AWAL
bulan Juli bertandang. Musim panas berduyun-duyun berkunjung ke jantung ibu
dunia. Negeri para rasul alias, Mesir. Langit merasa gerah dan bertelanjang
dada. Terlihat kulit mulusnya yang berwarna biru dengan jelas. Sebab tak
sehelai awan menutupinya. Hawa panas sang mentari, begitu lancang menyelinap
masuk kedalam kamarku. Pori-pori kulitku yang baru saja istirahat dari kubawa
ujian termin kedua, kembali menangis tak kuat menahan sengatan. Peluh membanjiri
badanku.
Bersamaan dengan itu, dadaku
bergemuruh. Jantung mendidih diatas tungku perasaanku. Dunia terasa begitu
sempit bagiku, aku marah, kecewa, takut, malu, kesel dan masih banyak lagi
warna perasaan dalam hatiku. Semuanya lebur menjadi satu. Bias. Darah amarah
mengalir ketanganku. Tiba-tiba aku meraih bantal yang dekat dengan tempat duduk
diatas kasur biru dan dengan sekuat tenaga kulempar ke dinding putih yang ada
dihadapanku.
“Braaaaaks…..dersh…… prangggggg!”
Terdengar suara benda jatuh. Ternyata
tak sengaja figura fhoto mantan Presiden Abdurrahaman Wahid menjadi sasaran
lemparanku tadi. Kaca dan bingkainya hancur berantakan. Mataku menerawang
kedepan. Kulihat fhoto Presiden baruku; Megawati masih bertengger didinding. Ia
tersenyum sinis, aku tidak tahu, ia tersenyum untuk siapa. Mungkin ia merasa
geli dengan tingkah polahku barusan atau merasa puas melihat Gus Dur jatuh
terkapar tertindih pecahan figuranya yang berantakan. Ah…., peduli amat. Aku
kembali mengacak-acak kamarku, sehingga semuanya berubah menjadi seperti kapal
Titanic yang pecah.
“Hei…., ada apaan sich? Pakai
acara ngambek segala, lagi demonstrasi yach?” Sebuah suara bariton
mengejutkanku. Aku langsung menoleh dari mana arah itu datang. Disampingku
berdiri seniorku, Mujahid Helmi.
“ Ah nggak, kagak ada apa-apa!”
jawabku dengan ketus. Kemudian aku melanjutkan, “Aku lagi belajar jurus Dewa
mabok melempar monyet!”.
“Ha….ha…ha… kayak pendekar 212 aja, Wiro Sableng kali, atau
Pendekar Sakti di serial Kho ping Ho !” Seniorku itu mentertawakan
diriku.Aku gondok juga. Sebel!
“Bukan, saya pendekar 926 dari
gua Piramida!”.
“Lho kok 926?”
“Ya, saya kan kalau kuliah sering
naik mobil itu!” aku ber-joke ria seenaknya saja. Lorong otakku menjadi
buntu, pusing tujuh keliling. Untung tidak tujuh keturunan. Kulihat kedua mata
kak Mujahid Helmi seperti sedang membaca diriku. Aku cuek bebek saja. Emang
enak di cuekin!
“ David, sebenarnya apa yang
sedang terjadi dengan dirimu?”
“ Sudah aku bilang, kagak ada
apa-apa kok!”
“ Ah, yang benar aja, seribu
kepalsuan yang kamu pakai untuk membungkus gejolak hatimu, tidak akan mampu membohongi mata batinku.
Cukuplah bagiku benda-benda ini sebagai bukti!”. Kata-kata yang terluncur dari
mulut kak Helmi, sambil menunjuk ke lantai dimana serpihan kaca, buku jatuh,
kursi terbalik, dan bantal tergeletak. Aku tidak menjawab, aku tidak membantah
apa yang ia katakan. Diam berarti setuju. Selanjutnya ia berkata lagi:
“David, Aku ini saudara seimanmu,
sudah selayaknya, jika aku menjadi dermaga tempat hatimu berlabuh dikala suka
maupun duka!”
Aku mendongakkan kepala yang tadinya
tertunduk menatap karpet merah. Kuarahkan mataku ke wajahnya. Pandangan kami
beradu. Disana aku menemukan sinar keikhlasan. Hatiku luluh oleh ketulusannya.
Kuhembuskan napasku kencang-kencang, Puih !!! Pokoknya Aku harus curhat. Lalu
aku berbicara: “Kak Helmi, tadi saat tes lisan al-Qur’an, aku tidak bisa
menjawab apa-apa, kakak tahukan, selama dua tahun aku tidak naik tingkat
diantaranya, gara-gara mata kuliah al-Qur’anku rosib, sekarang terjadi
kembali!”
“Ooo……. Itu masalahnya, ngomong
doong!”
komentarnya. Kami diam, hanyut dalam arus pikiran masing-masing.
“David, sebenarnya persoalanmu
itu kecil, yang terpenting bagaimana kita mencari hikmah dibalik semua itu.
Tidak ada untungnya kita bergelimang dalam kesedihan!” Sebait nasihat
dipersembahkan kak Mujahid Helmi kepadaku.
Ia mendekatiku dan duduk bersamaku diatas kasur, kedua
telapak tengannya meraih kedua telapak tanganku. Hangat. Seperti ada aliran
kedamaian merambat kedalam sanubariku. Aku tahu, kasih sayang ia berikan
kepadaku adalah asli, bagaikan mata air melimpah terus tanpa mengharapkan ada
sesuatu yang kembali kepadanya. Atau ibarat matahari yang menebarkan cahaya
tanpa menginginkan sesuatu yang kembali. Cintanya murni karena Allah SWT.
Sebuah cinta melebihi apa yang dikatakan oleh Rahul dalam film “Kuch-kuch
Hota Hai” bahwa cinta adalah persahabatan. Kak Mujahid juga pernah berkata
kepadaku: “David, kebahagian bagiku sejauh mana aku bisa menaburkan manfa’at
dan rahmah kepada siapa saja!”
Hanya dialah, anggota keluarga
dirumahku yang mau memahami dan mengerti tentang diriku, ia menganggap diriku
seperti adiknya sendiri, ukhwah tidak sebatas konsep, tapi mengalir dalam darah
dagingnya, inilah alasanku mau terbuka kepadanya. Sedangkan yang lainnya,
sangat egois. Contohnya Dendi, ia menganggap dirinya terlalu sholeh untuk
bergaul denganku. Oke deh, secara pribadi ia sholeh, tapi secara sosial masih
jauh. Bahkan ia sangat lemah, takut terbawa olehku. Temannya hanya muqoror,
diktat kuliah. Jangankan punya responsibility, atau crisis of sence
keumatan, kepada dirinya sendiri terkadang tidak ada tanggung jawab. Faktanya,
ia jarang mandi karena waktunya tersita untuk menghafal.
Sedangkan Jefry waktunya habis untuk beraktivitas. Ia
lagi puber berorganisasi. Ngomongnya selangit, demi demokrasi kek, hak asasi
manusia kek, kebebasan kek, politik kek, sampai tokek dia urus. Apalagi saat
ini lagi pemilihan ketua umum organisasi yang mengayomi Mahasiswa Indonesia
Cairo. Tapi persoalan teman serumah lepas dari perhatiannya.
Beda lagi dengan Tomi, ia si anak hilang. Aku
memanggilnya, Si kalong. Sebab ia merubah Sunnatullah. Baginya siang
jadi malam dan sebaliknya. Hari-harinya hanya untuk chatting, nonton
video, main game, billyard, pocker dan JJS (jalan-jalan Suntuk). Atau
sekedar mejeng di Tiba Mall dan Kholid Mall di Rob’ah. Kebiasaannya tidak
terlalu jauh berbeda denganku. Terkadang ia jadi patnerku. Cuma yang
menyebalkan ia mau dekat, kalau kantongku lagi tebal. Dasar Kuya, dekat kalau
perlu. Ya, satu-satunya penghuni rumah, yang masih memperhatikan diriku
hanyalah Kak Mujahid Helmi.
“Kak, aku butuh nasehatmu, aku
tidak tahu apa yang harus aku lakukan!” pintaku pada Kak Mujahid Helmi. Ia
tersenyum dan tangannya merangkul diriku. Ia mengedipkan mata. Kepadaku
selanjutnya ia menjawab: “Nanti malam, kamu harus ikut kakak ya!”.
“Kemana?”
“Rahasia perusahaan doong, pokoknya
ikut aja deh!”
Aku menganggukkan kepalaku.
Beberapa menit kemudian, terdengar azan Asar mengumandang. Sebelum keluar dari
kamarku, kak Mujahid berkata:
“ Beres dong, tuh fhoto Gus Dur,
kalau ia sampai tahu pasti ia akan marah!”
“Ah tidak mungkin, ia menganut
demokrasi begitu aja ko’ repot, kalau ia bisa mengapa aku tidak!” timbalku sambil membenahi
kamarku. Dasar Kak Helmi ABG, Anak buah Gusdur kali, sentimen banget sih. Kami
pun bersiap-siap untuk ke Mesjid.
***
Mobil yang aku tumpangi bersama Kak
Mujahid Helmi melejit berlari meninggalkan mahattoh Jami’ nasr City
Cairo. Dalam hatiku masih bertanya-tanya, kemana aku akan dibawanya. Mungkin
ketempat tari perut, ah tidak mungkin! Tidak terasa kami sedang melintasi
jembatan sungai Nil. Wah, jangan-jangan, di ajak ke gang “Pacaran” ditengah
pulau disungai Nil. Diujung jembatan ini, kak Mujahid Helmi mengajakku turun dari Bus. Aku mengikuti langkah kakinya.
“Kak kita mau kemana sih?”.
Tanyaku kepadanya tidak sabar. Aku masih penasaran.
“Ya, kesini!”
“Ngapain?”
“Lho, kok nanya, emangnya mau saya
suruh bunuh diri dari atas jembatan supaya masalah hilang bersama nyawamu?”.
“Lantas…?”
“Katanya pengen nasihat, maka
sebelum dikasih, sekarang coba ingat kejadian dua tahun yang lalu disini!” Kak Mujahid memotong
pertanyaanku. Aku mengernyitkan dahiku. Aku memanggil memoriku.
***
Malampun memetik rembulan. Diatas
pucuk biru langit. Daun bintang diranting awan bergoyang ditiup angin semiri.
Aku terbang bersama hawa dingin sungai Nil tempat Nabi Musa as selagi bayi
dihanyutkan, pikiranku menjelajahi angkasa kenangan dua tahun yang lalu. Aku
kembali kelorong waktu itu. Aku bersama teman-teman yang baru sampai dari
Indonesia ke Mesir, cari angin dijembatan sungai Nil. Kami dipandu kak Mujahid,
sebagai senior kami.
“David, mengapa sich kamu mau
kuliah di Universitas al-Azhar?” sepotong pertanyaan dari kak Mujahid Helmi
untukku. Dengan semangat 45 aku berkoar:
“Sebab aku kepengen jadi generasi
Nabi Musa as di Indonesia!”
“Maksudnya gimana?”
“Indonesia waktu saya tinggalkan,
lagi carut marut, reformasi yang didengung-dengungkan Bulshit, hanya sebatas
verbalisme saja. Bahkan agenda reformasi seolah-olah di khianati. Penguasa
berjiwa fir’aun tidak mau hukum Allah di tegakkan ditengah-tengah mayoritas
muslim, konglomerat berubah menjadi Qorun abad modern yang memakai baju
kapitalis dan sosialis menghisap kekayaan bumi pertiwi, ditambah para teknokrat
bergaya Hamanisme menghadirkan media elektronik yang membunuh generasi muda,
maka aku mencelupkan diri di Al-Azhar agar aku menjadi generasi Nabi Musa as
untuk memberantas Fir’aunisme, Qorunisme dan Hamanisme!”
“Cek…cek…cek… hebat….hebat bisa
terbang dong… kakak bangga punya adik seperti mu!” kata kak Mujahid.
Sekonyong-konyong aku tersadar, pada
saat sepasang tangan memegang pundakku. Aku mendongak. Ternyata barusan aku terhanyut dalam alam ingatan kejadian dua
tahun yang lalu. “Gimana, udah inget ya?” Kata kak Helmi sambil duduk di
besi di sisi jembatan sungai Nil.
“Oh ya, udah!”
“Sengaja kakak bawa kamu kesini
supaya kamu ingat akan kejadian awalmu yang dulu pernah kamu katakan disini!” kak Helmi menjelaskan maksudnya
mengajakku kejembatan sungai Nil. Aku terpojok. Malu terhadap diriku sendiri,
keadaanku jauh dari idealisku dulu. Ekor
mataku melibas beberapa perahu yang berlalu lalang di sungai sumber kehidupan
orang Mesir.
“David, pada hakikatnya, kamu
lalai dari tujuanmu, karena kamu ditidak mau mendengar suara nuranimu,suara
nurani adalah gema fitrah, sedangkan fitrah cederung ta’at kepada Allah, kamu
selalu mendustainya !” ujar kak Helmi. “Maka jawaban dari persoalanmu,
ada pada nuranimu sendiri, bertanyalah kepadanya, bukankah Rasulullah saw
pernah bilang, mintalah fatwa kepada nuranimu, sekarang kita pulang,
merenungnya dirumah saja!”. Kami berdua beranjak meninggalkan tempat itu.
Kulihat lampu dibibir sungai Nil melambaikan tangannya kepadaku. Pertanyaan “Mengapa
aku sampai melupakan tujuan ke Mesir?” terus bergema seiring dengan langkah
kakiku menuju ke rumah.
***
Malam
beranjak larut. Berselimutkan kegelapan. Suasana kamarku beku. Sesekali
terdengar mesin mobil yang lewat dijalan raya. Tak ada suara jangkrik. Yang ada
hanya, suara detak jam bekkerku. Dan dari kejauhan terdengar lolongan anjing.
Sementara itu, teman-temanku serumah terbuai dalam mimpi. Selesai melaksanakan
shalat Tahajjud, aku duduk bersimpuh dihadapan Allah, aku ingin mengadili
diriku, sebelum diadili diakhirat nanti. Ada secercah cahaya hadir dalam
hatiku. Sekian lama aku tidak pernah mendirikan shalat malam, sebab aku
bergadang di warnet. Biasa, tenggelam di alam maya, atawa cyberspace. Chatting
sama doiku.
“Mengapa hingga detik ini aku
begitu sulit menghafal Al-Quran, bahkan yang sudah hafal, sedikit demi sedikit
kabur dari ingatanku?” aku bertanya kepada nuraniku.
Hati nuraniku menjawab: “ David,
penyebabnya adalah akhlakmu belum Qurani, dan kamu lebur dalam kemaksiatan.
Sehingga Allah belum percaya kepadamu, ini merupakan peringatan dan kasih
sayang Nya!”.
“Kasih sayang bagaimana?” aku
membentak pernyataan hati nuraniku, ia melanjutkan: “Coba bayangkan, apa
yang terjadi seandainya, kamu hapal al-Quran, sementara itu akhlakmu jauh
darinya?”.
Aku
menjadi malu, setelah membayang kan akibat yang aku terima apabila menghafal
al-Qur’an hanya mulut saja, setidaknya dosaku berlipat ganda. Dosa melanggar
perintah Allah dan dosa melalaikan ilmu Allah SWT.
“Nurani, Nurani!” kataku.
“Engkau memang sahabatku yang paling jujur, hanya saja aku yang keterlaluan,
sering mendustaimu, lalu mengapa akhir-akhir ini kamu jarang menasehatiku?”.
“Lha… jangan salahkan aku, sebab
setiap kali kamu melakukan satu dosa, mataku menjadi hitam pekat, akhirnya aku
buta untuk membedakan antara kebenaran dan kebatilan!” nuraniku membela
diri. Tak berapa lama, nuraniku berbicara lagi: “Tapi sekarang aku bening
kembali, karena dibasuh oleh tangisanmu tadi!”
Aku terhenyak mendengarnya. Nuraniku
langsung memeluk jiwaku. Dekapan kasih sayangnya begitu sejuk terasa. Kemudian
ia berbisik kepadaku: “David, Jangan bohongi aku lagi yah, mau khan…?”Dengan
malu-malu tapi pasti aku menanggapi ajakan itu. “Mau, mau!” jawabku
tegas kayak iklan Tara Nasiku ketika Aku di Indonesia dulu. Kembali ia
merangkulku. Ku benamkan wajah batinku di punggungnya kami menangis bersama
menyesali sepotong kisah kelabu masa lalu. Disela isakanku, aku berkata lirih: “Nurani,bantu
aku yah, supaya istiqomah dalam taubat
dan jangan sungkan-sungkan menegurku, jika aku salah jalan!”Aku melihat
nuraniku tersenyum. Akupun ikut terseyum. Senyuman ini aku hadiahkan untuk
hari-hari selanjutnya. Akan kutulis lembaran hidup dengan tinta Taqwa.
(kutipan
Udo Wardah Hafidzah
)
* Cerpen ini dipresentasikan pada
acara Dwi Mingguan “Bengkel Sastra”
Forum Lingkar Pena (FLP) cabang Mesir,
pada hari Senin tanggal 27 Agustus 2001 di Masakin Utsman.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar