Tak tahu kapan mulainya, Ningrum tak lagi
berharap ada sesuatu yang mengejutkan saat ia membuka kado-kado ulang tahun.
Itu karena ia sudah lama tidak menerima kejutan, sesuatu yang berbeda yang
membuatnya bahagia. Ia bisa memperkirakan isi kadonya hanya dengan melihat
besar bungkusan, cara membungkus, atau kertas kado yang digunakan.
Tepatnya ia tak tahu apakah itu berarti ia
tidak lagi mengharapkan kejutan, ataukah karena ia jenuh karena sejauh ini
tidak ada sesuatu yang benar-benar mengejutkannya. Telah tujuh belas tahun
usianya, berarti telah tujuh belas kali ulang tahunnya dirayakan.
Pada ulang tahunnya yang kelima belas, saat
itu ia telah tumbuh menjadi gadis remaja. Dalam pikirannya yang paling gila, ia
mengharapkan kado ‘mengejutkan’ berupa seorang pangeran tampan yang diimpikan
setiap gadis. Tapi, ia tak tahu, siapa yang akan memberinya kado seperti itu.
Yang lebih tidak ia tahu, kado itu akan dibungkus dengan bungkusan yang
bagaimana. Jika benar ada kado seperti itu, tentu ia akan terkejut dan bahagia,
membuka kado dengan berdebar-debar, dan seorang pangeran ditemukannya tersenyum
dengan senyum paling menenteramkan.
Pikiran gila itu—paling tidak—sempat
membuat ia mengawasi kado-kado yang ditumpuk di sebuah meja sepanjang pestanya
berlangsung. Lihat, ada kado berbentuk kotak dengan bungkus cantik yang diberi
bunga-bunga kertas. Tebalnya sepuluh senti. Ia berani bertaruh, isi kado itu
paling-paling sebuah gaun dari bahan mahal, atau pigura ukir cantik dari bahan
metal.
Ada kado lain dengan lebar sama namun lebih
tebal tiga kali lipat. Pasti itu sepasang sepatu kulit merk ternama. Atau tas
tangan seperti yang tahun lalu ia terima. Jika lebih kecil lagi, ia bisa
menebak, di dalamnya pasti jam tangan kedap air dengan mesin yang berdetik zonder
batere, atau berlian, atau kunci mobil, atau hal sejenis lainnya.
Tapi, adakah kado yang ia harapkan? Ia
sulit menggambarkan kado apa yang bisa menjadi tamsil paling tepat atas
impiannya saat itu. Karenanya, ia tak bersemangat menunggu hari ulang tahun,
maupun kado demi kado.
“Apakah kau sedang bersedih?” tanya
ayahnya.
Ia menggeleng. “Tidak! Saya hanya merasa
bosan.”
“Apakah kau mengharapkan pesta ultramodern
seperti yang diselenggarakan para artis papan atas? Apakah pesta seperti ini
telah sedemikian membosankan? Kalau begitu, kau ingin yang bagaimana? Bukan hal
yang susah untuk membuat pesta yang berbeda, lain dari biasanya.”
“Saya bosan menatap kado. Sebab, tak ada
yang saya harapkan dari tumpukan kado-kado itu. Saya ingin kejutan, Ayah!
Bukankah Tuhan saja sangat romantis dan tahu betul bahwa kebahagiaan tidak
sempurna tanpa kejutan?”
“Oh, Nak! Kalau begitu, katakan apa yang
kira-kira mengejutkanmu.”
“Itulah yang saya tidak tahu. Kejutan
selalu sesuatu yang berada satu tingkat di atas yang dinanti. Sesuatu yang
terletak di atas impian dan dambaan, dan karenanya nyaris kita tidak
memikirkannya lagi.”
“Jadi, kau tidak bisa katakan apa yang bisa
membuatmu terkejut?”
-----
Ia bertanya-tanya dalam hatinya sejak
berbincang dengan Ningrum semalam. Apa yang bisa mengejutkannya? Apakah
gerangan sesuatu yang berada satu tingkat di a tas impian?Uang, Ningrum punya.
Kemewahan, dia ada. Lalu apa?
Lalu, tiba-tiba ia menemui Ningrum,
anaknya....
“Kemarilah, Nak! Ayah akan memberimu
kejutan.”
Mata anaknya berbinar-binar. “Apakah itu
tentang pangeran tampan dengan senyum menenteramkan?”
“Bukan, Nak! Bukan! Ayah akan memberimu doa
yang berbeda. Nak, dengarkan cerita Ayah. Ada seorang anak, pada ulang tahunnya
yang kesepuluh ia berkata pada papanya, ‘Papa, tidakkah kau ingin memberiku
hadiah yang berbeda?”
