Kamis, 23 Agustus 2012

JANGAN BOHONGI AKU

AWAL bulan Juli bertandang. Musim panas berduyun-duyun berkunjung ke jantung ibu dunia. Negeri para rasul alias, Mesir. Langit merasa gerah dan bertelanjang dada. Terlihat kulit mulusnya yang berwarna biru dengan jelas. Sebab tak sehelai awan menutupinya. Hawa panas sang mentari, begitu lancang menyelinap masuk kedalam kamarku. Pori-pori kulitku yang baru saja istirahat dari kubawa ujian termin kedua, kembali menangis tak kuat menahan sengatan. Peluh membanjiri badanku.
            Bersamaan dengan itu, dadaku bergemuruh. Jantung mendidih diatas tungku perasaanku. Dunia terasa begitu sempit bagiku, aku marah, kecewa, takut, malu, kesel dan masih banyak lagi warna perasaan dalam hatiku. Semuanya lebur menjadi satu. Bias. Darah amarah mengalir ketanganku. Tiba-tiba aku meraih bantal yang dekat dengan tempat duduk diatas kasur biru dan dengan sekuat tenaga kulempar ke dinding putih yang ada dihadapanku.
            “Braaaaaks…..dersh…… prangggggg!”
            Terdengar suara benda jatuh. Ternyata tak sengaja figura fhoto mantan Presiden Abdurrahaman Wahid menjadi sasaran lemparanku tadi. Kaca dan bingkainya hancur berantakan. Mataku menerawang kedepan. Kulihat fhoto Presiden baruku; Megawati masih bertengger didinding. Ia tersenyum sinis, aku tidak tahu, ia tersenyum untuk siapa. Mungkin ia merasa geli dengan tingkah polahku barusan atau merasa puas melihat Gus Dur jatuh terkapar tertindih pecahan figuranya yang berantakan. Ah…., peduli amat. Aku kembali mengacak-acak kamarku, sehingga semuanya berubah menjadi seperti kapal Titanic yang pecah.
            “Hei…., ada apaan sich? Pakai acara ngambek segala, lagi demonstrasi yach?” Sebuah suara bariton mengejutkanku. Aku langsung menoleh dari mana arah itu datang. Disampingku berdiri seniorku, Mujahid Helmi.
            “ Ah nggak, kagak ada apa-apa!” jawabku dengan ketus. Kemudian aku melanjutkan, “Aku lagi belajar jurus Dewa mabok melempar monyet!”.
            “Ha….ha…ha… kayak  pendekar 212 aja, Wiro Sableng kali, atau Pendekar Sakti di serial Kho ping Ho !” Seniorku itu mentertawakan diriku.Aku gondok juga. Sebel!
            “Bukan, saya pendekar 926 dari gua Piramida!”.
            “Lho kok 926?”
            “Ya, saya kan kalau kuliah sering naik mobil itu!” aku ber-joke ria seenaknya saja. Lorong otakku menjadi buntu, pusing tujuh keliling. Untung tidak tujuh keturunan. Kulihat kedua mata kak Mujahid Helmi seperti sedang membaca diriku. Aku cuek bebek saja. Emang enak di cuekin!
            “ David, sebenarnya apa yang sedang terjadi dengan dirimu?”
            “ Sudah aku bilang, kagak ada apa-apa kok!”
            “ Ah, yang benar aja, seribu kepalsuan yang kamu pakai untuk membungkus gejolak hatimu,  tidak akan mampu membohongi mata batinku. Cukuplah bagiku benda-benda ini sebagai bukti!”. Kata-kata yang terluncur dari mulut kak Helmi, sambil menunjuk ke lantai dimana serpihan kaca, buku jatuh, kursi terbalik, dan bantal tergeletak. Aku tidak menjawab, aku tidak membantah apa yang ia katakan. Diam berarti setuju. Selanjutnya ia berkata lagi:
            “David, Aku ini saudara seimanmu, sudah selayaknya, jika aku menjadi dermaga tempat hatimu berlabuh dikala suka maupun duka!”
            Aku mendongakkan kepala yang tadinya tertunduk menatap karpet merah. Kuarahkan mataku ke wajahnya. Pandangan kami beradu. Disana aku menemukan sinar keikhlasan. Hatiku luluh oleh ketulusannya. Kuhembuskan napasku kencang-kencang, Puih !!! Pokoknya Aku harus curhat. Lalu aku berbicara: “Kak Helmi, tadi saat tes lisan al-Qur’an, aku tidak bisa menjawab apa-apa, kakak tahukan, selama dua tahun aku tidak naik tingkat diantaranya, gara-gara mata kuliah al-Qur’anku rosib, sekarang terjadi kembali!”
            “Ooo……. Itu masalahnya, ngomong doong!” komentarnya. Kami diam, hanyut dalam arus pikiran masing-masing.
            “David, sebenarnya persoalanmu itu kecil, yang terpenting bagaimana kita mencari hikmah dibalik semua itu. Tidak ada untungnya kita bergelimang dalam kesedihan!” Sebait nasihat dipersembahkan kak Mujahid Helmi kepadaku.
Ia mendekatiku dan duduk bersamaku diatas kasur, kedua telapak tengannya meraih kedua telapak tanganku. Hangat. Seperti ada aliran kedamaian merambat kedalam sanubariku. Aku tahu, kasih sayang ia berikan kepadaku adalah asli, bagaikan mata air melimpah terus tanpa mengharapkan ada sesuatu yang kembali kepadanya. Atau ibarat matahari yang menebarkan cahaya tanpa menginginkan sesuatu yang kembali. Cintanya murni karena Allah SWT. Sebuah cinta melebihi apa yang dikatakan oleh Rahul dalam film “Kuch-kuch Hota Hai” bahwa cinta adalah persahabatan. Kak Mujahid juga pernah berkata kepadaku: “David, kebahagian bagiku sejauh mana aku bisa menaburkan manfa’at dan rahmah kepada siapa saja!”
            Hanya dialah, anggota keluarga dirumahku yang mau memahami dan mengerti tentang diriku, ia menganggap diriku seperti adiknya sendiri, ukhwah tidak sebatas konsep, tapi mengalir dalam darah dagingnya, inilah alasanku mau terbuka kepadanya. Sedangkan yang lainnya, sangat egois. Contohnya Dendi, ia menganggap dirinya terlalu sholeh untuk bergaul denganku. Oke deh, secara pribadi ia sholeh, tapi secara sosial masih jauh. Bahkan ia sangat lemah, takut terbawa olehku. Temannya hanya muqoror, diktat kuliah. Jangankan punya responsibility, atau crisis of sence keumatan, kepada dirinya sendiri terkadang tidak ada tanggung jawab. Faktanya, ia jarang mandi karena waktunya tersita untuk menghafal.
Sedangkan Jefry waktunya habis untuk beraktivitas. Ia lagi puber berorganisasi. Ngomongnya selangit, demi demokrasi kek, hak asasi manusia kek, kebebasan kek, politik kek, sampai tokek dia urus. Apalagi saat ini lagi pemilihan ketua umum organisasi yang mengayomi Mahasiswa Indonesia Cairo. Tapi persoalan teman serumah lepas dari perhatiannya.
Beda lagi dengan Tomi, ia si anak hilang. Aku memanggilnya, Si kalong. Sebab ia merubah Sunnatullah. Baginya siang jadi malam dan sebaliknya. Hari-harinya hanya untuk chatting, nonton video, main game, billyard, pocker dan JJS (jalan-jalan Suntuk). Atau sekedar mejeng di Tiba Mall dan Kholid Mall di Rob’ah. Kebiasaannya tidak terlalu jauh berbeda denganku. Terkadang ia jadi patnerku. Cuma yang menyebalkan ia mau dekat, kalau kantongku lagi tebal. Dasar Kuya, dekat kalau perlu. Ya, satu-satunya penghuni rumah, yang masih memperhatikan diriku hanyalah Kak Mujahid Helmi.
            “Kak, aku butuh nasehatmu, aku tidak tahu apa yang harus aku lakukan!” pintaku pada Kak Mujahid Helmi. Ia tersenyum dan tangannya merangkul diriku. Ia mengedipkan mata. Kepadaku selanjutnya ia menjawab: “Nanti malam, kamu harus ikut kakak  ya!”.
            “Kemana?”
            “Rahasia perusahaan doong, pokoknya ikut aja deh!”
Aku menganggukkan kepalaku. Beberapa menit kemudian, terdengar azan Asar mengumandang. Sebelum keluar dari kamarku, kak Mujahid berkata:
            “ Beres dong, tuh fhoto Gus Dur, kalau ia sampai tahu pasti ia akan marah!”
            “Ah tidak mungkin, ia menganut demokrasi begitu aja ko’ repot, kalau ia bisa mengapa aku tidak!” timbalku sambil membenahi kamarku. Dasar Kak Helmi ABG, Anak buah Gusdur kali, sentimen banget sih. Kami pun bersiap-siap untuk ke Mesjid.

***
            Mobil yang aku tumpangi bersama Kak Mujahid Helmi melejit berlari meninggalkan mahattoh Jami’ nasr City Cairo. Dalam hatiku masih bertanya-tanya, kemana aku akan dibawanya. Mungkin ketempat tari perut, ah tidak mungkin! Tidak terasa kami sedang melintasi jembatan sungai Nil. Wah, jangan-jangan, di ajak ke gang “Pacaran” ditengah pulau disungai Nil. Diujung jembatan ini, kak Mujahid Helmi mengajakku turun  dari Bus. Aku mengikuti langkah kakinya.
            “Kak kita mau kemana sih?”. Tanyaku kepadanya tidak sabar. Aku masih penasaran.
            “Ya, kesini!”
            “Ngapain?”
            “Lho, kok nanya, emangnya mau saya suruh bunuh diri dari atas jembatan supaya masalah hilang bersama nyawamu?”.
            “Lantas…?”
            “Katanya pengen nasihat, maka sebelum dikasih, sekarang coba ingat kejadian dua tahun yang lalu disini!” Kak Mujahid memotong pertanyaanku. Aku mengernyitkan dahiku. Aku memanggil memoriku.
***
            Malampun memetik rembulan. Diatas pucuk biru langit. Daun bintang diranting awan bergoyang ditiup angin semiri. Aku terbang bersama hawa dingin sungai Nil tempat Nabi Musa as selagi bayi dihanyutkan, pikiranku menjelajahi angkasa kenangan dua tahun yang lalu. Aku kembali kelorong waktu itu. Aku bersama teman-teman yang baru sampai dari Indonesia ke Mesir, cari angin dijembatan sungai Nil. Kami dipandu kak Mujahid, sebagai senior kami.
            “David, mengapa sich kamu mau kuliah di Universitas al-Azhar?” sepotong pertanyaan dari kak Mujahid Helmi untukku. Dengan semangat 45 aku berkoar:
            “Sebab aku kepengen jadi generasi Nabi Musa as di Indonesia!”
            “Maksudnya gimana?”
            “Indonesia waktu saya tinggalkan, lagi carut marut, reformasi yang didengung-dengungkan Bulshit, hanya sebatas verbalisme saja. Bahkan agenda reformasi seolah-olah di khianati. Penguasa berjiwa fir’aun tidak mau hukum Allah di tegakkan ditengah-tengah mayoritas muslim, konglomerat berubah menjadi Qorun abad modern yang memakai baju kapitalis dan sosialis menghisap kekayaan bumi pertiwi, ditambah para teknokrat bergaya Hamanisme menghadirkan media elektronik yang membunuh generasi muda, maka aku mencelupkan diri di Al-Azhar agar aku menjadi generasi Nabi Musa as untuk memberantas Fir’aunisme, Qorunisme dan Hamanisme!”
            “Cek…cek…cek… hebat….hebat bisa terbang dong… kakak bangga punya adik seperti mu!” kata kak Mujahid.
            Sekonyong-konyong aku tersadar, pada saat sepasang tangan memegang pundakku. Aku mendongak. Ternyata barusan  aku terhanyut dalam alam ingatan kejadian dua tahun yang lalu. “Gimana, udah inget ya?” Kata kak Helmi sambil duduk di besi di sisi jembatan sungai Nil.
            “Oh ya, udah!”
            “Sengaja kakak bawa kamu kesini supaya kamu ingat akan kejadian awalmu yang dulu pernah kamu katakan disini!” kak Helmi menjelaskan maksudnya mengajakku kejembatan sungai Nil. Aku terpojok. Malu terhadap diriku sendiri, keadaanku jauh dari idealisku dulu.  Ekor mataku melibas beberapa perahu yang berlalu lalang di sungai sumber kehidupan orang Mesir. 
            “David, pada hakikatnya, kamu lalai dari tujuanmu, karena kamu ditidak mau mendengar suara nuranimu,suara nurani adalah gema fitrah, sedangkan fitrah cederung ta’at kepada Allah, kamu selalu mendustainya !” ujar kak Helmi. “Maka jawaban dari persoalanmu, ada pada nuranimu sendiri, bertanyalah kepadanya, bukankah Rasulullah saw pernah bilang, mintalah fatwa kepada nuranimu, sekarang kita pulang, merenungnya dirumah saja!”. Kami berdua beranjak meninggalkan tempat itu. Kulihat lampu dibibir sungai Nil melambaikan tangannya kepadaku. Pertanyaan “Mengapa aku sampai melupakan tujuan ke Mesir?” terus bergema seiring dengan langkah kakiku menuju ke rumah.

***
            Malam beranjak larut. Berselimutkan kegelapan. Suasana kamarku beku. Sesekali terdengar mesin mobil yang lewat dijalan raya. Tak ada suara jangkrik. Yang ada hanya, suara detak jam bekkerku. Dan dari kejauhan terdengar lolongan anjing. Sementara itu, teman-temanku serumah terbuai dalam mimpi. Selesai melaksanakan shalat Tahajjud, aku duduk bersimpuh dihadapan Allah, aku ingin mengadili diriku, sebelum diadili diakhirat nanti. Ada secercah cahaya hadir dalam hatiku. Sekian lama aku tidak pernah mendirikan shalat malam, sebab aku bergadang di warnet. Biasa, tenggelam di alam maya, atawa cyberspace. Chatting sama doiku.
            “Mengapa hingga detik ini aku begitu sulit menghafal Al-Quran, bahkan yang sudah hafal, sedikit demi sedikit kabur dari ingatanku?” aku bertanya kepada nuraniku.
            Hati nuraniku menjawab: “ David, penyebabnya adalah akhlakmu belum Qurani, dan kamu lebur dalam kemaksiatan. Sehingga Allah belum percaya kepadamu, ini merupakan peringatan dan kasih sayang Nya!”.
            “Kasih sayang bagaimana?” aku membentak pernyataan hati nuraniku, ia melanjutkan: “Coba bayangkan, apa yang terjadi seandainya, kamu hapal al-Quran, sementara itu akhlakmu jauh darinya?”.
Aku menjadi malu, setelah membayang kan akibat yang aku terima apabila menghafal al-Qur’an hanya mulut saja, setidaknya dosaku berlipat ganda. Dosa melanggar perintah Allah dan dosa melalaikan ilmu Allah SWT.
            “Nurani, Nurani!” kataku. “Engkau memang sahabatku yang paling jujur, hanya saja aku yang keterlaluan, sering mendustaimu, lalu mengapa akhir-akhir ini kamu jarang menasehatiku?”.
            “Lha… jangan salahkan aku, sebab setiap kali kamu melakukan satu dosa, mataku menjadi hitam pekat, akhirnya aku buta untuk membedakan antara kebenaran dan kebatilan!” nuraniku membela diri. Tak berapa lama, nuraniku berbicara lagi: “Tapi sekarang aku bening kembali, karena dibasuh oleh tangisanmu tadi!”
            Aku terhenyak mendengarnya. Nuraniku langsung memeluk jiwaku. Dekapan kasih sayangnya begitu sejuk terasa. Kemudian ia berbisik kepadaku: “David, Jangan bohongi aku lagi yah, mau khan…?”Dengan malu-malu tapi pasti aku menanggapi ajakan itu. “Mau, mau!” jawabku tegas kayak iklan Tara Nasiku ketika Aku di Indonesia dulu. Kembali ia merangkulku. Ku benamkan wajah batinku di punggungnya kami menangis bersama menyesali sepotong kisah kelabu masa lalu. Disela isakanku, aku berkata lirih: “Nurani,bantu aku yah, supaya  istiqomah dalam taubat dan jangan sungkan-sungkan menegurku, jika aku salah jalan!”Aku melihat nuraniku tersenyum. Akupun ikut terseyum. Senyuman ini aku hadiahkan untuk hari-hari selanjutnya. Akan kutulis lembaran hidup dengan tinta Taqwa.

(kutipan Udo Wardah Hafidzah )


* Cerpen ini dipresentasikan pada acara  Dwi Mingguan “Bengkel Sastra” Forum Lingkar Pena  (FLP) cabang Mesir, pada hari Senin tanggal 27 Agustus 2001 di Masakin Utsman. 

** Udo Wardah Hafidzah adalah nama pena Udo Yamin Efendi Majdi. Penulis selain anggota FLP Mesir, juga aktif di FOSPI, KPMJB, KEMASS, Perwakilan PII Mesir, dan Remas SIC.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar