Minggu, 26 Agustus 2012

GERIMIS


G GERIMIS

Rakit itu menepi nyaris bersamaan dengan tenggelam matahari. Riak Batanghari berkijap-kijap memantulkan sinar emas kekuningan.
Tepian yang sunyi. Sesunyi hati lelaki yang tengah menepi ini. Gegas, ia turun dari rakitnya begitu yakin telah tiba di dangkal sungai. Sepenuh tenaga, ia menariknya ke tepian dengan menumpu pada batu-batu licin yang tak lagi bisa dipandangnya leluasa, oleh sebab cahaya telah merasuk ke belahan lain jagat raya.
Remang yang menyelimuti sunyi itu menjadi sempurna, sementara langit di kejauhan pelan-pelan berubah tembaga. Ronanya kemerahan laksana merah pipi perawan. Ia memilih semak-semak dan perdu rimbun di tepi sungai yang agak dalam, tempat yang layak untuk menyembunyikan rakit kayu randunya.
 “Hamzah...!” bisik seseorang dari balik semak-semak. Sosoknya perlahan tampak setelah tadi tersamar pada perdu dan gundukan batu-batu.
Lelaki yang tengah mengikatkan rakitnya pada pasak kayu di tepian, pelan menoleh. Panggilan itu rupanya telah ia nanti. Tanpa perubahan berarti dalam gerak tubuhnya, ia segera menemukan sumber suara. Ia meminimalkan gerakan yang mencurigakan. Hingga, ia selesai menyamarkan rakit di rimbun perdu, lantas melangkah menuju sumber suara itu.
“Cepatlah, sebelum para marsose memeriksa jalan-jalan,” bisik lelaki di gerumbul semak itu.
Keduanya segera berjalan bergegas-gegas menyusuri tepian sungai, menaiki struktur tanah labil, menghindari jalan umum, menuju ke pemukiman yang telah mulai berkelap-kelip disemaraki lampu minyak dari rumah-rumah penduduk.
“Akhir-akhir ini patroli semakin rapat. Telah banyak orang gunung yang tertangkap saat berada di kota.”
Hati Hamzah berdesir. Desir bercampur nyeri. Kenyataan bahwa kekuatan perlawanan semakin berkurang tak dapat dipungkiri. Sultan bahkan sekarang harus mundur hingga ke Betung Bedarah. Dari sini, apakah masih akan mundur lagi? Lalu ke mana? Jika perlawanan rakyat ini tak lagi mendapat tempat, lalu di manakah janji Allah untuk mereka yang memperjuangkan agama-Nya?
Hatinya tergores perih. Suaranya bergetar. “Said, aku membawa pesan dari gunung, bahwa keadaan sedang tidak baik. Sultan memerlukan pasokan logistik dan persenjataan. Jumlah yang ada semakin menipis.”
“Oya, apakah Sultan baik-baik saja?” tanya Said dengan mata penuh binar. “Sejak pertempuran di Tanjung Gagak, aku sudah tidak lagi bersua dengan beliau. Ayolah, ceritakan padaku bahwa Sultan baik-baik saja.”
 “Sultan baik-baik saja, hingga saat aku meninggalkan hutan dua hari yang lalu.” Hamzah berusaha menyimpan resahnya. “Malam ini aku harus bertemu dengan orang yang bernama Demang Keling.”
“Ya, aku akan mengantarmu ke sana. Kudengar, di sana ada barang bagus.”
“Sultan memintaku menyelidiki kebenarannya. Intuisi.”
Ah... Sultan! Entahlah, apakah aku masih akan berjumpa lagi dengan Sultan, desir hati Hamzah. Wajar jika ia berpikir demikian mengingat pertemuan terakhirnya dengan Sultan Thaha dirasuki suasana muram yang ia tak tahu berasal dari apa. Saat itu, seperti ada kesedihan yang menggantung di awang-uwung, seperti ada desah sesak dan isak tertahan memenuhi jeda napas. Kesedihan itu tak jelas warna dan letaknya, namun begitu nyata untuk dirasa.
Dua hari lalu, saat malam berenang menuju kulminasinya, sebelum Sultan mendirikan qiyam bersama seluruh pasukan, beliau menatap satu per satu tentaranya yang tak sampai berjumlah seratus orang itu.
“Jika dalam pertempuran nanti ada yang syahid sementara saya selamat,” kata Sultan dengan suara yang dalam berwibawa, “katakan kepada Belanda bahwa yang meninggal itu adalah saya, agar aksi militernya terhenti sementara dan kita dapat menyusun kekuatan kembali. Namun, jika yang meninggal itu benar-benar saya, katakan kepada rakyat bahwa saya belum meninggal, agar keutuhan semangat juang rakyat bisa dijaga.”
Semua yang hadir malam itu serentak menunduk khidmat. Tak sampai seratus yang hadir. Sebagian besar pasukan rakyat masih tersebar di Ranti, Merangin, Tebo, Sarolangon, dan kota-kota lainnya. Mereka menyaru rakyat biasa, menunggu perintah Sultan selanjutnya.
Apakah ini pertanda engkau akan pergi, Tuan? Apakah engkau akan jua pergi, desah hati Hamzah. Tak seharusnya Sultan berkata begini. Ia tak kuasa mendengar lebih lanjut lagi pesan-pesan Sultan sebab kepedihan telah begitu kuat mencengkeram dadanya. Bukankah Sultan begitu agung di matanya? Tentulah bukan tanpa alasan jika tiba-tiba Sultan berpesan dengan sesuatu yang di luar kewajaran.
Ada apakah sebenarnya?
Di ujung malam itu, ia berhadap langsung dengan Sultan. Di sanalah tangisnya tak bisa lagi ditahan. “Katakanlah, Tuan, apakah engkau akan pergi dari sisi kami?”
Sultan yang telah sepuh itu tersenyum. Usia tidak mampu mengalahkan jasad yang penuh semangat ini. Hidup dalam peperangan melawan Belanda selama lebih dari setengah abad, tidak merapuh tubuh itu. Tetap lincah bertenaga. Maka, bukan heran jika rakyat menganggapnya keramat. Sesuatu yang terkadang menggelincirkan keimanan pada khurafat.
Hamzah paham bahwa Sultan hanyalah manusia biasa yang tidak berpantang ajal. Tapi, jika ia harus pergi saat ini, di saat perjuangan memasuki masa-masa yang paling sulit, dapatkah rakyat bertahan? Sejak jatuhnya Muara Tembesi, perlawanan rakyat mengalami kemunduran drastis. Bertahan di Sungai Aro pun tak berapa lama, harus segera mundur ke Betung Bedarah. Benteng-benteng masyhur di Singkut, Pelawan, Tanjung, Limbur Merangin, Koto Rayo, Sungai Manao... satu per satu telah jatuh ke tangan musuh.
Jangan pergi sekarang, Tuan, rintih hati Hamzah. Namun, ia tidak kuasa menatap mata yang penuh wibawa itu.
“Turunlah ke kota, besok,” pesan Sultan. “Aku dengar, salah satu demang di Muara Kumpeh, awal bulan ini telah berhasil melakukan transaksi rahasia dengan penyelundup senjata asal Amerika dan Inggris. Ada dua puluh pucuk senapan, dikirim lewat Singkil.”
“Apa yang harus saya lakukan?”
“Teknis pengambilan senapan itu, atur strategi dengan baik. Aku sedang memikirkan cara pengiriman senjata ke gunung dengan aman. Tapi, kita harus bisa mengecoh patroli Belanda di Betung Bedarah dan Sungai Aro.”
Ya ... karena tugas itulah, maka ia mengayuh rakitnya menyisir Sungai Batanghari. Padahal, dia tak ingin pergi di saat-saat seperti ini dari sisi Sultan.
Jangan suruh aku pergi, Tuan, sebab aku tak yakin setelah aku pergi hari ini apakah masih akan bersua engkau lagi. Tapi, ia tahu, ia tak bisa memperturutkan perasaannya sedangkan tugas dengan jelas telah menanti.
-----
Tapi, tidak seperti yang dikatakan Said. Semenjak memasuki kota, ia tidak menangkap suasana wingit. Muara Kumpeh menyambut malam dengan tenang, seperti bayi yang lelap di ayunan. Satu dua pasukan Belanda tampak berjaga, namun tak hirau dengan orang yang berlalu lalang.
“Biasanya diberlakukan jam malam,” kata Said.
“Tidakkah kau merasakan sesuatu yang aneh?” tanya Hamzah.
“Bisa jadi. Tapi, mungkin ini keberuntunganmu.”
Hamzah tak menanggapi. Di kepalanya kembali membayang wajah Sultan beberapa malam berlalu. Wajah yang tetap bersemangat kendati pasukannya telah terjepit di posisi yang nyaris tak mungkin lagi mundur.
Tuan, jika pun engkau harus pergi, biarkan aku di sisimu, pergi bersamamu.
Ia tak sanggup menyampaikan kata itu, sebab tiada sanggup pula ia melawan titah. Bukankah ia telah bersumpah setia kepada Sultan dalam setih setio yang diikrarkannya bersama muda-muda lainnya? Ia mengangkat baiat sebagaimana kaum Anshar berbaiat kepada Rasulullah di Aqabah, di bawah pohon samurah....
Setih setio ... bahwa ia akan patuh setia. Siapa tidak patuh, ke atas tidak berpucuk, ke bawah tidak berakar, di tengah-tengah dimakan kumbang. Bahwa ia tak akan menusuk kawan seiring, mengisap darah di dalam, menggunting dalam lipatan, merangkak dalam tanah, menengok dalam air, budi menyuruk akal merangkak, pepat di luar runcing di dalam, dan telunjuk lurus kelingking berkait.
Ah, Sultan... aku masih memegang erat setih setio-ku!
Rumah demang itu... beberapa langkah lagi.
Kedatangannya bersambut.
“Dua puluh barang bagus,” kata Demang Keling. “Aku menukarnya dengan dua ratus pikul hasil bumi. Sultan harus membayarnya dua kali lipat.”
Hamzah geram. Dalam keadaan seperti ini, masih juga ada orang culas yang mencari keuntungan. Ia tahu posisi Sultan sedang terjepit sehingga tak ada terbersit sedikit pun rasa hormatnya. Melihat hal ini, hati Hamzah benar-benar terluka.
“Itu kalau kalian mau,” lanjut Demang Keling. “Kalian harus pikirkan baik-baik sebelum terlambat.”
“Apa maksud Demang?”
“Hohoho... kalau tidak segera diambil, aku kuatir kalian tak akan sempat membeli lagi. Marsose sedang merencanakan pengiriman pasukan besar-besaran menyisir Sungai Aro. Atau... mungkin malah sudah.”
“Dari mana kau tahu?”
“Kalau aku tidak tahu hal-hal semacam ini, mana mungkin aku bisa menjadi penyelundup senjata? Yang benar saja.”
“Apakah kau tahu, kenapa malam ini penjagaan kota tampak tidak ketat?”
“Sebentar, anak muda. Untuk setiap informasi, ada harganya.”
“Katakan berapa harganya. Aku akan membayarnya besok pagi. Kau bisa pegang kata-kataku.”
“Hohohoho.... Baiklah, baik! Aku akan mengatakannya. Mungkin saja hal itu ada hubungannya dengan keberangkatan pasukan marsose dalam jumlah besar di bawah pimpinan Letnan G. Badings.”
Desir itu... desir sebagaimana yang ia rasakan saat terakhir bersua Sultan. Seperti ada kesedihan yang menggantung di awang-uwung. Seperti ada rasa kehilangan yang amat sangat tengah mendera hatinya. Namun, ia tak tahu pasti perasaan itu bersumber dari mana.
Apakah ini firasat, Sultan? Sebagaimana banyak orang percaya firasat? Tapi, selama ini aku tak percaya firasat, bukan? Jadi, ini apa?
-----
“Kau gila, Hamzah!” seru Said. Keduanya terengah-engah berlari dalam gelap malam, hanya dipandu sinar bulan tua.
“Berhenti dan pulanglah jika kau tak sanggup. Aku akan melanjutkan perjalanan sendiri.”
“Tidak bisakah kautunda hingga esok? Kita bisa menyewa kuda dan melanjutkan perjalanan.”
“Berhentilah, sewalah kuda, dan susullah aku besok. Sementara sekarang, malam ini, aku akan melanjutkan perjalanan.”
“Kau gila!”
“Aku merasakan apa yang tidak kaurasakan!”
Said menatap wajah pucat Hamzah di sela langkah mereka yang tergesa-gesa. Dan, baru ia percayai bahwa laki-laki itu kini tengah... menangis.
“Hamzah....”
“Aku tak ingin berpisah dengan Sultan. Jika Sultan pergi, aku ingin besertanya pergi. Tak apa kalau kau lelah dan ingin berhenti sekarang. Tapi aku tak bisa. Jika berhenti sekarang, aku takut tak sempat berjumpa lagi....”
“Kau....”
“Berhentilah! Tapi, biarkan aku lanjutkan langkah ini.”
“Tidak! Kita bersama lanjutkan langkah!”
“Baiklah...! Ayo, sebelum terlambat.”
Perasaan itu begitu kuat mendera-dera. Perasaan kehilangan yang seperti memenuhi seluruh ruang matanya. Ia tak peduli panjang perjalanan dari Muara Kumpeh, menyusur mudik Sungai Tabir, dan menuju Bangko Pintas. Menjelang tengah malam, mereka mencapai bibir hutan. Di sana ada jalan pintas menuju Betung Bedarah.
“Cepatlah...!”
Gelap hutan tak menjadi penghalang. Hamzah dan Said telah terbiasa dengan medan gunung seperti ini. Apalagi, jalan setapak itu telah begitu mereka hafal.
Lalu, menjelang dini hari, tibalah mereka di perkebunan.
Bunyi senapan menyalak.
Hati Hamzah bagai terbang, seperti hendak meraup jarak dalam satu langkah. Peperangan telah pecah. Pasukan marsose rupanya telah berhasil menemukan tempat persembunyian Sultan. Penyisiran kali ini tidak meninggalkan celah bagi Sultan untuk meloloskan diri. Pasukan marsose bergerak menyisir dari Dusun Penapalan, Remeji, Betung Bedarah, dan Sungai Api. Empat penjuru telah dikepung.
“Allahu Akbar...!” teriak Sultan.
Hamzah mengenali suara itu. Suara yang tiba-tiba begitu ia rindukan.
“Sultan, jangan pergi!” rintihnya.
Pertempuran dahsyat terjadi dalam gelap malam menjelang shubuh. Hamzah dan Said mencari-cari celah untuk bisa bergabung dengan pasukan Sultan. Namun, pengepungan begitu rapat. Apalagi, keduanya tidak bersenjata.
Tiba-tiba, dalam ingatan Hamzah terngiang pesan Sultan beberapa waktu lampau, “Mereka tidak akan bisa menangkap saya dalam keadaan hidup! Saya lebih suka mati daripada harus menyerah kepada Belanda.”
Namun, bersamaan dengan itu, ledakan keras granat tangan menimpa tanah beberapa jengkal dari tempat Hamzah dan Said berdiri. Keduanya terpelanting.
Gelap...!
Perih...!
Rasa kehilangan itu ...   semakin tebal...!
Beberapa prajurit Sultan bertumbangan dihajar peluru marsose yang haus darah. Pertempuran sengit terus berlangsung dalam kesunyian hutan dan gelapnya malam menjelang shubuh.
“Allahu Akbar...!”
-----
Sisa-sisa peperangan... di pagi yang hening.
Hamzah tersadar dari pingsannya, dan Said menungguinya.
“Sultan...! Sultan...!”
Said menghela napas, berusaha menenangkan sahabatnya itu. “Tenanglah! Sultan selamat!”
Hamzah tertegun. Ia ingin tak percaya. Tapi, ia lebih suka percaya. “Benarkah! Ya, tentu saja! Tak semudah itu bagi Belanda hendak mengalahkan Sultan. Perang ini telah berlangsung lebih dari setengah abad, dan masih akan terus berlangsung.”
Said menghela napas. Ya, apa boleh buat. Ia dengar ini amanat, agar jangan menyampaikan berita meninggalnya Sultan. Jika Sultan terbunuh, hendaklah disebarkan berita bahwa yang terbunuh bukanlah beliau, agar rakyat tidak patah semangat.
“Sultan selamat, sekarang berada di Muara Tebo!” Marsose telah membawa mayat mulia itu ke Betuh Bedarah.
“Mahasuci Allah! Lalu, bagaimana dengan pejuang yang lain? Dan, bagaimana kita bisa selamat?”
Said kembali menghela napas. “Hamburan batu karena granat tangan menimpa kepalamu, dan kau jatuh pingsan. Aku menarikmu berlindung ke belakang gundukan tanah. Lalu, Sultan turun ke kancah peperangan, nyaris terkena tembakan. Namun, Tuan Ibrahim Panjang dan Jenang Buncit berhasil menyelamatkan Sultan kendati beliau berdua harus syahid di tangan marsose.”
Hamzah tepekur.
... tapi, perasaan sedih itu masih berliang-liang di hatinya. Perasaan kehilangan itu begitu kuat. Ia ....
“Sudahlah,” kata Said. “Kita selamat. Keberadaan kita tidak diketahui oleh Belanda. Kita sekarang sebaiknya kembali ke kota. Sultan akan menyusun kembali kekuatan dan melanjutkan perlawanan. Tetaplah nyalakan semangatmu! Kau tak boleh kendur. Kita tak boleh kalah sebelum ajal!”
“Ya!”
“Perlawanan ini harus tetap kita lanjutkan, Hamzah, ada atau tidak ada Sultan di sisi kita.”
“Ya...!”
... rasa sedih itu, seperti gerimis yang tak kunjung bisa ia pahami. Hujankah? Terangkah? Gerimis itu ... rintik-rintik di hatinya.

Babakan Sari, 9 Oktober 06
Doa untuk Sultan Thaha.
Kisah hidupnya membuat saya jatuh cinta!

Tidak ada komentar:

Posting Komentar