“Apakah anak itu adalah diriku, Ayah?”
Ia tidak menjawab pertanyaan Ningrum, tapi
melanjutkan cerita. “Lalu, papanya berkata, ‘Jika hadiah itu sebuah doa,
apakah kau ingin mendapat pula doa yang berbeda?’
Lalu sang anak menjawab, ‘Tentu saja,
Papa! Bukankah ada begitu banyak doa? Mengapa selalu saja sama doa yang
kauberikan tiap tahun?’
‘Semua doa itu memang sama, Nak. Doa
kebaikanmu. Jadi, apakah kau ingin doa itu kuganti? Dengan doa apa? Mungkinkah
itu doa keburukan?’
‘Kalau begitu, jangan beri aku doa, Papa.’
‘Tapi, Nak, Papa sudah temukan doa yang
berbeda.’”
Telinga Ningrum menegak. “Katakan padaku,
Ayah, apa doa itu.”
“Tapi, ini adalah sebuah doa kejutan
untukmu.”
“Benarkah itu, Ayah? Benarkah akhirnya kau
menemukan sesuatu yang membuatku terkejut?”
Ia mengangguk. Lalu, dia mengucapkan doa,
dengan mata setengah terpejam dan wajah tengadah. Doa yang sama seperti yang
diucapkannya tahun lalu.
“Inikah yang kausebut doa yang berbeda itu,
Ayah? Lalu, di mana letak bedanya? Bukankah doa ini pula yang kauucapkan tahun
sebelumnya?”
“Tapi, kali ini berbeda, Nak! Ini istimewa.
Sebab, kali ini Ayah akan mengiringinya dengan taubat. Sebab, salah satu sebab
tidak dikabulkannya doa adalah maksiat. Jika maksiat Ayah diampuni, maka doa
Ayah mungkin akan dikabulkan-Nya.”
-----
Tak tahu kapan mulainya, Ningrum tak lagi
berharap ada sesuatu yang mengejutkan hatinya. Bahkan, kado dari ayahnya itu
pun tak membuatnya terkejut. Apa yang bisa membuat ia terkejut dari sebuah doa
yang selalu diulang setiap tahun?
Memang, ia terharu dengan doa itu. Tapi,
terharu bukan indikasi keterkejutan, sebab selalu ia terharu setiap membuka
kado-kado ulang tahun. Dari ayahnya, ibunya, dan dari semua orang; sahabat,
kerabat, dan sebagainya.
Kali ini, keterharuannya bereksponen saat
melihat mata ayahnya yang cekung, seperti menjanjikan pertobatan yang agung.
Tapi, apa benar pertobatan itu akan menjadi hadiahnya? Bukankah bertobat itu
bukan untuk dirinya, tetapi untuk ayahnya sendiri?
“Ayah akan bertobat agar doa Ayah terkabul,
Nak!”
Oh, bertobat demi doanya terkabul? Bukankah
niat bertobat seharusnya sekadar meminta ampun? Lagipula, jika semacam itu
halnya, dirinya pun bisa bertobat demi doanya terkabul. Ya, benar! Mengapa ia
tidak bertobat saja, sehingga ia bisa berdoa dengan harapan terkabul lebih
besar. Berdoa agar didatangkan seorang pangeran tampan dengan senyum
menenteramkan, dibungkus kertas kado kembang-kembang.
-----
Ia tahu betul sejak kapan ia memulai
mencari-cari. Sejak hari itu ia terus mencari. Tapi, di mana gerangan ia bisa
membaca impian? Senyum itu senyum sempurna. Kerut dahinya menandakan dewasa.
Binar matanya adalah kebeningan tanpa batas.
“Terima kasih untuk taubatmu, Ayah!”
Ia terperangah. “Apakah kau menyukai kado
Ayah kemarin?”
“Aku menyukai setiap kado yang diberikan
dengan kasih. Sebab, setiap yang dilakukan sukarela akan selalu menjadi
istimewa. Akhirnya aku tahu, Ayah, yang kuinginkan adalah sesuatu yang
istimewa, dan selalu istimewa. Tidak selalu sesuatu yang mengejutkan, Ayah.
Cukup keindahan. Lalu, adakah yang lebih indah dari sebuah kado yang memberi
spirit untuk memperbaiki diri? Dengarlah, Ayah, aku bahkan mengikuti jejakmu
bertaubat. Jika boleh kuminta, bertobatlah bukan demi doamu untukku, tapi demi
kebaikan kita semua.”
Dia pun membulatkan taubatnya. Lalu, dia tersenyum penuh kelegaan.
Kejutannya malam ini begitu indah untuk direnungkan. Letupan-letupannya membuat
hati benderang. Inilah sesuatu yang berada satu tingkat di atas impian.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar