Kamis, 23 Agustus 2012

PEREMPUAN-PEREMPUAN MALAM

Perempuan-perempuan Malam


Isi tulisan ini sengaja tidak ditampilkan. Cukup dipampangkan judulnya saja, “Perempuan-perempuan Malam”. Sebab saya masih menunggu dan ingin mencaritahu lebih banyak lagi tipe dan perangai perempuan-perempuan malam lainnya. Macam-macam aktifitas perempuan-perempuan di tengah malam, sebagaimana itu terjadi pada laki-laki. Bahkan lembaran-lembaran malam—mungkin— tidak mampu menampung seluruh watak, perangai dan kisah-kisah mereka.


“Perempuan-perempuan malam” tidak sepatutnya harus dikonotasikan negatif selamanya. Setidaknya, itulah yang menjadi bahan dan latarbelakang yang menggelitik saya ingin mengangkat judul di atas. Dan saya belum bisa mengacungkan tangan ‘tanda setuju’ , apabila “perempuan-perempuan malam” sudah menjadi kesimpulan akhir dan baku (the least and permanent conclussion) bahwa mereka laksana ‘kupu-kupu liar’  yang berterbangan dengan riang dan penyembuh nafsu sejenak “laki-laki lapar” di tengah malam, seperti yang dinyanyikan SLANK, salah satu grup musik ternama di Indonesia dalam sebuah syair lagunya. Bagusnya begini saja, semua dikembalikan kepada pemahaman seseorang dalam menilai dan menafsirkan apa yang dimaksudkan dengan kalimat tersebut. Bukan tempatnya membahas ‘hitam’ dan ‘putih’ atas penilaian yang mereka miliki terhadap apa yang dinilai. Biarlah semua ‘menggonggong’  selama masih bisa didengar dengan aturan dan batasan kewajaran (baca: agama).


Lalu bagaimana dengan “laki-laki malam”? Kenapa sebutan itu jarang –jika tidak ingin dikatakan, tidak pernah- untuk laki-laki? Atau, kalaupun  ada, mungkin tidak terlalu diekspose dan dihiraukan, bahkan dimaklumi saja. “Laki-laki!”. Lagi, semua kembali kepada sejauh mana penilaian dan penafsiran seseorang terhadap sebutan yang ada dan biasa didengar itu. Yang pasti, semua berselubung kemungkinan dan ‘tergantung-gantung’. Mungkin salah satu alasannya, kehidupan malam adalah pemandangan lumrah bagi  laki-laki. Bahkan pada sebagian tempat kehidupan malam—memang—banyak diramaikan oleh laki-laki dengan beragam aktifitas yang dilakukan. Ajang gaplek, ngobrol ngalor-ngidul, ngerasanin wong, rehat dengan secangkir kopi susu, meneguk ‘air seni  setan’  (Maaf, hanya sebuah istilah yang saya pakai untuk peminum minuman-minuman keras), gitaran, jaga post kambling, ngelamun, mandi kembang, mencari relung malam dan begitu banyak aktifitas malam lainnya. Sehingga, tidak perlu lagi untuk disebut “laki-laki malam”. Imbas hukum kebalikannya, akan kurang pantas bagi perempua-perempuan untuk ikut-ikutan dan mengisi malam-malamnya dengan beragam aktifitas.

Terlepas dari perbedaan sudut pandang tentang kelayakan bagi perempuan-perempuan atau pun laki-laki dalam mengisi malam-malamnya, satu hal yang sangat mendasar untuk disadari oleh kedua jenis manusia tersebut bahwa begadang atau mengisi malam dengan hal-hal yang tidak berfaedah adalah satu bentuk kesia-siaan dan bahkan kedholiman terhadap jiwa dan raga. Sebab, kedua mata memiliki hak. Maka ‘ninabobokkanlah’ ia jika kita sudah terbuai ‘kantuk’. Jiwa membutuhkan waktu untuk beristirahat. Maka rebahkanlah jiwa kita seiring dengan penat raga kita yang harus diistirahatkan. Sungguh tidak menyenangkan bila semua keadaan atau tindakan selalu dipaksakan untuk sebuah hasil. “Untung kalau hasilnya baik, kalau buruk?”

Mengutip pesan dalam sebuah tembang melayu, “begadang jangan begadang, kalau tiada artinya. Begadang boleh saja, kalau ada perlunya”.
Ukuran keperluan seseorang juga sangat beragam dan relatif. Idealnya, ukuran keperluan itu memiliki standar prioritas positif untuk perbaikan diri, baik untuk lahir dan batin wanita-wanita dan juga laki-laki. Kongkritnya seperti apa? Hanya orang yang ‘belum cukup umur’ saja yang masih bertanya perbuatan apa yang sepatutnya dilakukan kalau memang ada prioritas dari keterjagaan dan kesadarannya yang panjang mengisi malam hari. Yang jelas jangan gantung diri diam-diam, karena sebuah kekecewaan picisan (baca: duniawi). Atau, memuntahkan kegembiraan yang berlebihan tanpa kontrol (baca: kesyukuran) dan mungkin mengentalkan kesedihan dengan luapan-luapan perasaan sampai-sampai tidak mengenal keberadaan pikiran yang dapat membantu.

Isi tulisan tentang “perempuan-perempuan malam” sedang tersimpan dan belum ‘matang’ dan mungkin ia hanya akan menjadi bahan yang tidak akan terolah. Biarkan Nanti yang akan menjawabnya. Saya berharap banyak maklumat-maklumat baru yang didapat nantinya, dapat memperkaya isi judul tersebut. Dan segalanya akan menjadi menarik. Menarik adalah idaman dan alami. Tidak ada yang tidak menarik dari sebuah kesadaran tentang segala sesuatu yang terhampar dan tersaji di hadapan kita, jika pun ada, itu mungkin disebabkan oleh unsur kepribadian yang merasa tidak tertarik saja. Subyektif memang. Namun subyektifitas itu diciptakan untuk menemani keobyektifitasan, bukan? Jangan sampai laju obyektifitas dibiarkan mengarah pada tempat dan orang  yang salah. Kasus di lapangan banyak terjadi. Obyektifitas berlaku dalam keterbungkaman dan dianggap sah-sah saja, asalkan ‘Om’, ‘Kyaiku’, ‘Babeku’ senang, makmur dan memimpin. Pada kenyataannya, ‘Om’, ‘Kyaiku’ dan ‘Babeku’ sendiri tidak memahami dengan baik apa itu obyektifitas dan si penyalur obyektifitas yang salah arah ‘mesem-mesem’ saja. Obyektifitas dipersembahkan untuk para atasan agar posisi tetap dan semakin ‘empuk’  dan anak istri bisa makan uang “““halal””” (hati-hati kalau tanda kutipnya sudah lebih dari satu!). Jadilah obyektifitas laksana ‘ojek-ojek nganggur’  yang hanya menunggu penumpang dan tidak pernah mengenal falsafah ‘hidup untuk mencari’ .  Padahal hidup adalah gerakan dan pencarian. Agama kita saban waktu telah mengajarkan hal itu, sebagaimana termaktub dalam sebuah penggalan ayat dalam Al-Quran, “Fantasyirû fî Ardh…”. Bahkan dalam sabdanya, Muhammad saw., memotivasi umatnya untuk menggapai perubahan dan perbaikan (bukan ‘menggapai matahari’, seperti kata judul sebuah film Bung Roma. Itu namanya memanggang diri, dan sok mantap!) dengan berhijrah. Para imigran, pantas tidak disebut kelompok min al-Muhâjirîn? Mencari adalah satu bentuk usaha dan akan bernilai ibadah jika diniatkan dengan baik dan benar. Sekali lagi, menunggu tidak pernah akur dengan apa yang namanya mencari. Masing-masing memiliki selera dan semangat yang berbeda untuk fungsi dan manfaat yang tentu berbeda pula. “Akur saja tidak, apalai mau dinikahkan! Maaf deh bu, Mencari nggak bakalan mau! Jawab mencari tegas.
Kalau ada kesempatan di lain waktu saya akan menuangkan sebuah ilustrasi dari sepenggal pengalaman yang saya tangkap sendiri untuk kedua perbuatan tersebut.

Saya berharap banyak mendapatkan maklumat-maklumat baru dari kisana (sebenarnya saya ingin menyebut Santa*) tentang kehidupan perempuan-perempuan malam. Kalau terlalu jauh menjangkau kenyataan perempuan-perempuan malam yang ada di tanah air, minimal bisa melukiskan wajah wanita-wanita malam yang ada dan pernah kisana tahu tentang mereka selama di negeri Kinanah ini. Di saat musim panas begini, begitu mudah mendapatkawan perempuan-perempuan malam yang beragam aktifitas mereka. Mungkin karena sulit tidur atau karena sebab lainnya. Tapi entahlah, saya tidak ingin seperti Qassim Amin, maaf, ‘Si Feminim’ yang berkelamin pria itu. Dia terlalu dalam ‘menyangkul’ kawasan-kawan privasi wanita.
Bisa jadi, kisana termasuk salah satu perempuan-perempuan malam yang ada? Dan kisana bisa dan mau bercerita ketiak (eh…kok ketiak sih!), maksud saya ketika mata tidak dan sulit diajak tidur di malam hari. Saya terkadang berpikir bahwa dua surah (Al-Waqia’ah dan Al-Mursalat) yang pernah kisana sisipkan kepada saya dulu dapat dijadikan bahan untuk mengembangkan inspirasi dan bukan ilusi, untuk akhirnya saya pasangkan tanda + (baca: plus) untuk perempuan-perempuan malam yang ‘tahu diri’ seperti kisana. Tidak berlebihan! Semoga saja tidak dibuntukan insprirasi tersebut untuk ‘muncrat’ di kepada saya! Sebuah kanvas ‘nganggur’ dari saya untuk kisana untuk mau mencoba menggambarkannya. Jangan terprovokasi, anggap saja gurauan. Tapi, sebuah kenyataan akan dapat dinikmati bila dapat dibahasakan dengan benar, baik, bijak dan santun. Atas kesediaan dan ketidaksediaan yang ada dari siapa pun juga, saya sisipkan selembar ungkapan terima kasih yang bernilai. Agama ada tidak untuk memaksa dan saya ada tidak ingin memaksa, apalagi dipaksa.
Saya minta maaf kalau kisana mendapatkan penggalan kata-kata yang tidak lurus dan tidak rapi dalam parade barisan tulisan ini. Di sana ada yang kumal, lugu, vulgar, teriak-teriak sendiri dan masih bingung mengatur postur tubuh untuk berbaris. Maklum, selama ini tidak pernah diajarkan cara berbaris yang baik. Jadi segalanya terekspresi dengan penampilan apa adanya. Sekali lagi, maaf. Anggap saja sebuah tulisan picisan yang kapan saja bisa dilempar ke Recycle Ben.
Tuhan lebih mengetahui apa yang telah, sedang dan belum kita ketahui.

-Teman Kisana-

a Asha Chrysalis b

Dari hiruk puruk ‘kampung terkunkung’  yang sebenarnya tidak pernah tenang,
Bu Uts untuk para lelaki saja, 5 Agustus 2004



* Maaf, Santa adalah pangilan atau sebutan yang biasa dipakai di kalangan pemeluk agama Katholik Vatikan Roma terhadap orang-orang suci. Misalnya, Santa Agnes, Santa Maria, panggilan untuk ibu Isa ‘alaihissalâm. Adapaun untuk laki-laki biasanya dipanggil Santo atau Santu, seperti santo Yosef, Santu Klaus (laki-laki berjenggot putih yang munculnya ketika musim salju di hari raya Natal saja). Tapi tentu, kadar kelayakkan penyebutan itu tidak sebanding bila dilekatkan kepada kita. Buat saya itu hanya sebatas panggilan saja buat teman-teman putri. Apalah arti sebuah nama, terlepas perbedaan tentang benar-salah prinsip tersebut. Tapi, syukurlah kalau kisana benar-benar Santa. Asal jangan santan saja!


(dikutip dari majalah Annida)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar