Kamis, 23 Agustus 2012

EMAIL UNTUK NYA


Email Buat Prabu

Cairo berubah menjadi kuali yang memanggang diriku. Pori-poriku menjadi mata air keringat. Musim panas cukup menyiksaku. Lebih gerah lagi, setelah aku pulang dari Warnet. Ternyata Jakarta lebih panas dari Cairo. Betapa tidak, detik ini Jakarta tidak panas hanya akibat pantulan kaca dari gedung pencakar langit saja. Tapi lebih dari itu, rakyat merasa panas gara-gara Gusdur ngeluar dekrit untuk membekukan DPR/MPR RI. Dan tak berapa lama, justru lembaga tinggi negara ini mengambil sumpah Megawati mengganti Gusdur. Tentu saja pendukung dari keduanya akan menggolakkan suasana. Ah, aku benar-benar panas luar dalam. Hatiku takut terbakar.
            Aku memandang buku-buku dikamarku. Kepalaku masih puyeng. Tiba-tiba aku teringat serawut wajah yang tak asing lagi bagiku. Muka asli orang Jawa. Siapa lagi kalau bukan kamu. Spontanitas aku menghadap komputer ingin curhat samamu.
            Prabu….!
            Masih ingat enggak? Lima tahun yang lalu. Ketika kita berdua sekamar dengan Alex, Teuku, Deden, dan Andi di sebuah Pesantren cukup terkenal di Jawa Timur. Kita ngobrol kedarat dan kelaut. Sampai suatu malam kita berdiskusi dengan serius tentang cita-cita kita.
            Alex, teman kita asal Timor Timur. Dengan antusias ia berkoar: “Aku mau jadi apa kek, yang penting aku bisa terkenal!”
            “Huuuu…….!” Kita koor bersama. Aku lihat kamu tersenyum. Entah untuk apa senyuman itu. Bisa jadi, karena merasa lucu betapa naifnya cita-cita teman kita itu. Hanya ingin mengejar popularitas. Kita tidak mengomentarinya. Tetap berhusnudzon, mudah-mudahan dalam kebaikan.
            Tahu enggak? Itu jadi kenyataan. Alex benar-benar terkenal zaman Bj. Habibi. Ia mempelopori Mahasiswa asal Timor Timur demontrasi menuntut supaya Saxana di bebaskan dan Timor Timur Merdeka.
            Lantas, putra daerah Serambi Mekah, Teuku, tak mau kalah. “Kalau aku, ingin syariat Islam diterapkan secepatnya di Aceh, aku ambil bagian dalam perjuangan ini!”Katanya kepada kita. Tanpa dikomando kita secara bersama kita berteriak: “Jangan Aceh aja dong!”
            “Jelas dong, aku memulai dari daerahku dulu, sedangkan kalian dari daerah masing-masing!” tukas Teuku. Kembali kita saling memandang dan menganggukkan kepala. Aku tidak tahu, Apakah Teuku masih hidup atau udah syahid. Setiap ada berita tentang  korban Aceh, aku selalu mencari namannya. Cuma tidak pernah aku temukan.
            Selanjutnya, giliran Deden mengemukakan cita-citanya: “Aku pengen jadi politikus ulung sekaligus guru bangsa dalam berdemokrasi!” Kita semua berdecak kagum dan bertepuk tangan . Kamar menjadi bak pasar. Mendapat sambutan seperti ini, aku lihat ciri khas Sundanya memudar, ia tidak pemalu lagi, justru membusungkan dada dengan pedenya.
            Lain lagi dengan Andi, anak Sulawesi, ia bilang: “Aku ingin mendirikan pesantren modern! Lagi-lagi, kita dibuat angkat topi. Walaupun kita banyak tidurnya, ternyata punya idealis.
            Terakhir aku dan kamu. Kita tidak tahu mengapa cita-cita kita sama. Mungkin karena kita begitu kagum dengan bapak proklamator kita, Soekarno. Apa cita-cita kita berdua? Ingatkan, Mengantar Megawati menjadi presiden. Jelas saja, teman-teman kita sangat kaget dan kitapun mendapat debatan sengit. Untung Deden menjadi penengah: “Hargai dong,  pendapat orang, mari kita mulai belajar berdemokrasi!” Suanapun menjadi reda.

*  *  *
Prabu yang baik…!
Akhirnya, kita sepakat membentuk kelompok diskusi. Setiap ba’da sholat Isya’ kita stand by di kamar sebagai base camp aktivitas kita. Training kita sederhana aja, namun hasilnya sangat berpengaruh dalam diri kita. Modal kita hanya guntingan tulisan dari koran. Tahap pertama kita belajar mengungkapkan hasil baca kita. Setelah itu kita memasuki tahap bagaimana menganalisa tulisan. Dan tahap ketiga, kita memperdebatkannya. Kelompok pro dan kontra. Masing-masing berupaya membela kelompoknya. Karena kegiatan ini kita lakukan selama setahun, tentu saja kita terbisa berpikir dan berdebat.
Sampai suatu hari kita berkenalan dengan seorang Mahasiswa jurusan filsafat UGM siap membimbing kita. Disinilah kita mulai berintraksi dengan pemikiran diluar Islam. Kita banyak mengkaji pemikiran Hegel, Marx, Lenin, Stalin, Engels, Mao Tse Tung dan tokoh-tokoh Sosialis, Kapitalis, serta Komunis yang lainnya. Berhari-hari kita melatih teori dialektika atau sering kita sebut jurus tiga serangkai, yaitu tesis, antitesis, dan sintesis. Secara tidar sadar kita telah membentuk pola berpikir yang jauh berbeda dengan yang kita pelajari di pondok pesantren.
Wajar saja, ketika pihak pesantren tahu, kita langsung disidang supaya meninggalkan pemikiran kita. Kelompok kita terpecah, kita berdua secara under ground tetap melanjutkan kajian itu. Sedangkan teman kita bertobat. Dari sinilah kita menjadi bermusuhan dengan mereka. Cita-cita untuk mengantarkan Megawati menjadi orang nomor satu di Indonesia semakin membara setamat pesantren.
*  *  *

Terakhir kali kita kita berjumpa, tepatnya 20 Mei 1998. Kita ikut barisan reformasi supaya negara ada perubahan. Bahkan tidak disangka-sangka dengan empat teman kita berjumpa pula. Tentu saja, mereka berada dibarisan kelompok hijau dan kamu mengaku aktif dipemuda Banteng. Sedangkan aku sendiri bergabung dengan kelompok yang berbau komunis. Walaupun demikian tujuan kita satu, yaitu ingin menurunkan Soeharto. Ya, Soeharto harus lengser ke prabon.
Setelah itu, kamu seolah-olah lenyap dari peredaran dunia. Sampai akhirnya kita bertemu di mailing list marxisme@yahoogroup.com. Meskipun itu Cuma satu kali kamu menge-mailku, aku berkali-kali menghubungmu. Tapi tak pernah ada jawaban.

*  *  *

Prabu…!
Betapa terpukulnya, aku saat membaca berita di internet dan menyaksikan di TV tentang pengangkatan Megawati menjadi presiden. Kamu tahu, dulu kita begitu semangat mengajak anak muda supaya mendukung mbak Mega. Siang malam kita bergerak. Artinya, sekecil apapun aku punya andil dalam proses mbak Mega jadi Presiden.
 Mengapa demikian? Enam bulan aku melakukan riset di Mesir tentang Pelaksanaan demokrasi di Timur Tengah. Aku banyak bertemu dengan orang-orang yang dikenal sebagai kelompok Islam kiri. Sekaligus, menjumpai kelompok fundamentalis. Kelompok terakhir inilah, yang sedang aku perjuangkan. Dan paradigma yang aku bangun sekarang tidak membolehkan wanita menjadi pemimpin negara. Ini tidak akan menyelesaikan persoalan bangsa. Justru aku khawatir azab Allah akan menimpa bangsa kita. Aku kira kamu tahu, alasan mengapa tidak boleh perempuan menjadi presiden, sebab kita telah mempelajarinya selama jadi santri
Jangan kamu tanya, mengapa aku berubah haluan? Sulit aku jelaskan, sesulit mengapa kita membelot dari pemikiran selama di pesantren? Walaupun, kita telah belajar prinsip Kausalitas yang menyatakan bahwa setiap peristiwa mempunyai sebab. Namun sekali lagi, sebab itu belum aku temukan. Yang jelas itu hidayah dari Allah yang telah menyelamatkan aku dari mempertuhankan otakku sendiri.
.
Prabu…!
Coba renungkan, mbak Mega yang selalu diam, yang konon ini politiknya, tapi menurutku sebenarnya ia telah kehilangan kasih sayang keibuannya. Masih tersisakah kasih sayang itu, bila melihat pertumpahan darah, lihat Ambon, Maluku, Halmahera, Sampit, Aceh, dan dibelahan pertiwi yang lainnya, ia hanya diam? Atau KKN, kelicikan, kecurangan, kedzoliman, penindasan rakyat kecil, dan kemiskinan ada didepan matanya ia hanya diam.

Prabu…!
Kembalilah, mari kita bergabung untuk merealisasikan cita-cita teman kita. Berjuang agar syari’at Islam bisa diberlakukan di Indonesia. Kita jangan terkecoh dengan kata-kata demokrasi, hak asasi manusia, kebabasan, dan segala tetek bengek yang menghalangi hukum Allah dibumikan.  Mereka bukan musuh kita. Tetap saudara kita. Sekali lagi, kembalilah Prabu ke pangkuan Islam. Kita tegakkan izzul islam wal muslimin.


(kutipan Udo Wardah Hafidzah )

Tidak ada komentar:

Posting Komentar