Email Buat Prabu
Cairo berubah menjadi kuali yang memanggang diriku. Pori-poriku menjadi mata air keringat. Musim panas cukup menyiksaku. Lebih gerah lagi, setelah aku pulang dari Warnet. Ternyata Jakarta lebih panas dari Cairo. Betapa tidak, detik ini Jakarta tidak panas hanya akibat pantulan kaca dari gedung pencakar langit saja. Tapi lebih dari itu, rakyat merasa panas gara-gara Gusdur ngeluar dekrit untuk membekukan DPR/MPR RI. Dan tak berapa lama, justru lembaga tinggi negara ini mengambil sumpah Megawati mengganti Gusdur. Tentu saja pendukung dari keduanya akan menggolakkan suasana. Ah, aku benar-benar panas luar dalam. Hatiku takut terbakar.
Aku memandang buku-buku dikamarku. Kepalaku masih puyeng.
Tiba-tiba aku teringat serawut wajah yang tak asing lagi bagiku. Muka asli
orang Jawa. Siapa lagi kalau bukan kamu. Spontanitas aku menghadap komputer
ingin curhat samamu.
Prabu….!
Masih ingat enggak? Lima tahun yang lalu. Ketika kita
berdua sekamar dengan Alex, Teuku, Deden, dan Andi di sebuah Pesantren cukup
terkenal di Jawa Timur. Kita ngobrol kedarat dan kelaut. Sampai suatu malam
kita berdiskusi dengan serius tentang cita-cita kita.
Alex, teman kita asal Timor Timur. Dengan antusias ia
berkoar: “Aku mau jadi apa kek, yang penting aku bisa terkenal!”
“Huuuu…….!” Kita koor bersama. Aku lihat kamu
tersenyum. Entah untuk apa senyuman itu. Bisa jadi, karena merasa lucu betapa
naifnya cita-cita teman kita itu. Hanya ingin mengejar popularitas. Kita tidak
mengomentarinya. Tetap berhusnudzon, mudah-mudahan dalam kebaikan.
Tahu enggak? Itu jadi kenyataan. Alex benar-benar
terkenal zaman Bj. Habibi. Ia mempelopori Mahasiswa asal Timor Timur demontrasi
menuntut supaya Saxana di bebaskan dan Timor Timur Merdeka.
Lantas, putra daerah Serambi Mekah, Teuku, tak mau kalah.
“Kalau aku, ingin syariat Islam diterapkan secepatnya di Aceh, aku ambil bagian
dalam perjuangan ini!”Katanya kepada kita. Tanpa dikomando kita secara
bersama kita berteriak: “Jangan Aceh aja dong!”
“Jelas dong, aku memulai dari daerahku dulu, sedangkan
kalian dari daerah masing-masing!” tukas Teuku. Kembali kita saling
memandang dan menganggukkan kepala. Aku tidak tahu, Apakah Teuku masih hidup
atau udah syahid. Setiap ada berita tentang
korban Aceh, aku selalu mencari namannya. Cuma tidak pernah aku temukan.
Selanjutnya, giliran Deden mengemukakan cita-citanya: “Aku
pengen jadi politikus ulung sekaligus guru bangsa dalam berdemokrasi!” Kita
semua berdecak kagum dan bertepuk tangan . Kamar menjadi bak pasar. Mendapat
sambutan seperti ini, aku lihat ciri khas Sundanya memudar, ia tidak pemalu
lagi, justru membusungkan dada dengan pedenya.
Lain lagi dengan Andi, anak Sulawesi, ia bilang: “Aku
ingin mendirikan pesantren modern! Lagi-lagi, kita dibuat angkat topi.
Walaupun kita banyak tidurnya, ternyata punya idealis.
Terakhir aku dan kamu. Kita tidak tahu mengapa cita-cita
kita sama. Mungkin karena kita begitu kagum dengan bapak proklamator kita,
Soekarno. Apa cita-cita kita berdua? Ingatkan, Mengantar Megawati menjadi presiden.
Jelas saja, teman-teman kita sangat kaget dan kitapun mendapat debatan sengit.
Untung Deden menjadi penengah: “Hargai dong,
pendapat orang, mari kita mulai belajar berdemokrasi!” Suanapun
menjadi reda.
* * *
Prabu
yang baik…!
Akhirnya,
kita sepakat membentuk kelompok diskusi. Setiap ba’da sholat Isya’ kita stand
by di kamar sebagai base camp aktivitas kita. Training kita sederhana aja,
namun hasilnya sangat berpengaruh dalam diri kita. Modal kita hanya guntingan
tulisan dari koran. Tahap pertama kita belajar mengungkapkan hasil baca kita.
Setelah itu kita memasuki tahap bagaimana menganalisa tulisan. Dan tahap
ketiga, kita memperdebatkannya. Kelompok pro dan kontra. Masing-masing berupaya
membela kelompoknya. Karena kegiatan ini kita lakukan selama setahun, tentu
saja kita terbisa berpikir dan berdebat.
Sampai
suatu hari kita berkenalan dengan seorang Mahasiswa jurusan filsafat UGM siap
membimbing kita. Disinilah kita mulai berintraksi dengan pemikiran diluar
Islam. Kita banyak mengkaji pemikiran Hegel, Marx, Lenin, Stalin, Engels,
Mao Tse Tung dan tokoh-tokoh Sosialis, Kapitalis, serta Komunis
yang lainnya. Berhari-hari kita melatih teori dialektika atau sering kita sebut
jurus tiga serangkai, yaitu tesis, antitesis, dan sintesis.
Secara tidar sadar kita telah membentuk pola berpikir yang jauh berbeda dengan
yang kita pelajari di pondok pesantren.
Wajar
saja, ketika pihak pesantren tahu, kita langsung disidang supaya meninggalkan
pemikiran kita. Kelompok kita terpecah, kita berdua secara under ground
tetap melanjutkan kajian itu. Sedangkan teman kita bertobat. Dari sinilah kita
menjadi bermusuhan dengan mereka. Cita-cita untuk mengantarkan Megawati menjadi
orang nomor satu di Indonesia semakin membara setamat pesantren.
* * *
Terakhir
kali kita kita berjumpa, tepatnya 20 Mei 1998. Kita ikut barisan reformasi
supaya negara ada perubahan. Bahkan tidak disangka-sangka dengan empat teman
kita berjumpa pula. Tentu saja, mereka berada dibarisan kelompok hijau dan kamu
mengaku aktif dipemuda Banteng. Sedangkan aku sendiri bergabung dengan kelompok
yang berbau komunis. Walaupun demikian tujuan kita satu, yaitu ingin menurunkan
Soeharto. Ya, Soeharto harus lengser ke prabon.
Setelah
itu, kamu seolah-olah lenyap dari peredaran dunia. Sampai akhirnya kita bertemu
di mailing list marxisme@yahoogroup.com.
Meskipun itu Cuma satu kali kamu menge-mailku, aku berkali-kali menghubungmu.
Tapi tak pernah ada jawaban.
* * *
Prabu…!
Betapa
terpukulnya, aku saat membaca berita di internet dan menyaksikan di TV tentang
pengangkatan Megawati menjadi presiden. Kamu tahu, dulu kita begitu semangat
mengajak anak muda supaya mendukung mbak Mega. Siang malam kita bergerak.
Artinya, sekecil apapun aku punya andil dalam proses mbak Mega jadi Presiden.
Mengapa demikian? Enam bulan aku melakukan
riset di Mesir tentang Pelaksanaan demokrasi di Timur Tengah. Aku banyak
bertemu dengan orang-orang yang dikenal sebagai kelompok Islam kiri. Sekaligus,
menjumpai kelompok fundamentalis. Kelompok terakhir inilah, yang sedang aku
perjuangkan. Dan paradigma yang aku bangun sekarang tidak membolehkan wanita
menjadi pemimpin negara. Ini tidak akan menyelesaikan persoalan bangsa. Justru
aku khawatir azab Allah akan menimpa bangsa kita. Aku kira kamu tahu, alasan
mengapa tidak boleh perempuan menjadi presiden, sebab kita telah mempelajarinya
selama jadi santri
Jangan
kamu tanya, mengapa aku berubah haluan? Sulit aku jelaskan, sesulit mengapa
kita membelot dari pemikiran selama di pesantren? Walaupun, kita telah belajar prinsip
Kausalitas yang menyatakan bahwa setiap peristiwa mempunyai sebab. Namun
sekali lagi, sebab itu belum aku temukan. Yang jelas itu hidayah dari Allah
yang telah menyelamatkan aku dari mempertuhankan otakku sendiri.
.
Prabu…!
Coba
renungkan, mbak Mega yang selalu diam, yang konon ini politiknya, tapi
menurutku sebenarnya ia telah kehilangan kasih sayang keibuannya. Masih
tersisakah kasih sayang itu, bila melihat pertumpahan darah, lihat Ambon,
Maluku, Halmahera, Sampit, Aceh, dan dibelahan pertiwi yang lainnya, ia hanya
diam? Atau KKN, kelicikan, kecurangan, kedzoliman, penindasan rakyat kecil, dan
kemiskinan ada didepan matanya ia hanya diam.
Prabu…!
Kembalilah,
mari kita bergabung untuk merealisasikan cita-cita teman kita. Berjuang agar
syari’at Islam bisa diberlakukan di Indonesia. Kita jangan terkecoh dengan
kata-kata demokrasi, hak asasi manusia, kebabasan, dan segala tetek bengek yang
menghalangi hukum Allah dibumikan.
Mereka bukan musuh kita. Tetap saudara kita. Sekali lagi, kembalilah
Prabu ke pangkuan Islam. Kita tegakkan izzul islam wal muslimin.
(kutipan Udo Wardah Hafidzah )
Tidak ada komentar:
Posting Komentar