Kamis, 23 Agustus 2012

LALAT

Lalat

            Plaaak….! Bunyi kedua telapak tangan Amir beradu. Berlahan-lahan ia merengggangnya. Terlihat makhluk kecil yang sudah bonyok. Ia tersenyum penuh kepuasan. Padahal waktu di Indonesia Ia begitu sayang dengan hewan, termasuk dengan lalat. Ia melempar hewan itu sambil berkata:
“Belum tahu dia, jangan coba-coba mengusik ketenanganku, tahu rasa lu!”
            “Heei Coi, lu ape udeh gile ye, ngomong sendirian!” Tanya Bobby temannya asli Betawi. Ia sedang asik main “game” di komputer.
            “Biasa, hunter lagi mengutuk buronannya!”
            “Apa coi?”
            “Biasa, Lalat Mesir!” Jawab Amir sekenanya dan kemudian meneruskan bacaannya. Memang Mesir, tak seindah yang ia bayangkan ketika masih di Indonesia. Dulu, sebelum ia menghirup udara negeri seribu menara ini, dalam benaknya tergambar sebuah negeri surgawi di pinggiran sungai terpanjang di dunia. Terlukis dalam otaknya kota Cairo yang berdiri dengan megah menghadap  sungai Nil. Terdengar gemerincik air membawa lagu syahdu alam dunia. Dan waktu malam kerlap-kerlip lampu di usap angin sahara.
            Tapi… ia menemukan wajah Mesir terlihat begitu muram. Lain dari yang ia sangka. Terkesan tua dan kumuh. Di sana sini penuh dengan sampah dan berdebu. Dinding-dinding di pinggir jalan kotor penuh dengan lumut. Konon itu dikarnakan sering di siram dengan air najis manusia. Dan yang lebih menyebalkan lagi, Mesir seperti menjadi sarang lalat. Sehingga salah satu profesi yang ia lakukan setiap hari adalah mengusir dan membunuh Lalat.
            Plaak…, plaak…., plaak…!” Amir kembali menekuni pekerjaannya, berburu Lalat.

