnu Abid Dunya.].
B. Dalil-Dalil Yang Menghalalkan Nyanyian:
a. Firman Allah SWT:
Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu haramkan apa-apa yang baik yang telah Allah halalkan bagi kamu dan janganlah kamu melampaui batas, sesungguhnya Allah tidak menyukai orang yang melampaui batas.” (Qs. al-Mâ’idah [5]: 87).
b. Ruba’i Binti Mu’awwidz Bin Afra berkata:
Nabi Saw mendatangi pesta perkawinanku, lalu beliau duduk di atas dipan seperti dudukmu denganku, lalu mulailah beberapa orang hamba perempuan kami memukul gendang dan mereka menyanyi dengan memuji orang yang mati syahid pada perang Badar. Tiba-tiba salah seorang di antara mereka berkata: “Di antara kita ada Nabi Saw yang mengetahui apa yang akan terjadi kemudian.” Maka Nabi Saw bersabda:
Tinggalkan omongan itu. Teruskanlah apa yang kamu (nyanyikan) tadi.” [HR. Bukhari, dalam Fâth al-Bârî, juz. III, hal. 113, dari Aisyah ra].
c. Dari Aisyah ra; dia pernah menikahkan seorang wanita kepada pemuda Anshar. Tiba-tiba Rasulullah Saw bersabda:
Mengapa tidak kalian adakan permainan karena orang Anshar itu suka pada permainan.” [HR. Bukhari].
Dari sini kita dapat memahami bahwa nyanyian ada yang diharamkan, dan ada yang dihalalkan. Nyanyian haram didasarkan pada dalil-dalil yang mengharamkan nyanyian, yaitu nyanyian yang disertai dengan kemaksiatan atau kemunkaran, baik berupa perkataan (qaul), perbuatan (fi’il), atau sarana (asy-yâ’), misalnya disertai khamr, zina, penampakan aurat, ikhtilath (campur baur pria–wanita), atau syairnya yang bertentangan dengan syara’, misalnya mengajak pacaran, mendukung pergaulan bebas, mempropagandakan sekularisme, liberalisme, nasionalisme, dan sebagainya.
Nyanyian halal didasarkan pada dalil-dalil yang menghalalkan, yaitu nyanyian yang kriterianya adalah bersih dari unsur kemaksiatan atau kemunkaran. Misalnya nyanyian yang syairnya memuji sifat-sifat Allah SWT, mendorong orang meneladani Rasul, mengajak taubat dari judi, mengajak menuntut ilmu, menceritakan keindahan alam semesta, dan semisalnya.[1]
3.2  Hukum Mendengarkan Nyanyian (Sama’ al-Ghina’)
Hukum menyanyi tidak dapat disamakan dengan hukum mendengarkan nyanyian. Sebab memang ada perbedaan antara melantunkan lagu (at-taghanni bi al-ghina’) dengan mendengar lagu (sama’ al-ghina’).
Sekedar mendengarkan nyanyian adalah mubah, bagaimanapun juga nyanyian itu. Sebab mendengar adalah perbuatan jibiliyyah yang hukum asalnya mubah. Tetapi jika isi atau syair nyanyian itu mengandung kemungkaran, kita tidak dibolehkan.[2]
3.3 Hukum Mendengar Nyanyian Secara Interaktif (Istima’ al-Ghina’)
Mendengar nyanyian (sama’ al-ghina’) adalah sekedar mendengar, tanpa ada interaksi misalnya ikut hadir dalam proses menyanyinya seseorang. Sedangkan istima’ li al-ghina’, adalah lebih dari sekedar mendengar, yaitu ada tambahannya berupa interaksi dengan penyanyi, yaitu duduk bersama sang penyanyi, berada dalam satu forum, berdiam di sana, dan kemudian mendengarkan nyanyian sang penyanyi b. Hukum Mendengar Nyanyian Secara Interaktif (Istima’ al-Ghina’).
Jika seseorang mendengarkan nyanyian secara interaktif, dan nyanyian serta kondisi yang melingkupinya sama sekali tidak mengandung unsur kemaksiatan atau kemungkaran, maka orang itu boleh mendengarkan nyanyian tersebut.
Adapun jika seseorang mendengar nyanyian secara interaktif (istima’ al-ghina’) dan nyanyiannya adalah nyanyian haram, atau kondisi yang melingkupinya haram (misalnya ada ikhthilat) karena disertai dengan kemaksiatan atau kemunkaran, maka aktivitasnya itu adalah haram.[3]
3.4  Hukum Memainkan Alat Musik
ada satu jenis alat musik yang dengan jelas diterangkan kebolehannya dalam hadits, yaitu ad-duff atau al-ghirbal, atau rebana. Sabda Nabi Saw:
Umumkanlah pernikahan dan tabuhkanlah untuknya rebana (ghirbal).” [HR. Ibnu Majah] [4]
Adapun selain alat musik ad-duff / al-ghirbal, maka ulama berbeda pendapat. Ada yang mengharamkan dan ada pula yang menghalalkan. Imam Ibnu Hazm dalam kitabnya Al-Muhalla, juz VI, hal. 59 mengatakan:
Jika belum ada perincian dari Allah SWT maupun Rasul-Nya tentang sesuatu yang kita perbincangkan di sini [dalam hal ini adalah nyanyian dan memainkan alat-alat musik], maka telah terbukti bahwa ia halal atau boleh secara mutlak.[5]
Kesimpulannya, memainkan alat musik apa pun, adalah mubah. Inilah hukum dasarnya. Kecuali jika ada dalil tertentu yang mengharamkan, maka pada saat itu suatu alat musik tertentu adalah haram. Jika tidak ada dalil yang mengharamkan, kembali kepada hukum asalnya, yaitu mubah.[6]
3.5 Hukum Mendengarkan Musik
a. Mendengarkan Musik Secara Langsung (Live)
Pada dasarnya mendengarkan musik (atau dapat juga digabung dengan vokal) secara langsung, seperti show di panggung pertunjukkan, di GOR, lapangan, dan semisalnya, hukumnya sama dengan mendengarkan nyanyian secara interaktif. Patokannya adalah tergantung ada tidaknya unsur kemaksiatan atau kemungkaran dalam pelaksanaannya.
Jika terdapat unsur kemaksiatan atau kemungkaran, misalnya syairnya tidak Islami, atau terjadi ikhthilat, atau terjadi penampakan aurat, maka hukumnya haram. Jika tidak terdapat unsur kemaksiatan atau kemungkaran, maka hukumnya adalah mubah[7]
3.6  Pedoman Umum Nyanyian Dan Musik Islami
Pedoman ini disusun atas di prinsip dasar, bahwa nyanyian dan musik Islami wajib bersih dari segala unsur kemaksiatan atau kemungkaran, seperti diuraikan di atas. Setidaknya ada 4 (empat) komponen pokok yang harus diislamisasikan, hingga tersuguh sebuah nyanyian atau alunan musik yang indah (Islami):
1. Musisi/Penyanyi.
2. Instrumen (alat musik).
3. Sya’ir dalam bait lagu.
4. Waktu dan Tempat.
Berikut sekilas uraiannya:
1). Musisi/Penyanyi
a) Bertujuan menghibur dan menggairahkan perbuatan baik (khayr / ma’ruf) dan menghapus kemaksiatan, kemungkaran, dan kezhaliman. Misalnya, mengajak jihad fi sabilillah, mengajak mendirikan masyarakat Islam. Atau menentang judi, menentang pergaulan bebas, menentang pacaran, menentang kezaliman penguasa sekuler.
b) Tidak ada unsur tasyabuh bil-kuffar (meniru orang kafir dalam masalah yang bersangkutpaut dengan sifat khas kekufurannya) baik dalam penampilan maupun dalam berpakaian. Misalnya, mengenakan kalung salib, berpakaian ala pastor atau bhiksu, dan sejenisnya.
c) Tidak menyalahi ketentuan syara’, seperti wanita tampil menampakkan aurat, berpakaian ketat dan transparan, bergoyang pinggul, dan sejenisnya. Atau yang laki-laki memakai pakaian dan/atau asesoris wanita, atau sebaliknya, yang wanita memakai pakaian dan/atau asesoris pria. Ini semua haram.
2). Instrumen/Alat Musik
Dengan memperhatikan instrumen atau alat musik yang digunakan para shahabat, maka di antara yang mendekati kesamaan bentuk dan sifat adalah:
a) Memberi kemaslahatan bagi pemain ataupun pendengarnya. Salah satu bentuknya seperti genderang untuk membangkitkan semangat.
b) Tidak ada unsur tasyabuh bil-kuffar dengan alat musik atau bunyi instrumen yang biasa dijadikan sarana upacara non muslim.
Dalam hal ini, instrumen yang digunakan sangat relatif tergantung maksud si pemakainya. Dan perlu diingat, hukum asal alat musik adalah mubah, kecuali ada dalil yang mengharamkannya.
3). Sya’ir
Berisi:
a) Amar ma’ruf (menuntut keadilan, perdamaian, kebenaran dan sebagainya) dan nahi munkar (menghujat kedzaliman, memberantas kemaksiatan, dan sebagainya)
b) Memuji Allah, Rasul-Nya dan ciptaan-Nya.
c) Berisi ‘ibrah dan menggugah kesadaran manusia.
d) Tidak menggunakan ungkapan yang dicela oleh agama.
e) Hal-hal mubah yang tidak bertentangan dengan aqidah dan syariah Islam.
Tidak berisi:
a) Amar munkar (mengajak pacaran, dan sebagainya) dan nahi ma’ruf (mencela jilbab,dsb).
b) Mencela Allah, Rasul-Nya, al-Qur’an.
c) Berisi “bius” yang menghilangkan kesadaran manusia sebagai hamba Allah.
d) Ungkapan yang tercela menurut syara’ (porno, tak tahu malu, dan sebagainya).
e) Segala hal yang bertentangan dengan aqidah dan syariah Islam.
4). Waktu Dan Tempat
a) Waktu mendapatkan kebahagiaan (waqtu sururin) seperti pesta pernikahan, hari raya, kedatangan saudara, mendapatkan rizki, dan sebagainya.
b) Tidak melalaikan atau menyita waktu beribadah (yang wajib).
c) Tidak mengganggu orang lain (baik dari segi waktu maupun tempat).
d) Pria dan wanita wajib ditempatkan terpisah (infishal) tidak boleh ikhtilat (campur baur).
BAB IV
PENUTUP
Penulis sadari bahwa permasalahan yang dibahas ini adalah permasalahan khilafiyah. Mungkin sebagian pembaca ada yang berbeda pandangan dalam menentukan status hukum menyanyi dan musik ini, dan perbedaan itu sangat penulis hormati.
Tentu saja tulisan ini terlalu sederhana jika dikatakan sempurna. Maka dari itu, dialog dan kritik konstruktif sangat diperlukan guna penyempurnaan dan koreksi.Semua ini mudah-mudahan dapat memberikan manfaat bagi kita semua walau pun cuma secuil.
DAFTAR PUSTAKA
Ø “Norma Islam untuk Musisi, Instrumen, Sya’ir, dan Waktu”. Musik. http://www.ashifnet.tripod.com/
Ø Asy-Syuwaiki, Muhammad. Tanpa Tahun. Al-Khalash wa Ikhtilaf An-Nas. (Al-Quds : Mu`assasah Al-Qudsiyah Al-Islamiyyah).
Ø Al-Jazairi, Abi Bakar Jabir. 1992. Haramkah Musik dan Lagu ? (Al-I’lam bi Anna Al-‘Azif wa Al-Ghina Haram). Alih Bahasa oleh Awfal Ahdi. Cetakan I. (Jakarta : Wala` Press).
Ø Omar, Toha Yahya. 1983. Hukum Seni Musik, Seni Suara, dan Seni Tari Dalam Islam. Cetakan II. (Jakarta : Penerbit Widjaya).
Ø Al-Baghdadi, Abdurrahman. 1991. Seni Dalam Pandangan Islam. Cetakan I. (Jakarta : Gema Insani Press).
Ø Wafaa, Muhammad. 2001. Metode Tarjih Atas Kontradiksi Dalil-Dalil Syara’ (Ta’arudh Al-Adillah min Al-Kitab wa As-Sunnah wa At-Tarjih Baynaha). Alih Bahasa oleh Muslich. Cetakan I. (Bangil : Al-Izzah).

[1] “Norma Islam untuk Musisi, Instrumen, Sya’ir, dan Waktu”. Musik. http://www.ashifnet.tripod.com/
[2] Asy-Syuwaiki, Muhammad. Tanpa Tahun. Al-Khalash wa Ikhtilaf An-Nas. (Al-Quds : Mu`assasah Al-Qudsiyah Al-Islamiyyah).
[3] Al-Jazairi, Abi Bakar Jabir. 1992. Haramkah Musik dan Lagu ? (Al-I’lam bi Anna Al-‘Azif wa Al-Ghina Haram). Alih Bahasa oleh Awfal Ahdi. Cetakan I. (Jakarta : Wala` Press).
[4] Omar, Toha Yahya. 1983. Hukum Seni Musik, Seni Suara, dan Seni Tari Dalam Islam. Cetakan II. (Jakarta : Penerbit Widjaya).
[5] Al-Baghdadi, Abdurrahman. 1991. Seni Dalam Pandangan Islam. Cetakan I. (Jakarta : Gema Insani Press).
[6] Wafaa, Muhammad. 2001. Metode Tarjih Atas Kontradiksi Dalil-Dalil Syara’ (Ta’arudh Al-Adillah min Al-Kitab wa As-Sunnah wa At-Tarjih Baynaha). Alih Bahasa oleh Muslich. Cetakan I. (Bangil : Al-Izzah).
[7] Al-Baghdadi, Abdurrahman. 1991. Seni Dalam Pandangan Islam. Cetakan I. (Jakarta : Gema Insani Press).

Tidak ada komentar:

Posting Komentar