Kamis, 23 Agustus 2012

Nyayian Burung dipucuk Kurma

Pagi ini Ia datang lagi, kalau aku hitung ini yang ketujuh kalinya. Ia benar-benar misteri bagiku. Wajahnya terlihat putih mulus dengan hidung macung. Lebih sulit untuk dikatakan jelek daripada dibilang cantik. Sejuk menyejukkan pandangan. Jilbab hitamnya tergerai dielus angin. Aku lihat ia sedang bercakap-cakap. Tapi aku bingung, didekatnya tak ada siapa-siapa. Sekali-kali ia marah dan tak berapa lama kemudian tertawa terbahak-bahak. Ih, bulu kudukku pada berdiri. Jangan-jangan ia…, ah tidak mungkin. Aku perhatikan ia dari ujung kaki sampai jilbabnya. Normal, kata hati.
            Tiba-tiba ia menoleh ke atas, ke arahku. Matanya menusuk hatiku. Aku langsung pura-pura sedang membersihkan jendela kamarku. Dan kupalingkan wajah kesudut taman yang lain. Tak ada siapa-siapa, kecuali gadis itu yang menemani bunga yang sedang bermekaran. Bola mataku kembali menggelinding kearahnya. Lagi-lagi ia bermolog sambil memandang pucuk pohon kurma.  Hups, aku bersembunyi dibalik daun jendela saat ia melihat ke arahku lagi.
            “Hei Tia, sedang ngapain sih kamu, pakai acara kucing-kucingan segala?” sebuah pertanyaan hinggap digendang telingaku. Aku mencari sumbernya. Ternyata dari teman sekamarku, Heni.
            “Hen, sini dong!” jawabku sambil melambaikan tangan kanan supaya Heni mendekat. Heni bangkit dari hadapan komputer. Kelihatan ia ikut penasaran. Setelah berada disampingku, ia bertanya:
            “Ada apa-an sih???”
            “Lihat, tuh!” kataku sambil menunjuk ke arah gadis misterius tadi. Heni mendongak kearah yang aku tunjuk. Kami berdua memperhatikannya. Kemudian kami saling berpandangan.
            “Iyya, aku juga aneh dari kemaren ia duduk dibangku itu seperti orang gila!”komentar Heni. Kemudian ia melanjutkan:”Kita dekati yuk!”
            “Ih, takut. Ntar kalau ia ngamuk sama kita, gimana?”
            “Bismillah lah, mudah-mudahan tidak!”
            “Benar Heni berani?”
            “Siapa takut, kita takut hanya sama Allah, bukankah orang itu berada digenggaman kekuasaan Allah?
”Ayo, aku berani!” ujarku setelah yakin akan perlindungan Allah SWT. Aku dan Heni keluar dari Apartemen lantai empat tempat kami. Kami melangkah tergesa-gesa menuruni tangga. Aku berharap rasa penasaranku cepat terjawab.
“Hah, kemana dia?” Tanya Heni kepadaku. Gadis itu telah lenyap dari tempat itu. Mataku menyapu habis seluruh penjuru taman. Hasilnya tetap nihil. Yah, akhirnya dengan langkah gontai aku dan Heni kembali menuju kamar.

*  *  *
           
Seminggu kemudian. Aku dan Heni pulang dari kuliah. Kami turun dari bus di mahttoh depan rumah. Di tengah perjalanan kami berdua berpapasan dengan rombongan yang sedang mengantar jenazah. Kami berhenti di sisi jalan sampai iringan itu berlalu. Aku penasaran, siapa yang meninggal? Ada seorang ibu yang berjalan di dekat kami. Ia aku dekati dan bertanya: “Ma’af bu, kalau boleh aku tahu, siapa yang meninggal barusan?”
“Ooo…, itu putri pak Ibrohim, namanya Fatimah Zahro!”
“Hah, Fatimah Zahro???” aku mengulangi nama itu dengan terkejut. Aku teringat dengan gadis yang ku temui dua hari yang lalu di taman. Ah, begitu cepatkah ia meninggal diriku. Aku langsung menarik tangan Heni untuk buru-buru pulang. Kami tidak mempedulikan tatapan aneh ibu itu. Sendi-sendi kakiku terasa remuk saat menaiki tangga menuju tempat tinggal kami. Sesampai di kamar, aku langsung menumpahkan semua perasaan yang aku tahan dari tadi. Bantal basah oleh air mataku. Aku terlentang diatas ranjang sambil menyelam kejadian dua hari yang lalu. Pertemuanku dengan gadis itu hadir dalam ruang otakku.
*  *  *
“Setia, tuh dia datang lagi, cepat kita kesana, ntar kabur lagi!” ajak Heni pagi berikutnya kepadaku. Tanpa banyak bicara kami langsung turun menuju taman. Tak cukup lima menit, kami berdua sudah melangkah bebarapa meter dari tempat dusuk gadis misterius itu. Ia seperti hanyut dalam arus pikirannya. Sehingga kehadiranku dan Heni tidak disadarinya. Kami berdua menghampirinya dan secara serempak mengucapkan salam:
“Assalamu’alaikum!”
“Wa’alaikumus salam warahmatullah!” sebuah jawaban yang terdengar gugup. Ia terlihat terkejut sekali. Wajahnya pias dengan sorot mata menyelidik. Walaupun demikian, dibibirnya tetap bertengger sebuah senyuman. Meskipun terkesan dipaksakan.
“Bolehkah kami berdua duduk bersamamu?” aku bertanya dengan bahasa Arab fushah. Selintas ia seperti terpelajar. Anggapan yang bukan-bukan terhadapnya mulai menipis di otakku.
“Ooo…, dengan senang hati!” tangapnya hangat.
“Namaku Setia Maulani dan ini temanku, namanya Heni Pratiwi” kataku sambil menjabat tangannya. Kami bertiga duduk bersampingan diatas bangku panjang.”Kalau ukhty, namamu siapa?”lanjutku.
“Fatimah Zahro!”
“Nama yang bagus sekali”kata Heni sekaligus mengangkat jempol tangan untuk basa-basi.
“Ah, bisa aja kamu muji, semoga Allah memberkahimu!”jawabnya dengan bahasa ‘ammiyah. “Kalian berdua asal Malaysia ya?”
“Bukan, kami dari Indonesia!”sangkalku.
“Wow, penggemar Megawati dong, sekarang kalian kuliah dimana?”
“Di Al-Azhar Cairo, Saya fakultas Syari’ah Qonun dan Setia fakultas Ushuluddin, sama-sama tingkat kedua, kalau ukhty sendiri kuliah dimana?”ujar Heni.
“Saya kuliah di Universitas Cairo fakultas kedokteran tingkat akhir!”
“Ooo….!”Aku ber-o ria. Mendengar penjelasan ini spontanitas anggapan miring terhadapnya ludes. Kami ngobrol tentang banyak hal. Kata-katanya mencerminkan seorang yang benar-benar terpelajar. Sikapnya luwes dan cepat akrab. Tak mungkin orang seperti ini, apalagi ia calon dokter seorang gila. Tapi mengapa dalam seminggu ini ia seolah-olah kurang waras? Apa ia sedang belajar pidato, baca puisi atau drama. Daripada penasaran, aku langsung bertanya: “Fatimah, bolehkah aku bertanya?”
“Kenapa tidak?”
“Begini, selama seminggu ini, kami lihat kamu sering melamun dan bercakap-cakap sendiri di sini, sedang apakah gerangan?
“Jadi…, selama ini kalian melihatku?”Tanya Fatimah seperti tak percaya. Mukanya langsung berubah. Dari wajahnya kelihatan otaknya sedang terbang, atau mungkin juga hatinya sedang bergelombang. Ia menatap pucuk pohon kurma dengan hampa. Suana jadi hening. Kami tenggelam dalam lautan perasaan masing-masing. Aku sendiri merasa bersalah atas pertanyaanku tadi.
“Afwan, bila pertanyaanku mengganjal dihatimu”, aku memecahkan kebekuan itu. Tak ada jawaban. Aku merasa lebih bersalah lagi, saat ekor mataku membentur tubuh Fatimah yang mulai terguncang dan terdengar isakan. Aku bingung apa yang harus kulakukan. Untung Heni lebih bijak, ia langsung merangkulnya dan  Fatimahpun membenamkan wajahnya di dada Heni, bak anak kecil butuh perlindungan dalam pelukan ibunya. Sambil mengusap punggungnya, Heni berkata:” Udahlah Fatimah, kalau memang persoalan itu berat, tak usah kamu ceritakan sekarang,  Setia bertanya bukan-bukan apa-apa, hanya ingin membantumu menyelesaikan masalah, sebab sejak kita bersyahadat sebagai orang beriman kita adalah bersaudara, sebuah persaudaraan yang lebih kokoh dan abadi dibanding persaudaraan karena nasab, suku, ras, daerah, dan yang lainnya. Sudah seharusnya kan kalau kita saling membantu?”
“Aku menangis bukan hanya karena masalah yang kuhadapi saja, tapi…, aku merasa malu dan terharu bahwa masih ada yang memperhatikan diriku!”jawabnya Fatimah disela isakannya. Tangisannya mulai reda. Ia memaksa diri untuk tersenyum. Kembali ia berujar:
“Coba lihat itu!”
Aku melirik kearah yang ditunjukkan oleh Fatimah. Pandanganku membentur pucuk pohon kurma. Disana aku lihat beberapa ekor burung sedang berlarian diatas daun-daun kurma. Aku tidak faham atas isyaratnya.
“Fat, ada apa dengan pohon kurma?”
“Bukan, kurma. Yang aku maksud burung-burung itu. Aku ingin bebas seperti mereka!” Jawab Fatimah. Ia tersenyum. Lalu bergumam: “Ya, aku ingin jadi burung!”
Aku dan Heni saling menatap. Kulihat dahi Heni sedikit berkerut. Mungkin ia sedang memikirkan kata-kata Fatimah, seperti halnya diriku. Belum juga aku bertanya maksud ucapan itu, Fatimah menggelengkan kepala dengan wajah merah dan berbisik: “Aku benci sama orang Mesir!”
Lagi-lagi aku dan Heni tidak mengerti. Seabrek pertanyaan berkecamuk dalam benakku. Namun aku hanya menunggu jawabannya. Kemudian Fatimah menundukkan kepala dan mendekap mata dengan kedua tangannya. Badannya berguncang. Aku bengong. Sebegitu beratkah persolan yang ia pendam? Sehingga dalam waktu berdekatan ia tersenyum, marah, dan sedih. Selintas kelihatan kurang waras.
“Setia, masih tersisakah kemerdekaan, bila kebebasan hati nurani kita untuk memilih di belenggu oleh adat?” pertanyaan Fatimah kembali mengejutkanku. Aku gelagapan tak bisa menjawab. “Aku salah seorang korban adat Mesir yang menetapkan persyaratan nikah yang tinggi, harus tersedia ribuan pound, ada rumah, ada sedan, dan tetek bengeknya!” tukas Fatimah. Aku menemukan titik terang. Persoalannya tentang Nikah. Aku memberanikan diri bertanya:
“Fat, ada apa dengan pernikahanmu?”
“Siapa yang tidak berontak, bila tujuh kali di khitbah laki-laki sholeh, tapi di tolak gara-gara tidak bisa memenuhi persyaratan. Aku tidak menyalahkan orang tuaku. Yang salah adalah masyarakat Mesir yang pasang tarip perempuan terlalu tinggi, padahal ajaran Islam mengutamakan nikah dengan mahar yang rendah!” Jawabnya.
Batinku meraba perasaan Fatimah. Hatiku ikut perih menatap nasib muda-mudi Mesir yang sulit nikah. Cerita Fatimah tadi sebuah tamparan bagiku. Selama ini aku dan teman-temanku banyak membahas Feminisme, tapi masalah ini luput dari persoalan kami. Ah, betapa naifnya, aku bila membiarkan tragedi Siti Nurbaya berlaku di Mesir.
“Hei…, ngelamun lagi!” suara Heni memutuskan bayangan kejadian ditaman bersama Fatimah. Aku bangkit dari ranjang. Personal komputer kunyalakan. Aku akan menulis kisah Fatimah agar di ketahui oleh orang banyak.

(kutipan Udo Wardah Hafidzah )

Tidak ada komentar:

Posting Komentar