Minggu, 26 Agustus 2012

Kado yang Berbeda


Kado yang Berbeda

Tak tahu kapan mulainya, Ningrum tak lagi berharap ada sesuatu yang mengejutkan saat ia membuka kado-kado ulang tahun. Itu karena ia sudah lama tidak menerima kejutan, sesuatu yang berbeda yang membuatnya bahagia. Ia bisa memperkirakan isi kadonya hanya dengan melihat besar bungkusan, cara membungkus, atau kertas kado yang digunakan.
Tepatnya ia tak tahu apakah itu berarti ia tidak lagi mengharapkan kejutan, ataukah karena ia jenuh karena sejauh ini tidak ada sesuatu yang benar-benar mengejutkannya. Telah tujuh belas tahun usianya, berarti telah tujuh belas kali ulang tahunnya dirayakan.
Pada ulang tahunnya yang kelima belas, saat itu ia telah tumbuh menjadi gadis remaja. Dalam pikirannya yang paling gila, ia mengharapkan kado ‘mengejutkan’ berupa seorang pangeran tampan yang diimpikan setiap gadis. Tapi, ia tak tahu, siapa yang akan memberinya kado seperti itu. Yang lebih tidak ia tahu, kado itu akan dibungkus dengan bungkusan yang bagaimana. Jika benar ada kado seperti itu, tentu ia akan terkejut dan bahagia, membuka kado dengan berdebar-debar, dan seorang pangeran ditemukannya tersenyum dengan senyum paling menenteramkan.
Pikiran gila itu—paling tidak—sempat membuat ia mengawasi kado-kado yang ditumpuk di sebuah meja sepanjang pestanya berlangsung. Lihat, ada kado berbentuk kotak dengan bungkus cantik yang diberi bunga-bunga kertas. Tebalnya sepuluh senti. Ia berani bertaruh, isi kado itu paling-paling sebuah gaun dari bahan mahal, atau pigura ukir cantik dari bahan metal.
Ada kado lain dengan lebar sama namun lebih tebal tiga kali lipat. Pasti itu sepasang sepatu kulit merk ternama. Atau tas tangan seperti yang tahun lalu ia terima. Jika lebih kecil lagi, ia bisa menebak, di dalamnya pasti jam tangan kedap air dengan mesin yang berdetik zonder batere, atau berlian, atau kunci mobil, atau hal sejenis lainnya.
Tapi, adakah kado yang ia harapkan? Ia sulit menggambarkan kado apa yang bisa menjadi tamsil paling tepat atas impiannya saat itu. Karenanya, ia tak bersemangat menunggu hari ulang tahun, maupun kado demi kado.
“Apakah kau sedang bersedih?” tanya ayahnya.
Ia menggeleng. “Tidak! Saya hanya merasa bosan.”
“Apakah kau mengharapkan pesta ultramodern seperti yang diselenggarakan para artis papan atas? Apakah pesta seperti ini telah sedemikian membosankan? Kalau begitu, kau ingin yang bagaimana? Bukan hal yang susah untuk membuat pesta yang berbeda, lain dari biasanya.”
“Saya bosan menatap kado. Sebab, tak ada yang saya harapkan dari tumpukan kado-kado itu. Saya ingin kejutan, Ayah! Bukankah Tuhan saja sangat romantis dan tahu betul bahwa kebahagiaan tidak sempurna tanpa kejutan?”
“Oh, Nak! Kalau begitu, katakan apa yang kira-kira mengejutkanmu.”
“Itulah yang saya tidak tahu. Kejutan selalu sesuatu yang berada satu tingkat di atas yang dinanti. Sesuatu yang terletak di atas impian dan dambaan, dan karenanya nyaris kita tidak memikirkannya lagi.”
“Jadi, kau tidak bisa katakan apa yang bisa membuatmu terkejut?”
-----
Ia bertanya-tanya dalam hatinya sejak berbincang dengan Ningrum semalam. Apa yang bisa mengejutkannya? Apakah gerangan sesuatu yang berada satu tingkat di a tas impian?Uang, Ningrum punya. Kemewahan, dia ada. Lalu apa?
Lalu, tiba-tiba ia menemui Ningrum, anaknya....
“Kemarilah, Nak! Ayah akan memberimu kejutan.”
Mata anaknya berbinar-binar. “Apakah itu tentang pangeran tampan dengan senyum menenteramkan?”
“Bukan, Nak! Bukan! Ayah akan memberimu doa yang berbeda. Nak, dengarkan cerita Ayah. Ada seorang anak, pada ulang tahunnya yang kesepuluh ia berkata pada papanya, ‘Papa, tidakkah kau ingin memberiku hadiah yang berbeda?”
“Apakah anak itu adalah diriku, Ayah?”
Ia tidak menjawab pertanyaan Ningrum, tapi melanjutkan cerita. “Lalu, papanya berkata, ‘Jika hadiah itu sebuah doa, apakah kau ingin mendapat pula doa yang berbeda?’
Lalu sang anak menjawab, ‘Tentu saja, Papa! Bukankah ada begitu banyak doa? Mengapa selalu saja sama doa yang kauberikan tiap tahun?’
‘Semua doa itu memang sama, Nak. Doa kebaikanmu. Jadi, apakah kau ingin doa itu kuganti? Dengan doa apa? Mungkinkah itu doa keburukan?’
‘Kalau begitu, jangan beri aku doa, Papa.’
‘Tapi, Nak, Papa sudah temukan doa yang berbeda.’”
Telinga Ningrum menegak. “Katakan padaku, Ayah, apa doa itu.”
“Tapi, ini adalah sebuah doa kejutan untukmu.”
“Benarkah itu, Ayah? Benarkah akhirnya kau menemukan sesuatu yang membuatku terkejut?”
Ia mengangguk. Lalu, dia mengucapkan doa, dengan mata setengah terpejam dan wajah tengadah. Doa yang sama seperti yang diucapkannya tahun lalu.
“Inikah yang kausebut doa yang berbeda itu, Ayah? Lalu, di mana letak bedanya? Bukankah doa ini pula yang kauucapkan tahun sebelumnya?”
“Tapi, kali ini berbeda, Nak! Ini istimewa. Sebab, kali ini Ayah akan mengiringinya dengan taubat. Sebab, salah satu sebab tidak dikabulkannya doa adalah maksiat. Jika maksiat Ayah diampuni, maka doa Ayah mungkin akan dikabulkan-Nya.”
-----
Tak tahu kapan mulainya, Ningrum tak lagi berharap ada sesuatu yang mengejutkan hatinya. Bahkan, kado dari ayahnya itu pun tak membuatnya terkejut. Apa yang bisa membuat ia terkejut dari sebuah doa yang selalu diulang setiap tahun?
Memang, ia terharu dengan doa itu. Tapi, terharu bukan indikasi keterkejutan, sebab selalu ia terharu setiap membuka kado-kado ulang tahun. Dari ayahnya, ibunya, dan dari semua orang; sahabat, kerabat, dan sebagainya.
Kali ini, keterharuannya bereksponen saat melihat mata ayahnya yang cekung, seperti menjanjikan pertobatan yang agung. Tapi, apa benar pertobatan itu akan menjadi hadiahnya? Bukankah bertobat itu bukan untuk dirinya, tetapi untuk ayahnya sendiri?
“Ayah akan bertobat agar doa Ayah terkabul, Nak!”
Oh, bertobat demi doanya terkabul? Bukankah niat bertobat seharusnya sekadar meminta ampun? Lagipula, jika semacam itu halnya, dirinya pun bisa bertobat demi doanya terkabul. Ya, benar! Mengapa ia tidak bertobat saja, sehingga ia bisa berdoa dengan harapan terkabul lebih besar. Berdoa agar didatangkan seorang pangeran tampan dengan senyum menenteramkan, dibungkus kertas kado kembang-kembang.
-----
Ia tahu betul sejak kapan ia memulai mencari-cari. Sejak hari itu ia terus mencari. Tapi, di mana gerangan ia bisa membaca impian? Senyum itu senyum sempurna. Kerut dahinya menandakan dewasa. Binar matanya adalah kebeningan tanpa batas.
“Terima kasih untuk taubatmu, Ayah!”
Ia terperangah. “Apakah kau menyukai kado Ayah kemarin?”
“Aku menyukai setiap kado yang diberikan dengan kasih. Sebab, setiap yang dilakukan sukarela akan selalu menjadi istimewa. Akhirnya aku tahu, Ayah, yang kuinginkan adalah sesuatu yang istimewa, dan selalu istimewa. Tidak selalu sesuatu yang mengejutkan, Ayah. Cukup keindahan. Lalu, adakah yang lebih indah dari sebuah kado yang memberi spirit untuk memperbaiki diri? Dengarlah, Ayah, aku bahkan mengikuti jejakmu bertaubat. Jika boleh kuminta, bertobatlah bukan demi doamu untukku, tapi demi kebaikan kita semua.”
Dia pun membulatkan taubatnya. Lalu, dia tersenyum penuh kelegaan. Kejutannya malam ini begitu indah untuk direnungkan. Letupan-letupannya membuat hati benderang. Inilah sesuatu yang berada satu tingkat di atas impian.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar