Plaaak….! Bunyi kedua telapak
tangan Amir beradu. Berlahan-lahan ia merengggangnya. Terlihat makhluk kecil
yang sudah bonyok. Ia tersenyum penuh kepuasan. Padahal waktu di Indonesia Ia
begitu sayang dengan hewan, termasuk dengan lalat. Ia melempar hewan itu sambil
berkata:
“Belum tahu dia, jangan coba-coba mengusik
ketenanganku, tahu rasa lu!”
“Heei Coi, lu ape udeh
gile ye, ngomong sendirian!” Tanya
Bobby temannya asli Betawi. Ia sedang asik main “game” di komputer.
“Biasa, hunter lagi mengutuk
buronannya!”
“Apa coi?”
“Biasa, Lalat Mesir!” Jawab Amir sekenanya dan kemudian meneruskan bacaannya.
Memang Mesir, tak seindah yang ia bayangkan ketika masih di Indonesia .
Dulu, sebelum ia menghirup udara negeri seribu menara ini, dalam benaknya
tergambar sebuah negeri surgawi di pinggiran sungai terpanjang di dunia.
Terlukis dalam otaknya kota Cairo yang berdiri dengan megah
menghadap sungai Nil. Terdengar
gemerincik air membawa lagu syahdu alam dunia. Dan waktu malam kerlap-kerlip
lampu di usap angin sahara.
Tapi… ia menemukan wajah Mesir
terlihat begitu muram. Lain dari yang ia sangka. Terkesan tua dan kumuh. Di sana sini penuh dengan
sampah dan berdebu. Dinding-dinding di pinggir jalan kotor penuh dengan lumut.
Konon itu dikarnakan sering di siram dengan air najis manusia. Dan yang lebih
menyebalkan lagi, Mesir seperti menjadi sarang lalat. Sehingga salah satu
profesi yang ia lakukan setiap hari adalah mengusir dan membunuh Lalat.
“Plaak…, plaak…., plaak…!” Amir
kembali menekuni pekerjaannya, berburu Lalat.
* * *
“Kak, bilang sama pilot jangan ngebut ya, ntar
sulit ngerem lagi!”
“Dek, kalau udah di
Mesir, hati-hati lho dipelet sama cewek sana !”
Amir tersenyum mendengar kelakar dari adik dan
kakaknya. Mereka ada-ada saja. Suka ngocol kayak Gusdur aja. Beberapa
detik kemudian Ayahnya datang memberi tahukan untuk bersiap-siap menuju
Boarding pass. Obrolan dan kelakaran dengan adik dan kakaknya itu terhenti.
Suasana di Airport berubah menjadi sendu. Pesawat yang akan membawanya
kenegeri Kinanah lima
belas menit lagi akan take off.
Ia bersama teman-temannya yang akan melanjutkan al-Azhar Cairo mulai
berkemas-kemas. Sebelum meninggalkan anggota keluarga yang mengantarkan
kepergiannya, Ia pamitan dulu. Melihat sepasang mata ibu mulai berair, tak
urung ia pun ikut terharu. Begitu juga yang terjadi di wajah bapaknya, adiknya,
kakaknya, dan saudara yang lainnya. Semuanya menggambarkan betapa beratnya
mereka berpisah. Kakinya terasa begitu berat untuk melangkah. Satu persatu mereka
ia peluk. Dan pada giliran ibunya, ia benar-benar menangis. Ibu mencium
keningnya sambil membisikkan di telinganya: “Nak, jaga dirimu disana
baik-baik, ingat bahwa kamu bukan hanya milik ibu, tapi kamu dalam proses
menjadi milik ummat, kamu harus membangun izzul islam wal muslimin!”
Amir hanya bisa menganggukkan kepala. Dalam otaknya
mencatat kalimat itu. “Bu, ananda berjanji ingin mengingat nasehatmu ini!”
Jawabnya. Tapi sayang, jawaban ini tidak mampu ia katakan. Sebatas dalam lubuk
hatinya. Sebab ia menggigit bibir bawah
menahan tangisan. Ia baru tersadar saat Ayahnya menarik tangan Amir.
Mereka berdua pun berpelukkan. Ayahnya terlihat begitu tegar menahan gejolak
hatinya. Bahkan ia sempat tersenyum, meskipun itu ia lakukan hanya memaksa diri
untuk menghibur Amir.
“Nak, Ibu dan Ayah sudah
merelakan kepergianmu untuk menuntut ilmu, ayah berpesan supaya kamu hidup
seperti kumbang, jangan seperti lalat?”
“Maksudnya yah?”
“Kamu tahu kan, tabiat
kumbang, meskipun ditempat yang kotor, ia tetap mendatangi bunga untuk
menghisap madu. Sebaliknya lalat, walaupun ia di taman, ia tetap akan mencari
tempat yang kotor!” Kata Ayahnya
menjelaskan makna nasehat itu. Amir berusaha memahami apa yang Beliau
terangkan. Mata mereka beradu, ayah Amir menangkap rasa belum puas dalam
hatinya. Kemudian beliau melanjutkan:
“Begini nak, sepengetahui ayah,
keadaan Mesir tidak jauh berbeda dengan kondisi di sini, kalau di sini ada tempat hiburan, bioskop,
billyard, dan sejenisnya, begitu juga di sana. Maka jauh semua tempat maksiat
itu. Sebaliknya, seringlah datang ke masjid-masjid yang ada halaqoh ilmunya,
biasakan mengunjung perpustakaan dan toko buku, bergabunglah dengan kelompok
kajian keislaman yang ada disana!”
“Pesan ayah, insya
Allah, akan Ananda laksanakan!” Amir
mengikrarkan janji kepada ayahnya. Beliau tersenyum dan tangannya mengusap
punggung.
“Udah, itu teman-tamanmu sudah
menunggu, jangan lupa baca do’a ketika di pesawat nanti!” ujar ayah Amir
sambil menunjuk ke arah teman-temannya. Ia mulai melangkah mendorong trolling
yang berisi koper dan barang-barangnya. Ia menengok ke belakang. Amir membalas
lambaian tangan dari orang-orang yang ia cintai.
“Plaak….!”
Suara telapak tangan mendarat dipunggung Amir. Ia tersentak dari
lamunannya. Ternyata barusan Amir sedang hanyut dalam lautan masa lalunya
ketika berpisah dengan keluarga di bandara Soekarno-Hatta. Amir terkejut. Ia
memutarkan kepala mencari orang yang memukulnya barusan.
“Ah, dikau… ngangetin orang aja!”
“Malisy, usta’. Bukan
bermaksud memutuskan lamunan awak, tapi aku lagi berburu lalat dan kebetulan ia
hinggap di punggungmu!” Kelakar Zaki;
temannya serumah asal Malaysia .
Temannya ini memang berbeda dengan orang Malaysia yang kebanyakan pemalu,
ia suka bercanda kepada Amir.
“Waah, sejak kapan
awak daftar jadi hunter lalat?”
“Sejak aku tinggal
sama kamu!”
“Ha…ha…ha…!”Mereka berdua koor tertawa. Tak lama kemudian ia ikut
aksi didepan temannya itu. Cuma, tidak pakai sumpit kayak sholin dalam
film kungfu.
“Plaak…plaak…plak…!”
* * *
Pada musim panas, waktu malam lebih pendek di
bandingkan dengan siang. Hal ini menjadikan kebanyakan orang Mesir bergadang.
Mereka habiskan malam di tempat Syai sambil nyisya. Atau nonton
televisi yang banyak menayangkan film-film Barat. Apalagi kalau ada siaran
langsung main bola, sudah di pastikan mereka menonton. Soalnya mereka
masyarakat bola mania. Sampai-sampai main bola tidak mengenal waktu dan tempat.
