Pagi ini Ia datang lagi, kalau aku hitung ini yang
ketujuh kalinya. Ia benar-benar misteri bagiku. Wajahnya terlihat putih mulus
dengan hidung macung. Lebih sulit untuk dikatakan jelek daripada dibilang
cantik. Sejuk menyejukkan pandangan. Jilbab hitamnya tergerai dielus angin. Aku
lihat ia sedang bercakap-cakap. Tapi aku bingung, didekatnya tak ada
siapa-siapa. Sekali-kali ia marah dan tak berapa lama kemudian tertawa
terbahak-bahak. Ih, bulu kudukku pada berdiri. Jangan-jangan ia…, ah tidak
mungkin. Aku perhatikan ia dari ujung kaki sampai jilbabnya. Normal, kata hati.
Tiba-tiba ia menoleh ke atas, ke
arahku. Matanya menusuk hatiku. Aku langsung pura-pura sedang membersihkan
jendela kamarku. Dan kupalingkan wajah kesudut taman yang lain. Tak ada
siapa-siapa, kecuali gadis itu yang menemani bunga yang sedang bermekaran. Bola
mataku kembali menggelinding kearahnya. Lagi-lagi ia bermolog sambil memandang
pucuk pohon kurma. Hups, aku bersembunyi
dibalik daun jendela saat ia melihat ke arahku lagi.
“Hei Tia, sedang ngapain sih
kamu, pakai acara kucing-kucingan segala?” sebuah pertanyaan hinggap
digendang telingaku. Aku mencari sumbernya. Ternyata dari teman sekamarku,
Heni.
“Hen, sini dong!” jawabku sambil
melambaikan tangan kanan supaya Heni mendekat. Heni bangkit dari hadapan
komputer. Kelihatan ia ikut penasaran. Setelah berada disampingku, ia bertanya:
“Ada apa-an sih???”
“Lihat, tuh!” kataku sambil
menunjuk ke arah gadis misterius tadi. Heni mendongak kearah yang aku tunjuk.
Kami berdua memperhatikannya. Kemudian kami saling berpandangan.
“Iyya, aku juga aneh dari kemaren
ia duduk dibangku itu seperti orang gila!”komentar Heni. Kemudian ia
melanjutkan:”Kita dekati yuk!”
“Ih, takut. Ntar kalau ia ngamuk
sama kita, gimana?”
“Bismillah lah, mudah-mudahan
tidak!”
“Benar Heni berani?”
“Siapa takut, kita takut hanya sama
Allah, bukankah orang itu berada digenggaman kekuasaan Allah?
”Ayo, aku berani!” ujarku setelah yakin akan perlindungan Allah SWT. Aku dan Heni keluar
dari Apartemen lantai empat tempat kami. Kami melangkah tergesa-gesa menuruni
tangga. Aku berharap rasa penasaranku cepat terjawab.
“Hah, kemana dia?” Tanya Heni kepadaku. Gadis itu telah lenyap dari tempat itu. Mataku
menyapu habis seluruh penjuru taman. Hasilnya tetap nihil. Yah, akhirnya dengan
langkah gontai aku dan Heni kembali menuju kamar.
* * *
Seminggu kemudian. Aku dan Heni pulang dari kuliah.
Kami turun dari bus di mahttoh depan rumah. Di tengah perjalanan kami berdua berpapasan
dengan rombongan yang sedang mengantar jenazah. Kami berhenti di sisi jalan
sampai iringan itu berlalu. Aku penasaran, siapa yang meninggal? Ada seorang
ibu yang berjalan di dekat kami. Ia aku dekati dan bertanya: “Ma’af bu,
kalau boleh aku tahu, siapa yang meninggal barusan?”
“Ooo…, itu putri pak Ibrohim, namanya Fatimah Zahro!”
“Hah, Fatimah Zahro???” aku mengulangi nama itu dengan terkejut. Aku teringat
dengan gadis yang ku temui dua hari yang lalu di taman. Ah, begitu cepatkah ia
meninggal diriku. Aku langsung menarik tangan Heni untuk buru-buru pulang. Kami
tidak mempedulikan tatapan aneh ibu itu. Sendi-sendi kakiku terasa remuk saat
menaiki tangga menuju tempat tinggal kami. Sesampai di kamar, aku langsung
menumpahkan semua perasaan yang aku tahan dari tadi. Bantal basah oleh air
mataku. Aku terlentang diatas ranjang sambil menyelam kejadian dua hari yang
lalu. Pertemuanku dengan gadis itu hadir dalam ruang otakku.
* * *
“Setia, tuh dia datang lagi, cepat kita kesana, ntar
kabur lagi!” ajak Heni pagi
berikutnya kepadaku. Tanpa banyak bicara kami langsung turun menuju taman. Tak
cukup lima menit, kami berdua sudah melangkah bebarapa meter dari tempat dusuk
gadis misterius itu. Ia seperti hanyut dalam arus pikirannya. Sehingga
kehadiranku dan Heni tidak disadarinya. Kami berdua menghampirinya dan secara
serempak mengucapkan salam:
“Assalamu’alaikum!”
“Wa’alaikumus salam warahmatullah!” sebuah jawaban yang terdengar gugup. Ia terlihat
terkejut sekali. Wajahnya pias dengan sorot mata menyelidik. Walaupun demikian,
dibibirnya tetap bertengger sebuah senyuman. Meskipun terkesan dipaksakan.
“Bolehkah kami berdua duduk bersamamu?” aku bertanya dengan bahasa Arab fushah. Selintas ia
seperti terpelajar. Anggapan yang bukan-bukan terhadapnya mulai menipis di
otakku.
“Ooo…, dengan senang hati!” tangapnya hangat.
“Namaku Setia Maulani dan ini temanku, namanya Heni
Pratiwi” kataku sambil menjabat
tangannya. Kami bertiga duduk bersampingan diatas bangku panjang.”Kalau
ukhty, namamu siapa?”lanjutku.
“Fatimah Zahro!”
“Nama yang bagus sekali”kata Heni sekaligus mengangkat jempol tangan untuk
basa-basi.
“Ah, bisa aja kamu muji, semoga Allah memberkahimu!”jawabnya dengan bahasa ‘ammiyah. “Kalian berdua
asal Malaysia ya?”
“Bukan, kami dari Indonesia!”sangkalku.
“Wow, penggemar Megawati dong, sekarang kalian kuliah
dimana?”
“Di Al-Azhar Cairo, Saya fakultas Syari’ah Qonun dan
Setia fakultas Ushuluddin, sama-sama tingkat kedua, kalau ukhty sendiri kuliah
dimana?”ujar Heni.
“Saya kuliah di Universitas Cairo fakultas kedokteran
tingkat akhir!”
“Ooo….!”Aku
ber-o ria. Mendengar penjelasan ini spontanitas anggapan miring terhadapnya
ludes. Kami ngobrol tentang banyak hal. Kata-katanya mencerminkan seorang yang
benar-benar terpelajar. Sikapnya luwes dan cepat akrab. Tak mungkin orang
seperti ini, apalagi ia calon dokter seorang gila. Tapi mengapa dalam seminggu
ini ia seolah-olah kurang waras? Apa ia sedang belajar pidato, baca puisi atau
drama. Daripada penasaran, aku langsung bertanya: “Fatimah, bolehkah aku
bertanya?”
“Kenapa tidak?”
“Begini, selama seminggu ini, kami lihat kamu sering
melamun dan bercakap-cakap sendiri di sini, sedang apakah gerangan?
“Jadi…, selama ini kalian melihatku?”Tanya Fatimah seperti tak percaya. Mukanya langsung
berubah. Dari wajahnya kelihatan otaknya sedang terbang, atau mungkin juga
hatinya sedang bergelombang. Ia menatap pucuk pohon kurma dengan hampa. Suana
jadi hening. Kami tenggelam dalam lautan perasaan masing-masing. Aku sendiri
merasa bersalah atas pertanyaanku tadi.
“Afwan, bila pertanyaanku mengganjal dihatimu”, aku memecahkan kebekuan itu. Tak ada jawaban. Aku
merasa lebih bersalah lagi, saat ekor mataku membentur tubuh Fatimah yang mulai
terguncang dan terdengar isakan. Aku bingung apa yang harus kulakukan. Untung
Heni lebih bijak, ia langsung merangkulnya dan
Fatimahpun membenamkan wajahnya di dada Heni, bak anak kecil butuh
perlindungan dalam pelukan ibunya. Sambil mengusap punggungnya, Heni berkata:”
Udahlah Fatimah, kalau memang persoalan itu berat, tak usah kamu ceritakan
sekarang, Setia bertanya bukan-bukan
apa-apa, hanya ingin membantumu menyelesaikan masalah, sebab sejak kita
bersyahadat sebagai orang beriman kita adalah bersaudara, sebuah persaudaraan
yang lebih kokoh dan abadi dibanding persaudaraan karena nasab, suku, ras, daerah,
dan yang lainnya. Sudah seharusnya kan kalau kita saling membantu?”
“Aku menangis bukan hanya karena masalah yang kuhadapi
saja, tapi…, aku merasa malu dan terharu bahwa masih ada yang memperhatikan
diriku!”jawabnya Fatimah disela
isakannya. Tangisannya mulai reda. Ia memaksa diri untuk tersenyum. Kembali ia
berujar:
“Coba lihat itu!”
Aku melirik kearah yang ditunjukkan oleh Fatimah.
Pandanganku membentur pucuk pohon kurma. Disana aku lihat beberapa ekor burung
sedang berlarian diatas daun-daun kurma. Aku tidak faham atas isyaratnya.
“Fat, ada apa dengan pohon kurma?”
“Bukan, kurma. Yang aku maksud burung-burung itu. Aku
ingin bebas seperti mereka!” Jawab
Fatimah. Ia tersenyum. Lalu bergumam: “Ya, aku ingin jadi burung!”
Aku dan Heni saling menatap. Kulihat dahi Heni sedikit
berkerut. Mungkin ia sedang memikirkan kata-kata Fatimah, seperti halnya
diriku. Belum juga aku bertanya maksud ucapan itu, Fatimah menggelengkan kepala
dengan wajah merah dan berbisik: “Aku benci sama orang Mesir!”
Lagi-lagi aku dan Heni tidak mengerti. Seabrek
pertanyaan berkecamuk dalam benakku. Namun aku hanya menunggu jawabannya.
Kemudian Fatimah menundukkan kepala dan mendekap mata dengan kedua tangannya.
Badannya berguncang. Aku bengong. Sebegitu beratkah persolan yang ia pendam?
Sehingga dalam waktu berdekatan ia tersenyum, marah, dan sedih. Selintas
kelihatan kurang waras.
“Setia, masih tersisakah kemerdekaan, bila kebebasan
hati nurani kita untuk memilih di belenggu oleh adat?” pertanyaan Fatimah kembali mengejutkanku. Aku
gelagapan tak bisa menjawab. “Aku salah seorang korban adat Mesir yang
menetapkan persyaratan nikah yang tinggi, harus tersedia ribuan pound, ada
rumah, ada sedan, dan tetek bengeknya!” tukas Fatimah. Aku menemukan titik
terang. Persoalannya tentang Nikah. Aku memberanikan diri bertanya:
“Fat, ada apa dengan pernikahanmu?”
“Siapa yang tidak berontak, bila tujuh kali di khitbah
laki-laki sholeh, tapi di tolak gara-gara tidak bisa memenuhi persyaratan. Aku
tidak menyalahkan orang tuaku. Yang salah adalah masyarakat Mesir yang pasang
tarip perempuan terlalu tinggi, padahal ajaran Islam mengutamakan nikah dengan
mahar yang rendah!” Jawabnya.
Batinku meraba perasaan Fatimah. Hatiku ikut perih
menatap nasib muda-mudi Mesir yang sulit nikah. Cerita Fatimah tadi sebuah
tamparan bagiku. Selama ini aku dan teman-temanku banyak membahas Feminisme,
tapi masalah ini luput dari persoalan kami. Ah, betapa naifnya, aku bila
membiarkan tragedi Siti Nurbaya berlaku di Mesir.
“Hei…, ngelamun lagi!” suara Heni memutuskan bayangan kejadian ditaman
bersama Fatimah. Aku bangkit dari ranjang. Personal komputer kunyalakan. Aku
akan menulis kisah Fatimah agar di ketahui oleh orang banyak.
(kutipan Udo Wardah Hafidzah )
(kutipan Udo Wardah Hafidzah )
Tidak ada komentar:
Posting Komentar