Rakit itu menepi
nyaris bersamaan dengan tenggelam matahari. Riak Batanghari berkijap-kijap
memantulkan sinar emas kekuningan.
Tepian yang
sunyi. Sesunyi hati lelaki yang tengah menepi ini. Gegas, ia turun dari
rakitnya begitu yakin telah tiba di dangkal sungai. Sepenuh tenaga, ia
menariknya ke tepian dengan menumpu pada batu-batu licin yang tak lagi bisa
dipandangnya leluasa, oleh sebab cahaya telah merasuk ke belahan lain jagat
raya.
Remang yang
menyelimuti sunyi itu menjadi sempurna, sementara langit di kejauhan
pelan-pelan berubah tembaga. Ronanya kemerahan laksana merah pipi perawan. Ia
memilih semak-semak dan perdu rimbun di tepi sungai yang agak dalam, tempat
yang layak untuk menyembunyikan rakit kayu randunya.
“Hamzah...!”
bisik seseorang dari balik semak-semak. Sosoknya perlahan tampak setelah tadi
tersamar pada perdu dan gundukan batu-batu.
Lelaki yang
tengah mengikatkan rakitnya pada pasak kayu di tepian, pelan menoleh. Panggilan
itu rupanya telah ia nanti. Tanpa perubahan berarti dalam gerak tubuhnya, ia
segera menemukan sumber suara. Ia meminimalkan gerakan yang mencurigakan.
Hingga, ia selesai menyamarkan rakit di rimbun perdu, lantas melangkah menuju
sumber suara itu.
“Cepatlah,
sebelum para marsose memeriksa jalan-jalan,” bisik lelaki di gerumbul semak
itu.
Keduanya segera
berjalan bergegas-gegas menyusuri tepian sungai, menaiki struktur tanah labil,
menghindari jalan umum, menuju ke pemukiman yang telah mulai berkelap-kelip
disemaraki lampu minyak dari rumah-rumah penduduk.
“Akhir-akhir ini
patroli semakin rapat. Telah banyak orang gunung yang tertangkap saat berada di
kota.”
Hati Hamzah
berdesir. Desir bercampur nyeri. Kenyataan bahwa kekuatan perlawanan semakin
berkurang tak dapat dipungkiri. Sultan bahkan sekarang harus mundur hingga ke
Betung Bedarah. Dari sini, apakah masih akan mundur lagi? Lalu ke mana? Jika
perlawanan rakyat ini tak lagi mendapat tempat, lalu di manakah janji Allah
untuk mereka yang memperjuangkan agama-Nya?
Hatinya tergores
perih. Suaranya bergetar. “Said, aku membawa pesan dari gunung, bahwa keadaan
sedang tidak baik. Sultan memerlukan pasokan logistik dan persenjataan. Jumlah
yang ada semakin menipis.”
“Oya, apakah
Sultan baik-baik saja?” tanya Said dengan mata penuh binar. “Sejak pertempuran
di Tanjung Gagak, aku sudah tidak lagi bersua dengan beliau. Ayolah, ceritakan
padaku bahwa Sultan baik-baik saja.”
“Sultan
baik-baik saja, hingga saat aku meninggalkan hutan dua hari yang lalu.” Hamzah
berusaha menyimpan resahnya. “Malam ini aku harus bertemu dengan orang yang
bernama Demang Keling.”
“Ya, aku akan
mengantarmu ke sana. Kudengar, di sana ada barang bagus.”
“Sultan
memintaku menyelidiki kebenarannya. Intuisi.”
Ah... Sultan! Entahlah, apakah aku masih akan berjumpa lagi dengan Sultan, desir hati Hamzah. Wajar jika ia berpikir
demikian mengingat pertemuan terakhirnya dengan Sultan Thaha dirasuki suasana
muram yang ia tak tahu berasal dari apa. Saat itu, seperti ada kesedihan yang
menggantung di awang-uwung, seperti ada desah sesak dan isak tertahan memenuhi
jeda napas. Kesedihan itu tak jelas warna dan letaknya, namun begitu nyata
untuk dirasa.
Dua hari lalu,
saat malam berenang menuju kulminasinya, sebelum Sultan mendirikan qiyam
bersama seluruh pasukan, beliau menatap satu per satu tentaranya yang tak
sampai berjumlah seratus orang itu.
“Jika dalam
pertempuran nanti ada yang syahid sementara saya selamat,” kata Sultan dengan
suara yang dalam berwibawa, “katakan kepada Belanda bahwa yang meninggal itu
adalah saya, agar aksi militernya terhenti sementara dan kita dapat menyusun
kekuatan kembali. Namun, jika yang meninggal itu benar-benar saya, katakan
kepada rakyat bahwa saya belum meninggal, agar keutuhan semangat juang rakyat
bisa dijaga.”
Semua yang hadir
malam itu serentak menunduk khidmat. Tak sampai seratus yang hadir. Sebagian
besar pasukan rakyat masih tersebar di Ranti, Merangin, Tebo, Sarolangon, dan
kota-kota lainnya. Mereka menyaru rakyat biasa, menunggu perintah Sultan
selanjutnya.
Apakah ini pertanda engkau akan pergi, Tuan? Apakah engkau akan jua pergi, desah hati Hamzah. Tak seharusnya Sultan
berkata begini. Ia tak kuasa mendengar lebih lanjut lagi pesan-pesan Sultan
sebab kepedihan telah begitu kuat mencengkeram dadanya. Bukankah Sultan begitu
agung di matanya? Tentulah bukan tanpa alasan jika tiba-tiba Sultan berpesan
dengan sesuatu yang di luar kewajaran.
Ada apakah
sebenarnya?
Di ujung malam
itu, ia berhadap langsung dengan Sultan. Di sanalah tangisnya tak bisa lagi
ditahan. “Katakanlah, Tuan, apakah engkau akan pergi dari sisi kami?”
Sultan yang
telah sepuh itu tersenyum. Usia tidak mampu mengalahkan jasad yang penuh
semangat ini. Hidup dalam peperangan melawan Belanda selama lebih dari setengah
abad, tidak merapuh tubuh itu. Tetap lincah bertenaga. Maka, bukan heran jika
rakyat menganggapnya keramat. Sesuatu yang terkadang menggelincirkan keimanan
pada khurafat.
Hamzah paham
bahwa Sultan hanyalah manusia biasa yang tidak berpantang ajal. Tapi, jika ia
harus pergi saat ini, di saat perjuangan memasuki masa-masa yang paling sulit,
dapatkah rakyat bertahan? Sejak jatuhnya Muara Tembesi, perlawanan rakyat
mengalami kemunduran drastis. Bertahan di Sungai Aro pun tak berapa lama, harus
segera mundur ke Betung Bedarah. Benteng-benteng masyhur di Singkut, Pelawan,
Tanjung, Limbur Merangin, Koto Rayo, Sungai Manao... satu per satu telah jatuh
ke tangan musuh.
Jangan pergi sekarang, Tuan, rintih hati Hamzah. Namun, ia tidak kuasa menatap mata yang penuh wibawa
itu.
“Turunlah ke
kota, besok,” pesan Sultan. “Aku dengar, salah satu demang di Muara Kumpeh,
awal bulan ini telah berhasil melakukan transaksi rahasia dengan penyelundup
senjata asal Amerika dan Inggris. Ada dua puluh pucuk senapan, dikirim lewat
Singkil.”
“Apa yang harus
saya lakukan?”
“Teknis
pengambilan senapan itu, atur strategi dengan baik. Aku sedang memikirkan cara
pengiriman senjata ke gunung dengan aman. Tapi, kita harus bisa mengecoh
patroli Belanda di Betung Bedarah dan Sungai Aro.”
Ya ... karena
tugas itulah, maka ia mengayuh rakitnya menyisir Sungai Batanghari. Padahal,
dia tak ingin pergi di saat-saat seperti ini dari sisi Sultan.
Jangan suruh aku pergi, Tuan, sebab aku tak yakin setelah aku pergi hari
ini apakah masih akan bersua engkau lagi. Tapi, ia tahu, ia tak bisa memperturutkan perasaannya
sedangkan tugas dengan jelas telah menanti.
-----
Tapi, tidak
seperti yang dikatakan Said. Semenjak memasuki kota, ia tidak menangkap suasana
wingit. Muara Kumpeh menyambut malam dengan tenang, seperti bayi yang lelap di
ayunan. Satu dua pasukan Belanda tampak berjaga, namun tak hirau dengan orang
yang berlalu lalang.
“Biasanya
diberlakukan jam malam,” kata Said.
“Tidakkah kau
merasakan sesuatu yang aneh?” tanya Hamzah.
“Bisa jadi.
Tapi, mungkin ini keberuntunganmu.”
Hamzah tak
menanggapi. Di kepalanya kembali membayang wajah Sultan beberapa malam berlalu.
Wajah yang tetap bersemangat kendati pasukannya telah terjepit di posisi yang
nyaris tak mungkin lagi mundur.
Tuan, jika pun engkau harus pergi, biarkan aku di sisimu, pergi bersamamu.
Ia tak sanggup
menyampaikan kata itu, sebab tiada sanggup pula ia melawan titah. Bukankah ia
telah bersumpah setia kepada Sultan dalam setih setio yang diikrarkannya
bersama muda-muda lainnya? Ia mengangkat baiat sebagaimana kaum Anshar berbaiat
kepada Rasulullah di Aqabah, di bawah pohon samurah....
Setih setio ...
bahwa ia akan patuh setia. Siapa tidak patuh, ke atas tidak berpucuk, ke bawah
tidak berakar, di tengah-tengah dimakan kumbang. Bahwa ia tak akan menusuk
kawan seiring, mengisap darah di dalam, menggunting dalam lipatan, merangkak
dalam tanah, menengok dalam air, budi menyuruk akal merangkak, pepat di luar
runcing di dalam, dan telunjuk lurus kelingking berkait.
Ah, Sultan... aku masih memegang erat setih setio-ku!
Rumah demang
itu... beberapa langkah lagi.
Kedatangannya
bersambut.
“Dua puluh
barang bagus,” kata Demang Keling. “Aku menukarnya dengan dua ratus pikul hasil
bumi. Sultan harus membayarnya dua kali lipat.”
Hamzah geram.
Dalam keadaan seperti ini, masih juga ada orang culas yang mencari keuntungan.
Ia tahu posisi Sultan sedang terjepit sehingga tak ada terbersit sedikit pun
rasa hormatnya. Melihat hal ini, hati Hamzah benar-benar terluka.
“Itu kalau
kalian mau,” lanjut Demang Keling. “Kalian harus pikirkan baik-baik sebelum
terlambat.”
“Apa maksud
Demang?”
“Hohoho... kalau
tidak segera diambil, aku kuatir kalian tak akan sempat membeli lagi. Marsose
sedang merencanakan pengiriman pasukan besar-besaran menyisir Sungai Aro.
Atau... mungkin malah sudah.”
“Dari mana kau
tahu?”
“Kalau aku tidak
tahu hal-hal semacam ini, mana mungkin aku bisa menjadi penyelundup senjata?
Yang benar saja.”
“Apakah kau
tahu, kenapa malam ini penjagaan kota tampak tidak ketat?”
“Sebentar, anak
muda. Untuk setiap informasi, ada harganya.”
“Katakan berapa
harganya. Aku akan membayarnya besok pagi. Kau bisa pegang kata-kataku.”
“Hohohoho....
Baiklah, baik! Aku akan mengatakannya. Mungkin saja hal itu ada hubungannya
dengan keberangkatan pasukan marsose dalam jumlah besar di bawah pimpinan
Letnan G. Badings.”
Desir itu...
desir sebagaimana yang ia rasakan saat terakhir bersua Sultan. Seperti ada
kesedihan yang menggantung di awang-uwung. Seperti ada rasa kehilangan yang
amat sangat tengah mendera hatinya. Namun, ia tak tahu pasti perasaan itu
bersumber dari mana.
Apakah ini firasat, Sultan? Sebagaimana banyak orang percaya firasat? Tapi,
selama ini aku tak percaya firasat, bukan? Jadi, ini apa?
-----
“Kau gila,
Hamzah!” seru Said. Keduanya terengah-engah berlari dalam gelap malam, hanya
dipandu sinar bulan tua.
“Berhenti dan
pulanglah jika kau tak sanggup. Aku akan melanjutkan perjalanan sendiri.”
“Tidak bisakah
kautunda hingga esok? Kita bisa menyewa kuda dan melanjutkan perjalanan.”
“Berhentilah,
sewalah kuda, dan susullah aku besok. Sementara sekarang, malam ini, aku akan
melanjutkan perjalanan.”
“Kau gila!”
“Aku merasakan
apa yang tidak kaurasakan!”
Said menatap
wajah pucat Hamzah di sela langkah mereka yang tergesa-gesa. Dan, baru ia
percayai bahwa laki-laki itu kini tengah... menangis.
“Hamzah....”
“Aku tak ingin
berpisah dengan Sultan. Jika Sultan pergi, aku ingin besertanya pergi. Tak apa
kalau kau lelah dan ingin berhenti sekarang. Tapi aku tak bisa. Jika berhenti
sekarang, aku takut tak sempat berjumpa lagi....”
“Kau....”
“Berhentilah!
Tapi, biarkan aku lanjutkan langkah ini.”
“Tidak! Kita
bersama lanjutkan langkah!”
“Baiklah...!
Ayo, sebelum terlambat.”
Perasaan itu
begitu kuat mendera-dera. Perasaan kehilangan yang seperti memenuhi seluruh
ruang matanya. Ia tak peduli panjang perjalanan dari Muara Kumpeh, menyusur
mudik Sungai Tabir, dan menuju Bangko Pintas. Menjelang tengah malam, mereka
mencapai bibir hutan. Di sana ada jalan pintas menuju Betung Bedarah.
“Cepatlah...!”
Gelap hutan tak
menjadi penghalang. Hamzah dan Said telah terbiasa dengan medan gunung seperti
ini. Apalagi, jalan setapak itu telah begitu mereka hafal.
Lalu, menjelang
dini hari, tibalah mereka di perkebunan.
Bunyi senapan
menyalak.
Hati Hamzah
bagai terbang, seperti hendak meraup jarak dalam satu langkah. Peperangan telah
pecah. Pasukan marsose rupanya telah berhasil menemukan tempat persembunyian
Sultan. Penyisiran kali ini tidak meninggalkan celah bagi Sultan untuk
meloloskan diri. Pasukan marsose bergerak menyisir dari Dusun Penapalan,
Remeji, Betung Bedarah, dan Sungai Api. Empat penjuru telah dikepung.
“Allahu
Akbar...!” teriak Sultan.
Hamzah mengenali
suara itu. Suara yang tiba-tiba begitu ia rindukan.
“Sultan, jangan
pergi!” rintihnya.
Pertempuran
dahsyat terjadi dalam gelap malam menjelang shubuh. Hamzah dan Said
mencari-cari celah untuk bisa bergabung dengan pasukan Sultan. Namun,
pengepungan begitu rapat. Apalagi, keduanya tidak bersenjata.
Tiba-tiba, dalam
ingatan Hamzah terngiang pesan Sultan beberapa waktu lampau, “Mereka tidak akan
bisa menangkap saya dalam keadaan hidup! Saya lebih suka mati daripada harus
menyerah kepada Belanda.”
Namun, bersamaan
dengan itu, ledakan keras granat tangan menimpa tanah beberapa jengkal dari
tempat Hamzah dan Said berdiri. Keduanya terpelanting.
Gelap...!
Perih...!
Rasa kehilangan
itu ... semakin tebal...!
Beberapa
prajurit Sultan bertumbangan dihajar peluru marsose yang haus darah.
Pertempuran sengit terus berlangsung dalam kesunyian hutan dan gelapnya malam
menjelang shubuh.
“Allahu
Akbar...!”
-----
Sisa-sisa
peperangan... di pagi yang hening.
Hamzah tersadar
dari pingsannya, dan Said menungguinya.
“Sultan...!
Sultan...!”
Said menghela
napas, berusaha menenangkan sahabatnya itu. “Tenanglah! Sultan selamat!”
Hamzah tertegun.
Ia ingin tak percaya. Tapi, ia lebih suka percaya. “Benarkah! Ya, tentu saja!
Tak semudah itu bagi Belanda hendak mengalahkan Sultan. Perang ini telah
berlangsung lebih dari setengah abad, dan masih akan terus berlangsung.”
Said menghela
napas. Ya, apa boleh buat. Ia dengar ini amanat, agar jangan menyampaikan
berita meninggalnya Sultan. Jika Sultan terbunuh, hendaklah disebarkan berita
bahwa yang terbunuh bukanlah beliau, agar rakyat tidak patah semangat.
“Sultan selamat,
sekarang berada di Muara Tebo!” Marsose telah membawa mayat mulia itu ke Betuh
Bedarah.
“Mahasuci Allah!
Lalu, bagaimana dengan pejuang yang lain? Dan, bagaimana kita bisa selamat?”
Said kembali
menghela napas. “Hamburan batu karena granat tangan menimpa kepalamu, dan kau
jatuh pingsan. Aku menarikmu berlindung ke belakang gundukan tanah. Lalu,
Sultan turun ke kancah peperangan, nyaris terkena tembakan. Namun, Tuan Ibrahim
Panjang dan Jenang Buncit berhasil menyelamatkan Sultan kendati beliau berdua
harus syahid di tangan marsose.”
Hamzah tepekur.
... tapi,
perasaan sedih itu masih berliang-liang di hatinya. Perasaan kehilangan itu
begitu kuat. Ia ....
“Sudahlah,” kata
Said. “Kita selamat. Keberadaan kita tidak diketahui oleh Belanda. Kita
sekarang sebaiknya kembali ke kota. Sultan akan menyusun kembali kekuatan dan
melanjutkan perlawanan. Tetaplah nyalakan semangatmu! Kau tak boleh kendur.
Kita tak boleh kalah sebelum ajal!”
“Ya!”
“Perlawanan ini
harus tetap kita lanjutkan, Hamzah, ada atau tidak ada Sultan di sisi kita.”
“Ya...!”
... rasa sedih
itu, seperti gerimis yang tak kunjung bisa ia pahami. Hujankah? Terangkah?
Gerimis itu ... rintik-rintik di hatinya.
Babakan Sari, 9 Oktober 06
Doa untuk Sultan Thaha.
Kisah hidupnya membuat saya jatuh cinta!
Tidak ada komentar:
Posting Komentar