*  *  *
            “Kak,  bilang sama pilot jangan ngebut ya, ntar sulit ngerem lagi!”
            “Dek, kalau udah di Mesir, hati-hati lho dipelet sama cewek sana!”
Amir tersenyum mendengar kelakar dari adik dan kakaknya. Mereka ada-ada saja. Suka ngocol kayak Gusdur aja. Beberapa detik kemudian Ayahnya datang memberi tahukan untuk bersiap-siap menuju Boarding pass. Obrolan dan kelakaran dengan adik dan kakaknya itu terhenti. Suasana di Airport berubah menjadi sendu. Pesawat yang akan membawanya kenegeri Kinanah lima belas menit lagi akan take off.  Ia bersama teman-temannya yang akan melanjutkan al-Azhar Cairo mulai berkemas-kemas. Sebelum meninggalkan anggota keluarga yang mengantarkan kepergiannya, Ia pamitan dulu. Melihat sepasang mata ibu mulai berair, tak urung ia pun ikut terharu. Begitu juga yang terjadi di wajah bapaknya, adiknya, kakaknya, dan saudara yang lainnya. Semuanya menggambarkan betapa beratnya mereka berpisah. Kakinya terasa begitu berat untuk melangkah. Satu persatu mereka ia peluk. Dan pada giliran ibunya, ia benar-benar menangis. Ibu mencium keningnya sambil membisikkan di telinganya: “Nak, jaga dirimu disana baik-baik, ingat bahwa kamu bukan hanya milik ibu, tapi kamu dalam proses menjadi milik ummat, kamu harus membangun izzul islam wal muslimin!”
            Amir hanya bisa menganggukkan kepala. Dalam otaknya mencatat kalimat itu. “Bu, ananda berjanji ingin mengingat nasehatmu ini!” Jawabnya. Tapi sayang, jawaban ini tidak mampu ia katakan. Sebatas dalam lubuk hatinya. Sebab ia menggigit bibir bawah  menahan tangisan. Ia baru tersadar saat Ayahnya menarik tangan Amir. Mereka berdua pun berpelukkan. Ayahnya terlihat begitu tegar menahan gejolak hatinya. Bahkan ia sempat tersenyum, meskipun itu ia lakukan hanya memaksa diri untuk menghibur Amir.
            “Nak, Ibu dan Ayah sudah merelakan kepergianmu untuk menuntut ilmu, ayah berpesan supaya kamu hidup seperti kumbang, jangan seperti lalat?”
            “Maksudnya yah?”
            “Kamu tahu kan, tabiat kumbang, meskipun ditempat yang kotor, ia tetap mendatangi bunga untuk menghisap madu. Sebaliknya lalat, walaupun ia di taman, ia tetap akan mencari tempat yang kotor!” Kata Ayahnya menjelaskan makna nasehat itu. Amir berusaha memahami apa yang Beliau terangkan. Mata mereka beradu, ayah Amir menangkap rasa belum puas dalam hatinya. Kemudian beliau melanjutkan:
            “Begini nak, sepengetahui ayah, keadaan Mesir tidak jauh berbeda dengan kondisi di sini,  kalau di sini ada tempat hiburan, bioskop, billyard, dan sejenisnya, begitu juga di sana. Maka jauh semua tempat maksiat itu. Sebaliknya, seringlah datang ke masjid-masjid yang ada halaqoh ilmunya, biasakan mengunjung perpustakaan dan toko buku, bergabunglah dengan kelompok kajian keislaman yang ada disana!”
            “Pesan ayah, insya Allah, akan Ananda laksanakan!” Amir mengikrarkan janji kepada ayahnya. Beliau tersenyum dan tangannya mengusap punggung.
            “Udah, itu teman-tamanmu sudah menunggu, jangan lupa baca do’a ketika di pesawat nanti!” ujar ayah Amir sambil menunjuk ke arah teman-temannya. Ia mulai melangkah mendorong trolling yang berisi koper dan barang-barangnya. Ia menengok ke belakang. Amir membalas lambaian tangan dari orang-orang yang ia cintai.
            “Plaak….!” Suara telapak tangan mendarat dipunggung Amir. Ia tersentak dari lamunannya. Ternyata barusan Amir sedang hanyut dalam lautan masa lalunya ketika berpisah dengan keluarga di bandara Soekarno-Hatta. Amir terkejut. Ia memutarkan kepala mencari orang yang memukulnya barusan.
            “Ah, dikau… ngangetin orang aja!”
            “Malisy, usta’. Bukan bermaksud memutuskan lamunan awak, tapi aku lagi berburu lalat dan kebetulan ia hinggap di punggungmu!” Kelakar Zaki; temannya serumah asal Malaysia. Temannya ini memang berbeda dengan orang Malaysia yang kebanyakan pemalu, ia suka bercanda kepada Amir.
            “Waah, sejak kapan awak daftar jadi hunter lalat?”
            “Sejak aku tinggal sama kamu!”
            “Ha…ha…ha…!”Mereka berdua koor tertawa. Tak lama kemudian ia ikut aksi didepan temannya itu. Cuma, tidak pakai sumpit kayak sholin dalam film kungfu.
            “Plaak…plaak…plak…!”

*  *  *
            Pada musim panas, waktu malam lebih pendek di bandingkan dengan siang. Hal ini menjadikan kebanyakan orang Mesir bergadang. Mereka habiskan malam di tempat Syai sambil nyisya. Atau nonton televisi yang banyak menayangkan film-film Barat. Apalagi kalau ada siaran langsung main bola, sudah di pastikan mereka menonton. Soalnya mereka masyarakat bola mania. Sampai-sampai main bola tidak mengenal waktu dan tempat. Hampir  tiap malam, remajanya main bola di jalan dari tengah malam sampai adzan shubuh mengumandang. Hidup seperti kalong. Ba’da shubuh baru tidur. Bangun-bangun menjelang dzuhur. Amir pun terbawa suana cultur ini. Malamnya ia banyak pergunakan untuk menela’ah kitab.
            “Amir, bangun dong, udah siang!” telingan Amir menangkap suara. Matanya terbuka dan terlihat temannya; Ramlan berdiri di depan ranjang. Ia menggeliat.  Ia lihat Ramlan mendekati jendela. Tak berapa lama matanya silau di timpa sinar matahari. Di balik selimut Ia berkata:
            “Jangan di buka dong!”
            “Emangnya kenapa sih mir?”
            “Lalat banyak masuk!”
            “Ah, gitu aja repot, makanya bangun, mau ikut enggak?”
            “Kemana?”
            “Ke Tiba mall, biasa!”
            “Enggak mau ah!” Jawab Amir singkat. Ia tahu maksud temannya itu. Ia mengajaknya nonton Bioskop nonton Film di Tiba Mall atau sekedar cuci mata. Sekian kali ia mengajaknya. Sekian kali pula Amir menolaknya sekaligus menasehatinya. Tapi, hidayah belum berjodoh kepadanya. Ia belum juga berubah.
            “Mir, kenapa sih, setiap aku ajak, kamu selalu nolak, sekali-kali mau dong. Itung-itung cari pengalaman kek. Mumpung masih muda. Bahkan, bisa jadi bahan da’wah lho!” Ramlan merayunya. Selama ini, selain memang Amir tidak setuju, ia sibuk dengan aktivitasnya, baik di organisasi maupun mengahadiri Halaqoh. Temannya ini, mungkin menyangka alasan sibuk hanya di buat-buat untuk menghindari ajakan Amir.
            “Mir, kita tidak usah berlagak suci, jalani hidup ini apa adanya!”
            “Ramlan, ente mau menilai berlagak suci itu terserah, yang jelas aku tidak mau?” Jawab Amir agak emosi. Cuma, ia berusaha meredamnya. Ia paham temannya ini, bila ngomong tidak pernah di saring. Tidak mau tahu terhadap perasaan lawan bicaranya. Mungkin pribadi seperti ini yang di maksud oleh Ayahnya dulu. Tak ubahnya seperti Lalat; kehadirannya tak pernah di harapkan dan bila datang orang tidak pernah merasa tenang.
            “Iyya deh, tapi setidaknya kasih tahu dong alasan yang logis!”
            “Aku selalu ingat pesan kedua orang tuaku!”
            “Tentang apa Mir?”
            “Tentang lalat?”
            “Apa???” Tentang lalat,apa kagak salah nih!” Tanya Ramlan agak penasaran. Ia garuk-garuk kepala sepertti monyet kegatalan. Kemudian lanjutnya: “Emangnye babeh ama nyokap lu pesan sate lalat Mesir kali!”
            “Ah, dikau ngejoki aja!” tukas Amir. Sambil melipat selimut ia mulai menceritakan kejadian saat di bandara Soekarno-Hatta. Ramlan hanya diam, entah ia memang merenungi cerita temannya atau justru sebaliknya, acuh tak acuh. Di sela-sela cerita itu, sesekali tangan Amir mengeluarkan jurus membunuh lalat.
            “Plak…plak…plak…!”

*  *  *

            Selama dalam perjalanan menuju Mall,  jiwa Ramlan tidak menentu tenggelam dalam pusaran perasaannya. Cerita Amir masih terngiang di telinganya dan mencambuk sanubarinya. Dalam hati Ramlan bertanya: “Orang tuaku juga menasehatiku, tapi mengapa aku mengkhianatinya?” Mungkinkah aku berkepribadian lalat itu? . Banyak pertanyaan yang ia tanyakan kepada nuraninya. Pikirannya terus berjalan seiring dengan bus yang membawanya.  Terus mencari jawaban.

*  *  *
(kutipan Udo Wardah Hafidzah )

Tidak ada komentar:

Posting Komentar