Hampir tiap malam, remajanya main bola
di jalan dari tengah malam sampai adzan shubuh mengumandang. Hidup seperti
kalong. Ba’da shubuh baru tidur. Bangun-bangun menjelang dzuhur. Amir pun
terbawa suana cultur ini. Malamnya ia banyak pergunakan untuk menela’ah kitab.
“Amir, bangun dong, udah siang!”
telingan Amir menangkap suara. Matanya terbuka dan terlihat temannya; Ramlan berdiri
di depan ranjang. Ia menggeliat. Ia
lihat Ramlan mendekati jendela. Tak berapa lama matanya silau di timpa sinar
matahari. Di balik selimut Ia berkata:
“Jangan di buka dong!”
“Emangnya kenapa sih
mir?”
“Lalat banyak masuk!”
“Ah, gitu aja repot,
makanya bangun, mau ikut enggak?”
“Kemana?”
“Ke Tiba mall, biasa!”
“Enggak mau ah!” Jawab Amir singkat. Ia tahu maksud temannya
itu. Ia mengajaknya nonton Bioskop nonton Film di Tiba Mall atau sekedar cuci
mata. Sekian kali ia mengajaknya. Sekian kali pula Amir menolaknya sekaligus
menasehatinya. Tapi, hidayah belum berjodoh kepadanya. Ia belum juga berubah.
“Mir, kenapa sih, setiap aku
ajak, kamu selalu nolak, sekali-kali mau dong. Itung-itung cari pengalaman kek.
Mumpung masih muda. Bahkan, bisa jadi bahan da’wah lho!” Ramlan merayunya.
Selama ini, selain memang Amir tidak setuju, ia sibuk dengan aktivitasnya, baik
di organisasi maupun mengahadiri Halaqoh. Temannya ini, mungkin menyangka
alasan sibuk hanya di buat-buat untuk menghindari ajakan Amir.
“Mir, kita tidak usah berlagak
suci, jalani hidup ini apa adanya!”
“Ramlan, ente mau
menilai berlagak suci itu terserah, yang jelas aku tidak mau?” Jawab Amir agak emosi. Cuma, ia berusaha meredamnya.
Ia paham temannya ini, bila ngomong tidak pernah di saring. Tidak mau tahu
terhadap perasaan lawan bicaranya. Mungkin pribadi seperti ini yang di maksud
oleh Ayahnya dulu. Tak ubahnya seperti Lalat; kehadirannya tak pernah di
harapkan dan bila datang orang tidak pernah merasa tenang.
“Iyya deh, tapi setidaknya kasih
tahu dong alasan yang logis!”
“Aku selalu ingat
pesan kedua orang tuaku!”
“Tentang apa Mir?”
“Tentang lalat?”
“Apa???” Tentang
lalat,apa kagak salah nih!” Tanya
Ramlan agak penasaran. Ia garuk-garuk kepala sepertti monyet kegatalan.
Kemudian lanjutnya: “Emangnye babeh ama nyokap lu pesan sate lalat Mesir
kali!”
“Ah, dikau ngejoki
aja!” tukas Amir. Sambil melipat
selimut ia mulai menceritakan kejadian saat di bandara Soekarno-Hatta. Ramlan
hanya diam, entah ia memang merenungi cerita temannya atau justru sebaliknya,
acuh tak acuh. Di sela-sela cerita itu, sesekali tangan Amir mengeluarkan jurus
membunuh lalat.
“Plak…plak…plak…!”
* * *
Selama
dalam perjalanan menuju Mall, jiwa
Ramlan tidak menentu tenggelam dalam pusaran perasaannya. Cerita Amir masih
terngiang di telinganya dan mencambuk sanubarinya. Dalam hati Ramlan bertanya: “Orang
tuaku juga menasehatiku, tapi mengapa aku mengkhianatinya?” Mungkinkah aku
berkepribadian lalat itu? . Banyak pertanyaan yang ia tanyakan kepada
nuraninya. Pikirannya terus berjalan seiring dengan bus yang membawanya. Terus mencari jawaban.
* * *
(kutipan
Udo Wardah
Hafidzah
)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar