Perempuan-perempuan Malam
Isi tulisan ini sengaja tidak ditampilkan. Cukup dipampangkan judulnya saja, “Perempuan-perempuan Malam”. Sebab saya masih menunggu dan ingin mencaritahu lebih banyak lagi tipe dan perangai perempuan-perempuan malam lainnya. Macam-macam aktifitas perempuan-perempuan di tengah malam, sebagaimana itu terjadi pada laki-laki. Bahkan lembaran-lembaran malam—mungkin— tidak mampu menampung seluruh watak, perangai dan kisah-kisah mereka.
“Perempuan-perempuan malam” tidak sepatutnya harus dikonotasikan negatif selamanya. Setidaknya, itulah yang menjadi bahan dan latarbelakang yang menggelitik saya ingin mengangkat judul di atas. Dan saya belum bisa mengacungkan tangan ‘tanda setuju’ , apabila “perempuan-perempuan malam” sudah menjadi kesimpulan akhir dan baku (the least and permanent conclussion) bahwa mereka laksana ‘kupu-kupu liar’ yang berterbangan dengan riang dan penyembuh nafsu sejenak “laki-laki lapar” di tengah malam, seperti yang dinyanyikan SLANK, salah satu grup musik ternama di Indonesia dalam sebuah syair lagunya. Bagusnya begini saja, semua dikembalikan kepada pemahaman seseorang dalam menilai dan menafsirkan apa yang dimaksudkan dengan kalimat tersebut. Bukan tempatnya membahas ‘hitam’ dan ‘putih’ atas penilaian yang mereka miliki terhadap apa yang dinilai. Biarlah semua ‘menggonggong’ selama masih bisa didengar dengan aturan dan batasan kewajaran (baca: agama).
Lalu bagaimana dengan “laki-laki
malam”? Kenapa sebutan itu jarang –jika tidak ingin dikatakan, tidak pernah-
untuk laki-laki? Atau, kalaupun ada,
mungkin tidak terlalu diekspose dan dihiraukan, bahkan dimaklumi saja.
“Laki-laki!”. Lagi, semua kembali kepada sejauh mana penilaian dan
penafsiran seseorang terhadap sebutan yang ada dan biasa didengar itu. Yang
pasti, semua berselubung kemungkinan dan ‘tergantung-gantung’. Mungkin
salah satu alasannya, kehidupan malam adalah pemandangan lumrah bagi laki-laki. Bahkan pada sebagian tempat
kehidupan malam—memang—banyak diramaikan oleh laki-laki dengan beragam
aktifitas yang dilakukan. Ajang gaplek, ngobrol ngalor-ngidul, ngerasanin
wong, rehat dengan secangkir kopi susu, meneguk ‘air seni setan’ (Maaf, hanya sebuah istilah yang saya pakai
untuk peminum minuman-minuman keras), gitaran, jaga post kambling,
ngelamun, mandi kembang, mencari relung malam dan begitu banyak aktifitas malam
lainnya. Sehingga, tidak perlu lagi untuk disebut “laki-laki malam”. Imbas
hukum kebalikannya, akan kurang pantas bagi perempua-perempuan untuk
ikut-ikutan dan mengisi malam-malamnya dengan beragam aktifitas.
Terlepas dari perbedaan sudut pandang tentang
kelayakan bagi perempuan-perempuan atau pun laki-laki dalam mengisi
malam-malamnya, satu hal yang sangat mendasar untuk disadari oleh kedua jenis
manusia tersebut bahwa begadang atau mengisi malam dengan hal-hal yang tidak
berfaedah adalah satu bentuk kesia-siaan dan bahkan kedholiman terhadap jiwa
dan raga. Sebab, kedua mata memiliki hak. Maka ‘ninabobokkanlah’ ia jika
kita sudah terbuai ‘kantuk’. Jiwa membutuhkan waktu untuk beristirahat.
Maka rebahkanlah jiwa kita seiring dengan penat raga kita yang harus
diistirahatkan. Sungguh tidak menyenangkan bila semua keadaan atau tindakan
selalu dipaksakan untuk sebuah hasil. “Untung kalau hasilnya baik, kalau
buruk?”
Mengutip pesan dalam sebuah tembang
melayu, “begadang jangan begadang, kalau tiada artinya. Begadang boleh saja,
kalau ada perlunya”.
Ukuran keperluan seseorang juga
sangat beragam dan relatif. Idealnya, ukuran keperluan itu memiliki standar
prioritas positif untuk perbaikan diri, baik untuk lahir dan batin
wanita-wanita dan juga laki-laki. Kongkritnya seperti apa? Hanya orang yang ‘belum
cukup umur’ saja yang masih bertanya perbuatan apa yang sepatutnya
dilakukan kalau memang ada prioritas dari keterjagaan dan kesadarannya yang
panjang mengisi malam hari. Yang jelas jangan gantung diri diam-diam, karena
sebuah kekecewaan picisan (baca: duniawi). Atau, memuntahkan kegembiraan yang
berlebihan tanpa kontrol (baca: kesyukuran) dan mungkin mengentalkan kesedihan
dengan luapan-luapan perasaan sampai-sampai tidak mengenal keberadaan pikiran
yang dapat membantu.
Isi tulisan tentang “perempuan-perempuan malam”
sedang tersimpan dan belum ‘matang’ dan mungkin ia hanya akan menjadi
bahan yang tidak akan terolah. Biarkan Nanti yang akan menjawabnya. Saya
berharap banyak maklumat-maklumat baru yang didapat nantinya, dapat memperkaya
isi judul tersebut. Dan segalanya akan menjadi menarik. Menarik adalah idaman
dan alami. Tidak ada yang tidak menarik dari sebuah kesadaran tentang segala
sesuatu yang terhampar dan tersaji di hadapan kita, jika pun ada, itu mungkin
disebabkan oleh unsur kepribadian yang merasa tidak tertarik saja. Subyektif
memang. Namun subyektifitas itu diciptakan untuk menemani keobyektifitasan,
bukan? Jangan sampai laju obyektifitas dibiarkan mengarah pada tempat dan
orang yang salah. Kasus di lapangan
banyak terjadi. Obyektifitas berlaku dalam keterbungkaman dan dianggap sah-sah
saja, asalkan ‘Om ’, ‘Kyaiku’, ‘Babeku’ senang,
makmur dan memimpin. Pada kenyataannya, ‘Om’, ‘Kyaiku’ dan ‘Babeku’ sendiri
tidak memahami dengan baik apa itu obyektifitas dan si penyalur obyektifitas
yang salah arah ‘mesem-mesem’ saja. Obyektifitas dipersembahkan untuk
para atasan agar posisi tetap dan semakin ‘empuk’ dan anak istri bisa makan uang “““halal”””
(hati-hati kalau tanda kutipnya sudah lebih dari satu!). Jadilah
obyektifitas laksana ‘ojek-ojek nganggur’ yang hanya menunggu penumpang dan tidak
pernah mengenal falsafah ‘hidup untuk mencari’ . Padahal hidup adalah gerakan dan pencarian.
Agama kita saban waktu telah mengajarkan hal itu, sebagaimana termaktub dalam
sebuah penggalan ayat dalam Al-Quran, “Fantasyirû fî Ardh…”. Bahkan
dalam sabdanya, Muhammad saw., memotivasi umatnya untuk menggapai perubahan dan
perbaikan (bukan ‘menggapai matahari’, seperti kata judul sebuah film Bung
Roma. Itu namanya memanggang diri, dan sok mantap!) dengan berhijrah. Para imigran, pantas tidak disebut kelompok min
al-Muhâjirîn? Mencari adalah satu bentuk usaha dan akan bernilai ibadah
jika diniatkan dengan baik dan benar. Sekali lagi, menunggu tidak pernah akur
dengan apa yang namanya mencari. Masing-masing memiliki selera dan semangat
yang berbeda untuk fungsi dan manfaat yang tentu berbeda pula. “Akur saja
tidak, apalai mau dinikahkan! Maaf deh bu, Mencari nggak bakalan mau! Jawab
mencari tegas.
Kalau ada kesempatan di lain waktu saya akan
menuangkan sebuah ilustrasi dari sepenggal pengalaman yang saya tangkap sendiri
untuk kedua perbuatan tersebut.
Saya berharap banyak mendapatkan
maklumat-maklumat baru dari kisana (sebenarnya saya ingin menyebut Santa*)
tentang kehidupan perempuan-perempuan malam. Kalau terlalu jauh menjangkau
kenyataan perempuan-perempuan malam yang ada di tanah air, minimal bisa
melukiskan wajah wanita-wanita malam yang ada dan pernah kisana tahu tentang
mereka selama di negeri Kinanah ini. Di saat musim panas begini, begitu mudah
mendapatkawan perempuan-perempuan malam yang beragam aktifitas mereka. Mungkin
karena sulit tidur atau karena sebab lainnya. Tapi entahlah, saya tidak ingin
seperti Qassim Amin, maaf, ‘Si Feminim’ yang berkelamin pria itu. Dia
terlalu dalam ‘menyangkul’ kawasan-kawan privasi wanita.
Bisa jadi, kisana termasuk salah satu
perempuan-perempuan malam yang ada? Dan kisana bisa dan mau bercerita ketiak (eh…kok
ketiak sih!), maksud saya ketika mata tidak dan sulit diajak tidur di malam
hari. Saya terkadang berpikir bahwa dua surah (Al-Waqia’ah dan Al-Mursalat)
yang pernah kisana sisipkan kepada saya dulu dapat dijadikan bahan untuk
mengembangkan inspirasi dan bukan ilusi, untuk akhirnya saya pasangkan tanda +
(baca: plus) untuk perempuan-perempuan malam yang ‘tahu diri’ seperti
kisana. Tidak berlebihan! Semoga saja tidak dibuntukan insprirasi tersebut
untuk ‘muncrat’ di kepada saya! Sebuah kanvas ‘nganggur’ dari
saya untuk kisana untuk mau mencoba menggambarkannya. Jangan terprovokasi,
anggap saja gurauan. Tapi, sebuah kenyataan akan dapat dinikmati bila dapat
dibahasakan dengan benar, baik, bijak dan santun. Atas kesediaan dan
ketidaksediaan yang ada dari siapa pun juga, saya sisipkan selembar ungkapan
terima kasih yang bernilai. Agama ada tidak untuk memaksa dan saya ada tidak
ingin memaksa, apalagi dipaksa.
Saya minta maaf kalau kisana mendapatkan
penggalan kata-kata yang tidak lurus dan tidak rapi dalam parade barisan
tulisan ini. Di sana
ada yang kumal, lugu, vulgar, teriak-teriak sendiri dan masih bingung mengatur
postur tubuh untuk berbaris. Maklum, selama ini tidak pernah diajarkan cara
berbaris yang baik. Jadi segalanya terekspresi dengan penampilan apa adanya.
Sekali lagi, maaf. Anggap saja sebuah tulisan picisan yang kapan saja bisa
dilempar ke Recycle Ben.
Tuhan lebih mengetahui apa yang telah, sedang
dan belum kita ketahui.
-Teman Kisana-
a Asha Chrysalis b
Dari hiruk puruk ‘kampung terkunkung’ yang sebenarnya tidak pernah tenang,
Bu Uts untuk para lelaki saja, 5 Agustus 2004
* Maaf, Santa adalah pangilan atau sebutan yang biasa dipakai di
kalangan pemeluk agama Katholik Vatikan Roma terhadap orang-orang suci.
Misalnya, Santa Agnes, Santa Maria ,
panggilan untuk ibu Isa ‘alaihissalâm. Adapaun untuk laki-laki biasanya
dipanggil Santo atau Santu, seperti santo Yosef, Santu Klaus (laki-laki
berjenggot putih yang munculnya ketika musim salju di hari raya Natal saja). Tapi tentu,
kadar kelayakkan penyebutan itu tidak sebanding bila dilekatkan kepada kita.
Buat saya itu hanya sebatas panggilan saja buat teman-teman putri. Apalah arti
sebuah nama, terlepas perbedaan tentang benar-salah prinsip tersebut. Tapi,
syukurlah kalau kisana benar-benar Santa. Asal jangan santan saja!
(dikutip dari majalah Annida)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar