Episode 1
Senja di Selat Sunda
Di Atas Bus Malam
Aku usap kaca jendela bus beberapa kali,
membentuk bulatan-bulatan kecil. Terasa dingin di telapak tanganku. Lalu aku
hapus semuanya. Embun yang menempel di kaca jendela pun hilang sudah. Bayangan
yang seolah-olah menghalangiku terhadap dunia luar sudah tak ada lagi. Pagi
baru saja menjelang. Langit timur yang aku tinggalkan semalam kini dipulas
kemerahan. Tampaknya matahari mencoba menggeliat; membebaskan cahayanya supaya
bisa menyentuh sahabatnya, pucuk-pucuk padi yang sedang kesepian menguning.
Bus keluar di mulut tol Ciujung, kira-kira 20
km sebelum kota Serang. Jalan tol Cikampek-Merak memang terputus di sini.
Sisanya sedang dalam pengerjaan. Jika jalan tol ini sudah rampung, tentu
segalanya akan jadi lancar. Tapi kata versi yang lain, malah kota-kota di eks
Karesidenan Banten ini akan semakin ketinggalan, karena tak akan satu pun
kendaraan yang singgah. Seperti kata sebuah anekdot, kalau sudah ngebut di
jalan tol suka lupa berhenti. Berarti, semua kendaraan cuma akan melaju kencang
melintasi eks Karesidenan Banten dan "wusssss!" anginnya saja yang
membekas.
Bus terus meluncur menyibak genangan air, sisa
dari hujan semalam. percikannya berhamburan dilindasi roda-roda dan menimbulkan
bunyi desisan yang merdu. Beberapa orang sudah ada yang mulai menggeliat dan
sibuk memberesi barang-barangnya. Tapi Nana, yang mengajakku liburan ke kampung
halamannya, masih asyik bermimpi.
Aku sendiri tidak bisa menikmati perjalanan
bus malam ini. Terguncang-guncang sepanjang Yogya-Magelang-Semarang, dibanting
ke kiri-ke kanan di Alas Roban, terkatung-katung membosankan di jalur lurus
Cirebon-Cikampek, dan melaju dalam kecepatan tinggi dijalan tol Cikampek-Merak,
bukanlah sesuatu yang menyenangkan buatku untuk teman tidur. Aku betul-betul
iri melihat Nana tertidur yenyak. Wajah yang cantik itu tampak begitu damai.
Tak terganggu oleh goncangan bus. Jiwa dan raganya memang sudah menyatu dengan
alam. Dan selalu pasrah pada kehendak Tuhan.
Padahal aku mengenal Nana belum begitu lama.
Dia adalah sahabat baruku. Dua tahun yang lalu, waktu itu sedang Pekan
Orientasi Mahasiswa, aku melihat Nana sebagai calon mahasiswi yang keras
kepala, Itu mungkin ungkapan yang tepat baginya selain sebutan pemberani.
Setiap ada raka-raka fakultas yang iseng padanya, si perkasa yang cantik itu
menggeliat liar seperti ular. Setiap hukuman dijalaninya dengan tegar dan
menantang, sampai-sampai para raka bosan dengan ulahnya. Ketika tiba giliranku
dibulan-bulani para raka, dia tidak segan-segan membela dan membantuku. Dan
bahkan pada siapa saja.
"Terima kasih," aku betul-betul malu
padanya, ketika dia menyelamatkan aku dari hukuman push up seorang raka yang
over acting.
Nana memhalas dengan senyuman tipis. Lalu,
"Namaku Nana," nadanya tegas ketika menyebutkan namanya.
"Aku sudah tahu," kataku
membersihkan kedua lutut dan telapak tanganku. "Kamu cukup beken di
sini," aku tersenyum. "Tina, namaku," aku ulurkan pula lenganku.
Lantas kami berkawan.
"Aku dari Pandeglang," kata Nana di
saat lain, ketika acara makan siang nasi bungkus di halaman kampus.
Nama kota itu sungguh asing bagiku.
Nana tersenyum kecut. Ketika dia menyebutkan
nama yang lain, aku baru mengerti di mana letak kota yang disebutkannya itu.
"Banten," aku mengingat-ingat nama
sebuah tempat di ujung barat Pulau Jawa, yang terkenal dengan hal-hal magisnya.
Pantas kalau Nana begitu berani menentang para raka, batinku saat itu.
Aku sangat menyukai sejarah. Di sana pernah
ada sebuah kerajaan Islam –yang menurut historiografi didirikan oleh Maulana
Hasanuddin- yang gigih melawan gerogotan taring penjajah. Lantas kerajaan Islam
itu dihancurleburkan oleh Herman Willem Daendels. Juga ada suku Baduy, penduduk
yang mengasingkan diri di wilayah Kanekes, pesona Gunung Krakatau yang mengagetkan
dunia ketika tahun 1883 melumat 163 desa dan mencabut 36.000 nyawa manusia,
kesenian debusnya, juga gemulai ombak serta kemolekan pantainya.
"Pelajaran geografiku payah!" aku
tertawa.
"Tapi kotaku memang tidak ngetop. Kalah
bersaing dengan kota-kota lainnya di Banten," Nana memaklumi.
Aku langsung membongkar-bongkar buku
geografiku di rumah. Aku pelajari wilayah paling barat di Jawa itu. Ada
beberapa kota di eks Karesidenan Banten. Selain Tangerang yang sudah
"dicaplok" Jakarta dengan Jabotabek-nya, juga ada Serang, Cilegon,
Merak, Pandeglang, dan Rangkasbitung. Kota-kota ini memang masih asing buatku,
padahal kisah masa lalunya yang termashur sudah sering aku baca.
Setelah itu akujadi lengket dengan Nana.Aku
sering mampir ke tempat kosnya di setiap kesempatan. Kadang kala aku bawa Nana
dengan sedan mutakhir pemberian Papa keliling Yogya; memperkenalkan pesona
wisatanya.
"Kenapa kamu sia-siakan keindahan kotamu,
Tina?" kata Nana.
"Maksudmu?"
"Kamu akan bisa melihat dan merasakan
keindahan Yogya lebih banyak lagi dengan naik bus daripada naik mobil
sendiri."
Aku tidak langsung setuju pendapatnya. Tapi
tidak pula aku biarkan menggantung. Pelan-pelan aku mencoba mengikuti kehidupan
yang ditawarkan Nana, sebagaimana layaknya orang yang merantau. Ke mana-mana
selalu naik kendaraan umum atau berjalan kaki. Hari-hari bergulir, minggu
berganti ke bulan, lalu jadi merupakan kebiasaan menjalaninya. Dan aku
menyukainya.
Orang-orang di rumah, baik Papa, Mama, Robby
kakakku dan pacarku Anton –dua yang terakhir doyan olahraga mobil, jenis
olahraga yang kata Nana cuma semakin menambah polusi bumi saja- cukup
terheran-heran juga melihat perkembangan hidupku, yang tiba-tiba jadi lebih
mencintai lingkungan hidup ketimbang mengotorinya. Begitu juga kawan-kawan
pestaku semasa di SMA. Lambat-laun, mereka berguguran meninggalkanku dengan
senyum yang ganjil.
Lantas sedan mutakhirku hampir tidak pernah
aku gunakan lagi, kecuali jika sedang dalam keadaan darurat. Ketika Robby
bermaksud memakainya pun, aku tidak keberatan. Malah aku hibahkan padanya
dengan timbal balik dua buah mountain bike. Aku bermaksud, dengan dua sepeda
gunung itu, bersama Nana bisa menyelusuri Yogya setiap Minggu pagi.
"Lebih enak naik sepeda 'kan!" Nana
mengayuh sepedanya dengan terengah-engah, melahap tanjakan menuju hutan wisata
Kaliurang.
Tapi aku turun dari sadel. Menuntun sepeda.
Nana juga turun. Kami saling tersenyum. Dua dunia yang berbeda sedang berusaha
untuk bersatu. Duniaku adalah kehidupan seorang gadis yang selalu tergantung
pada orang lain. Sedangkan Nana adalah seorang wanita yang bertanggung jawab
pada dirinya. Yang tidak memberikan hidupnya untuk jadi tanggung jawab orang
lain.
"Liburan semester besok, aku ada reuni
dengan kelompok pecinta alamku di SMA," Nana menyeka keringat di kening
dengan punggung tangannya. "Aku mengundang kamu lagi untuk liburan di
kampung halamanku," Nana mengajukan tawaran berlibur lagi.
Episode 2
Senja di Selat Sunda
Entah ini tawaran Nana yang keberapa kali.
Setiap liburan semester tiba, aku cuma berani mengantarnya sampai di pintu bus
saja. Aku tidak pernah punya keberanian untuk menerima ajakannya.
Terlebih-lebih Anton, yang selalu paling pertama menentang ajakan Nana.
"Sekarang kamu harus mau!" suara
Nana ada tekanan.
Aku agak kaget juga. Ini sebetulnya
'petualangan besar' buatku. Berlibur di kampung halaman orang lain. Terus
terang saja, aku tidak terbiasa bepergian dalam jarak jauh dengan bus umum.
Kalau tidak naik pesawat, ya kendaraan pribadi. Tapi ketika aku mengenal Nana,
ada ‘sesuatu' yang selama ini tidak pernah menyentuh kehidupanku.
"Bagaimana, Tina? Mau?"
Aku berpikir keras. Aku belum berani
mengiyakan ajakan Nana. Aku takut, karena belum pernah mengalami liburan
seperti yang ditawarkannya. Selama ini aku cuma memesan tempat untuk berlibur
lewat biro-biro perjalanan. Segalanya sudah serba teratur dan menyenangkan.
Naik pesawat; kalau tidak ke negara tetangga atau beberapa kota di Eropa dan
Australia, paling sial ke Bali, Lombok, dan Medan. Tidur di hotel dengan menu
makan yang terjaga.
Dan sekarang berlibur ke kampung halaman Nana?
"Kamu akan aku ajak keliling Banten,
Tina. Akan aku kenalkan pada pesona yang sesungguhnya," Nana serius
sekali.
"Nanti aku bicarakan dulu sama Papa dan
Mama," itu yang keluar dari mulutku.
"Juga Anton," Nana tampak berusaha
menyimpan kekecewaannya.
Sebetulnya aku sudah tahu apa jawaban mereka
nanti; Mama, Papa, Robby, dan terlebih-lebih Anton. Tak akan ada seorang pun
yang mendukung. Tapi aku berharap Papa akan mendukung, jika aku punya keinginan
yang kuat.
"Apa? Liburan ke Banten?" begitu
jelas tergambar kengerian di wajah Mama pada saat makan malam. Ini tidak
berbeda ketika aku utarakan pada awal-awal persahabatanku dengan Nana. Juga
oleh Anton sebelumnya.
Papa dan Robby tertawa, sampai-sampai
terbatuk.
"Nanti kamu nggak akan bisa pulang!"
Robby menyambar air putih. Meminumnya. Tambahnya masih tertawa, "Cowokdi
sana 'kan terkenal jago pelet!" sambil menyebutkan 'ilmu' yang biasa
digunakan lelaki untuk menjerat wanita. Hal ini pun sudah dikatakan oleh Anton
dengan perasaan was-was.
Aku bergidik juga mendengar kata 'pelet' tadi.
Aku memang pernah mendengar bahwa suka ada lelaki yang menggunakan pelet untuk
mendapatkan wanita idamannya.
"Ayo dong, dimakan kacangnya!" ledek
Susi, putri Solo.
Nana cuma tersenyum. Dia tampaknya memaklumi
guyonan mereka tentang imej daerahnya, yang sudah kondang dengan permainan
debus-nya. Bahkan yang kurang ajar, beberapa kawan sekelas memohon-mohon pada
Nana untuk diajarkan cara memikat lelaki impian.
Memang, setelah pekan orientasi selesai, Nana
menjelma jadi pusat perhatian. Hampir semua lelaki se-fakultas ramai
menggunjingkannya. Katakanlah Nana menjadi "primadona kampus". Tapi
sebagian menganggap, karena Nana berasal dari Bantenlah kenapa semua lelaki di
fakultas terpusat padanya.
"Diapasti punya 'apa-apa'!" omongan
seperti ini sering aku dengar.
"Heh, 'apa-apa' bagaimana, sih?"
"Ah, bego!"
"Ora mudeng, aku!"
"Itu lho, semacam peletlah!"
"Atau susuk!"
Aku yang terbiasa diajarkan untuk menggunakan
logika di rumah, cuma geleng-geleng kepala saja. Aku pernah membaca di koran
gosip tentang beberapa artis yang menggunakan susuk agar tetap bersinar
nasibnya di dunia perfilman atau tarik suara. Tapi terjadi pada Nana? Bagiku
ini cuma karena Nana yang selain cantik, juga pandai bergaul dan tak pernah
pilih-pilih teman. Di senat dia aktif. Di kelompok pecinta alam mahasiswa, dia
semakin menonjol. Dalam kegiatan sosial kampus, wah, jangan ditanya. Itu saja.
Tak ada pelet atau susuk pada diri Nana.
Tapi untuk memuaskan rasa ingin tahu
sekelompok orang, dengan tenang Nana menyuruh mereka datang ke tempat kosnya.
Nana menjanjikan akan memberi 'apa' yang mereka minta. Aku pun termasuk yang
datang.
"Jangan berebut!" kata Nana.
Ada sebuah bungkusan sebesar buku di halaman
rumah kosnya. Nana menyuruh mereka mengambil isinya dan dimasukkan ke dalam
kotak korek api, yang sudah mereka persiapkan sebelumnya.
"Rahasiaku ada di kotak itu!" kata
Nana meyakinkan.
"Apa isinya?" kataku.
"Buat memikat cowok!" aku lihat Nana
menahan tawa.
Hidungku yang sudah terbiasa dengan wewangian
mahal, mengisyaratkan lain. Tapi kawan-kawan sudah begitu kebelet. Bungkusan
itu dibuka. Lalu terdengar jeritan; rasa jijik, dan kebingungan.
"Apaan ini!" bungkusan berisi
kotoran kerbau itu dibuang.
"Olesin aja di pipi cowok impian
kalian!" kata Nana tertawa senang, karena sudah berhasil 'membodohi'
mereka. "Ditanggung manjur. Kalian pasti dikejar-kejar!"
Sebetulnya ini lelucon tidak lucu, yang
memperlihatkan "kebodohan" kami. Keterlaluan. Tapi aku selalu tertawa
sendiri jika ingat kejadian itu. Akibatnya, setelah kejadian 'memalukan' itu
tak ada lagi yang 'mengusik' Nana tentang hal-hal aneh daerahnya.
Papa menatapku. "Betul kamu mau liburan
dengan Nana?" Papa seperti memberi kekuatan padaku.
Aku mengangguk ragu-ragu.
"Bagaimana dengan Arjunamu, si
Anton?"
"Akan Tina beri pengertian, Pa," aku
menghibur diri, walaupun tahu Anton yang paling keras menentang setiap rencana
liburanku dengan Nana.
"Jangan, Pa! Jangan kita izinkan Tina
berlibur ke sana!," Mama masih khawatir. "Bagaimana kalau nanti
sampai terjadi apa-apa pada Tina?"
"Terjadi apa-apa, bagaimana?" Papa
tertawa. "Mama ini terlalu banyak baca cerita mistik. Soal black
magic-lah; santet, teluh, atau peletlah!
Sekarang hal-hal seperti itu sudahjadi
bumbu-bumbu pariwisata, Ma. Misalnya, kesenian Banten yang kesohor itu, debus,
malahan sering mengharumkan negara kita di negara-negara lain. Jadi, jangan
berprasangka dulu. Apalagi sekarang sudah abad komunikasi. Era
globalisasi," Papa menekankan pembicaraannya.
"Kalau ada lelaki yang melet Nana?"
Mama terus saja berusaha melarang.
Papa tertawa, "Kalau 'pelet' itu betul
ada, kenapa mesti si Nana? Anak kita 'kan nggak terlalu cantik," Papa
melirik padaku. "Mendingan Liz Taylor atau Brooke Shield sekalian!"
Aku merajukdan menggelayut di bahu Papa. Mama
cuma bersungut-sungut, tidak bisa berbuat apa-apa lagi.
Robby nyeletuk, "Nana ternyata sudah
mengubah Tina!"
Dalam hati aku mengiyakan pendapat Robby.
Aku jadi teringat pertengkaran dengan Anton
seminggu sebelum keberangkatan. Semua berpangkal cuma pada Nana. Anton merasa
kalau aku lebih mementingkan Nana ketimbang dirinya.
"Ingat, Anton. Sudah berkali-kali kamu
menentang Nana untuk mengajak aku berlibur di kotanya. Lantas kalau ajakannya
kali ini pun kamu larang, sampai kapan aku bisa memilih acara berlibur sendiri,
Anton?
Aku jadi kesal, kok dilarang-larang! Emangnya
kamu berhak mengatur hidup orang lain, Anton?"
Episode 3
Senja di Selat Sunda
"Kapan aku melarang kamu, Tina, kecuali
rencana 'gila'mu yang satu ini?" nada kalimat Anton tegang.
"Kalau begitu, apa masalahnya aku
berlibur bersama Nana!"
"Masalahnya? Sudah berulang-ulang aku
bilang, jangan berlibur ke sana! 'Kan masih banyak tempat yang bagus, Tina!
Kalau kamu bosan ke Bali, Lombok, ayo kita berlibur ke Irian kalau perlu!"
"Kenapa mesti risau, Anton? Daerah itu
sama saja dengan daerah-daerah yang lain! Masih tetap di Indonesia."
"Tapi tetap jangan berlibur ke
sana!"
Aku tidak habis pikir dengan 'kebodohan'nya
kali itu, yang tetap bersikeras melarang aku berlibur bersama Nana ke Banten.
"Aku tetap pergi, Anton, apa pun taruhannya! Aku nggak peduli kalau nanti
ada cowok sana yang melet aku! Syukur-syukur ada, kalau itu bisa membuatmu
puas!" akhirnya aku mengultimatum.
Anton tampak kaget melihat aku bicara begitu.
"Ngomongmu ngawur, Tina! Bisa kualat kamu!" dia memperingatkan.
"Aku nggak peduli!"
"Gara-gara kamu berkawan sama 'anak
kampung' itu, hubungan kita jadi kacau!" dia memaki dengan tidak sopan.
Aku merasa tersinggung mendengar makiannya waktu itu. "Kamu anggap Nana
seperti itu? Jadi kamu ini 'anak kota', Anton?! Lebih beradab ketimbang Nana,
begitu?!" otot leherku tertarik saking marahnya.
Anton wajahnya merah padam dibentak-bentak
oleh aku.
"Baik, baik, Anton! Kalau modernisasi
atau istilahmu 'anak kota' itu diukur oleh yang namanya cineplex, fast food,
mall, rally mobil, disco, dan tetek bengek lainnya, berarti selamat tinggal
modernisasi!
Aku akan siap disebut sebagai 'anak kampung'
oleh kamu, karena semua merek modernisasi itu aku tinggalkan! Ternyata nggak
buruk jadi 'anak kampung' seperti Nana, yang begitu peduli terhadap
lingkungan!" aku membentak-bentak lagi. "Ketimbang jadi 'anakkota'
sepertimu, yangcuma hura-hura!" aku masih belum puas.
"Tina!"Anton memegang bahuku.
"Apa pun yang kamu katakan, aku tetap
akan pergi dengan Nana!"
"Walaupun taruhannya hubungan kita,
Tina?" ancamnya.
"Ya, hubungan kita!"
Aku sebetulnya berharap untuk tidak kehilangan
dia. Anton memang pacarku yang kesekian, tapi kali ini aku berusaha untuk
menjadikan dia sebagai yang terakhir. Tapi, apa boleh buat. Sebuah hubungan
yang menjalin dua perasaan, aku kira, kalau sudah ada usaha untuk memaksakan
kehendak yang satu pada yang lainnya, itu tidak akan jadi baik. Bukankah semua
harus bermula dari rasa saling pengertian dan bermuara pada kesamaan sikap?
Anton meninggalkan aku dengan amarah yang
terpancar dari sorot mata dan wajahnya. Dia tampaknya serius dengan ucapannya.
Terbukti setelah pertengkaran itu, aku tidak pernah melihatnya lagi.
"Anton ngambek?" Nana merasa tidak
enak ketika aku tidur-tiduran di kamar kosnya.
Aku menutup wajah dengan majalah.
"Ajak saja Anton berlibur."
Aku lempar majalah. "No, no way!"
kataku tegas. "Liburan kita bisa runyam kalau Anton ikut!"
"Aku nggak ingin hubungan kalian..."
"Lupakan hubunganku dengan Anton!"
aku memotong.
"Maksudmu?" Nana merasa tidak enak.
"Aku memilih pergi dengan kamu, Nana,
daripada diatur oleh Anton!"
"Oh, ajakanku kali ini ternyata memakan
korban!" Nana membenturkan telapak tangannya ke dahi. "Maatkan aku,
Tina."
"Sekarang, bawalah aku ke kotamu, Nana!
Akan aku buktikan, apakah betul segala cerita di majalah atau omongan
orang-orang itu!"
"Cuma sekedar itu, Tina?"
"Aku ingin jadi diri sendiri, Nana,
seperti halnya kamu selama ini. Yang tak pernah takut melakukan segala hal yang
kamu sukai," aku memang iri padanya.
Nana tersenyum tipis, "Rasa 'takut' itu
tentu ada, Tina. Pada semua orang. Aku juga. Dengan adanya rasa 'takut' itu,
kita jadi bisa menghargai apa arti hidup ini."
Aku sering mendapat 'pelajaran' berharga dari
setiap omongannya. Betapa luas pandangannya tentang 'apa itu hidup'. Dia
seolah-olah tahu apa yang akan diperbuat dan tahu bagaimana menemukan jalan
keluar yang terbaik ketika dalam kesulitan. Mungkin ini tejadi pada semua orang
yang merantau. Aku kira, "Iya".
Kini keputusanku untuk ikut berlibur bersama
Nana semakin kuat. Aku rasa ini terdorong oleh 'ingin membuktikan sesuatu',
yang selama ini tidak pemah aku peroleh atau rasa 'solidaritas perempuan', yang
selalu identik dengan ketergantungan pada orang lain. Pada lelaki.
"Sudah, pergi saja, Tina. Jangan kamu
gubris omongan Mamamu dan si Robby!" Papa merangkul bahuku ketika nonton
TV di malam yang hangat. "Juga lupakan itu si Anton!"
Papa, Mama, dan Robby mengantarkan aku ke
tempat bus malam. Sebelum aku naik ke bus, Mama berulang-ulang mencium pipi dan
memelukku. Saat itu aku merasa jadi boneka tontonan yang aneh bagi penumpang
bus. Bahkan mereka masih saja membuntuti bus yang aku tumpangi sampai batas
kota. Aku tahu itu atas suruhan Mama.
Nana cuma tertawa saja melihat kejadian yang
aku alami. Menjadi anak yang terlahir di atas kehormatan dan kekayaan tidak
melulu enak. Setidak-tidaknya itulah yang aku alami. Ada yang terasa kurang
dalam kehidupanku. Mungkin aku bisa mendapatkannya dari Nana nanti.
Bus malam Yogya-Merak terus meluncur menyambut
pagi yang basah.
Aku sikut Nana. Dia menggeliat. Aku lihat dari
balik kaca jendela bus, di kiri-kanan jalan, banyak orang-orang sebayaku
berdiri. Aku perhatikan malah lebih banyak kaumku ketimbang lelaki. Mereka
sedang bergerombol di pintu gerbang pabrik-pabrik. Aku lihat mereka sedang
sarapan alakadarnya; bacang, ketan, lontong, atau bubur seharga 100 perak-an.
"Mereka karyawan pabrik," Nana sudah
bangun. Dia menghaluskan sebuah kata yang tidak enak, 'buruh', jadi 'karyawan'.
Euphemism yang sia-sia buatku.
Di Indonesia segalanya memang serba dihaluskan
agar kedengaran manusiawi. Nanti bisa menyinggung perasaan. Bisa dibilang bukan
bangsa yang beradab. Wah, jangan-jangan sebutan 'piembunuh' bisa dirubah jadi
'mengambil nyawa' atau 'korupsi' bergeser jadi 'menyembunyikan uang'. Ini juga
euphemism yang sia-sia.
Aku lihat betapa banyak pabrik berdiri di
tanah-tanah produktif; menghimpit perkampungan dan persawahan. Sedangkan yang
aku tahu tentang arti nama kota "Serang" bukankah "sawah"?
Tapi, ke mana sekarang sawah-sawahnya?
"Pabrik sudah merajalela di sini. Jauh
berbeda ketika aku masih kecil, Tina. Persawahan di mana-mana. Sungai yang
bening, anak yang menggembalakan kerbau serta itik, jadi lukisan
sehari-hari," Nana rupanya merasakan pikiranku.
Episode 4
Senja di Selat Sunda
Nana menceritakan keprihatinannya yang lain,
"Sekarang polusi sudah bukan milik orang kota lagi, tapi mulai merambah ke
kampung-kampung. Sungai Cidurian, batas Serang-Tangerang tadi, contohnya. Semua
penduduk yang hidup di sepanjang Sungai Cidurian kini merasakan tak bisa nyaman
lagi memanfaatkan airnya yang sudah tercemar. Mereka jadi korban segala macam
penyakit yang kini mewabah.
"Aku benci sekali, Tina, dengan boss-boss
pabrik itu, yang cuma mau memikirkan keuntungannya saja tanpa mau memperhatikan
kehidupan lingkungan di sekitar pabriknya. Mereka saling tuding; melemparkan
tanggung jawab. Dan, memang, sangat pintar serta licik bersembunyi pada
kebijakan pemerintah."
Aku manggut-manggut. Ternyata bukan cuma Teluk
Jakarta saja yang hancur biota lautnya, karena limbah sialan dari pabrik-pabrik
yang berjejer di dua belas sungai yang bermuara di perairan Tanjung Priuk itu.
Tapi sungai-sungai di kampung pun bernasib sama. Ini buatku seperti pertanda
dari Tuhan, bahwa jika alam dirusak, maka akibatnya malapetaka.
Tapi aku tidak pernah memikirkan hal-hal
seperti itu. Paling-paling sesekali, jika ada dompet bencana alam
dikoran-koran, aku suka iseng mengirimkan uang agar namaku tertera di koran.
"Kamu tahu, Tina, apa dampaknya yang lain
dengan adanya pabrik-pabrik itu?"
Aku menggeleng.
"Krisis pembantu!"
Aku hampir saja tertawa.
"Sekarang, Tina, gadis-gadis kampung
lebih tergiur kerja di pabrik daripada jadi pembantu. Kenapa? Karena kalau
kerja di pabrik, kata mereka, ada santainya. Bisa saling lirik jika ada cowok
cakep, ngegossip, dan tentu statusnya lebih bergengsi dibandingkan dengan
pembantu.
Padabal gaji seorang karyawan pabrik seperti
mereka tidak lebih tinggi dari pembantu rumah tangga."
Aku mendengarkan 'sarapan pagi' dari Nana
dengan 'lahap'. Ini 'menu' istimewa buatku, yang tidak pernah tersedia di 'meja
makan' di rumah.
Nana berdiri. Melihat ke depan."Sebentar
lagi kita turun, Tina," katanya.
Bus berbenti di mulut by pass. Agak di luar
kota. Dibutuhkan waktu bampir 14 jam perjalanan melintasi malam untuk sampai ke
sini. Perjalanan yang 'menyebalkan'. Seluruh tubuhku terasa gatal, dan bau
keringat. Mulut pun begitu pahit dan tidak sedap baunya.
Aku seret ranselku yang masih baru. Perjalanan
belum berakhir. Kami menyambung lagi dengan bus kecil. Dari terminal bekas ibu
kota eks Karesidenan Banten ini, bus meluncur 25 Km ke arah selatan. Aku
sebetulnya sedang bermimpi mandi di bathtub, membasuh badan yang bau dan
lengket oleh keringat. Lantas berbaring di kasur empuk. Tapi mau tidak mau aku
harus merasakan dan menikmati 'penderitaan' ini.
Beberapa saat setelah itu, "Heh,
bangun!" Nana menyikut sambil tertawa lucu.
Aku tersentak. Kaget juga. Aku tidak
mempercayai apa yang terjadi. Aku tertidur tadi? Di atas bus? Kalau saja Papa,
Mama, Robby, dan Anton tahu! Tapi aku tidak sempat memikirkannya lagi, karena
Nana sudah berada di pintu belakang bus. Aku tergesa-gesa dan agak malas
mengikutinya.
Kini udara sejuk menyelimuti tubuhku. Aku
lihat Gunung Karang menjulang di depanku. "Sudah sampai?" aku duduk
di trotoar sambil memeluk ransel. Menunduk dan menyembunyikan kepalaku ,di
antara kedua lenganku. Aku mencoba untuk tidur lagi. Rasanya seluruh tubuhku
begitu berat untuk digerakkan.
Nana tertawa. Dia ikut duduk. Berbisik,
"Kita jalan kaki sekarang. Nggak jauh, kok." Suara ringkikan kuda
tiba-tiba menyusup ke telingaku. Tak tik tok, tak tik tok…, tapal kakinya
beradu merdu dengan aspal jalanan. Ah. aku jadi teringat kotaku. Yogya. Tampak
satu-dua delman tertatih-tatih turun-naik di jalan kota, yang terletak pada
perbukitan lereng gunung.
Aku nikmati keadaan kota yang bersih, sejuk,
dan lengang. Tak ada becak yang hampir berjubel seperti di Yogya atau Serang
yang panas tadi. Kata Nana, selain kondisi jalannya yang banyak tanjakan,
pemerintah daerah pun melarang transportasi roda tiga yang suka disebut sebagai
biang kemacetan di kota besar. Dan penggantinya motor ojek bersliweran jadi
primadona, mengangkuti ibu-ibu kampung yang belanja di pasar.
Betapa lengang kota berhawa sejuk ini. Selain
delman dan motor ojek tadi, sesekali bus antarkota melintas di jalan-jalan kota
yang lebar, ditimpali tawa ceria anak sekolah. Seolah-olah kota yang miring ke
timur di lereng gunung ini lebih suka dengan kondisi gunung yang sepi daripada
hingar-bingar seperti Puncak Pass. Terbukti dengan tidak adanya bioskop, yang
merupakan salah satu ciri utama sebuah kota.
Sekitar sepuluh menit kemudian, aku melihat
Nana diserbu seorang gadis kecil usia sepuluh tahunan. Mereka berpelukan
melepaskan rasa kangen.Aku tak pernah mendapatkan suasana seperti ini. Rasa kangenku
cuma sebatas pada hadiah atau oleh-oleh yang dibawa Papa, Mama, atau Robby
sepulang dari bepergian.
"Ini Mia, adikku yang bungsu," Nana
menarikku ke sebuah rumah yang persis di kelilingi pepohonan; mangga, jambu
air, pisang, rambutan, dan masih banyak lagi. "Rumahku!" katanya
tersenyum bangga sambil membuka kedua lengannya lebar-lebar. Ayah Nana bekerja
di instansi pemerintah dan ibunya seorang guru di sekolah dasar. Sedangkan adik
lelakinya, Uus di SMA, dan Maya di SMP. Semuanya meninggalkan rumah di pagi
hari. Cuma Mia, sekolah siang di SD, dan seorang pembantu yang menunggui rumah.
Aku terkesiap. Betapa nyaman dan asri
rumahnya. Tiang-tiangnya dari batang pohon. Temboknya setengah bata dan sisanya
dari bambu. Atapnya terbuat dari weulit, daun kelapa yang sudah kering kena
sinar matahari. Sangat menyatu dengan alam. Dan sayup-sayup aku dengar suara
air gemericik.
"Di belakang rumah ada sungai!" Nana
menegaskan.
Aku semakin terpesona.
"Teh, tadi malam Aa Yanto dan Aa Eri ke
sini," Mia mengabarkan sambil menggelayut manja.
Belum juga sampai di pintu depan rumah, aku
melihat perubahan yang dahsyat di wajah Nana. Warna merah menjalar dan sorot
matanya tajam. Kalau sudah begini, berarti pertanda buruk. Aku hafal betul
dengan kemarahan Nana. Mia tampak merasa bersalah sudah mengabarkan sesuatu
yang membuat kakaknya tidak suka. Dia berlari ke dalam rumah yang kosong. Dan
bersembunyi di dalam kamarnya.
Nana melempar ranselnya ke sudut ruangan
tengah. Dengan kesal dia membanting tubuhnya ke kursi."Huh, si Eri!"
napasnya terlontar gemas. "Setahuku itu anak ada di Kalimantan!"
gerutunya. "Ah, kenapa si brengsek itu diajak!"
Tampaknya Nana 'alergi' pada nama 'Eri'. Tapi,
siapa 'Eri '? Nana cuma pernah cerita padaku, bahwa Yanto adalah ketua kelompok
pecinta alamnya selagi di SMA. Liburan semester ini, Yanto memberi kabar
rencana reuni kelompok PA-nya di wilayah Kanekes, Rangkasbitung. Siapa 'Eri',
aku belum pernah mendengar Nana menyebut atau menceritakan nama lelaki itu.
Tentu aku bisa menanyakannya nanti. Sekarang aku cuma ingin berbaring di atas
kasur dan melunaskan tidurku yang tidak komplet di atas bus malam Yogya-Merak.
***
Episode 5
Senja di Selat Sunda
Mendung di Hati Nana
Alun-alun kota ini penuh tepuk-riuh oleh
orang-orang yang menonton pertandingan sepakbola antarkampung. Di keempat sisi
jalannya yang saling mengikat, warna-warni oleh gelak tawa anak sekolah yang
latihan baris-berbaris dan drum band. Hampir seluruh penduduk kota menghabiskan
sisa hari dengan menonton pertandingan olahraga, bermain, sekadar berkumpul,
atau apa saja di sini.
Kota yang mempunyai legenda Ki Amuk, meriam
yang suka memporak-porandakan kampung, keramaiannya terpusat di alun-alun. Lalu
untuk menyelamatkan kehidupan rakyat, disuruhlah seorang pande besi dari
kampung Kadu Pandak membuat anting-anting gelang. Diangkutlah meriam Ki Amuk
itu ke Banten Lama. Lantas orang pun latah. Kampung pande besi yang menjadi
tempat gelang-gelang itu dibuat disebut "Pandeglang".
Tapi ada versi lain tentang Pandeglang yang
"Betah" (Bersih, Endah, Tertib, Aman, dan Hidup), yaitu berasal dari
ungkapan "paneglaan". Artinya, tempat melihat ke arah lain dengan
jelas. Versi terakhir menyebut kota berhawa sejuk yang berada 776 M di atas
permukaan laut ini berasal dari kata "Pani-Gelang", yang berarti
tepung gelang. Tapi, bagaimana dan apa pun asal-usulnya, kota ini seperti tetap
memilih "diam" dulu daripada melaju seperti yang terjadi di dua
kabupaten lainnya; Serang dan Lebak.
"Nonton bola, ya!" Nana menuju pintu
gerbang. Alun-alun kota ini dipagari besi. Ada empat orang perempuan menjaga.
Di tangan mereka tergenggam segepok karcis masuk. Sebetulnya nonton di luar
pagar pun bisa. Tapi, tentu lebih mengasyikkan jika kita masuk ke kawasan di
dalamnya. Nana merogoh saku celana army look kegemarannya. Dua ratus rupiah per
orang. "Cuci matalah!" dia tertawa.
Sudah seminggu aku di sini.
Nana membawaku ke seluruh lekuk pesona Banten.
Dari mulai wisata sejarah di situs purbakala Banten Lama, wisata kota di Serang
dan pabrik baja Krakatau Steel di Cilegon, wisata bahari di Pantai Anyer,
Salira, dan Carita, serta dua hari yang lalu mendaki Gunung Karang.
Dari alun-alun kota aku bisa melihat gunung
Karang dengan jelas dan takjub. Persis di depan mata. Seperti hendak membentur
kening. GunungKarang yang cuma 1778 meter itu punya legenda Sumur Tujuh.
Legenda ini hermula dari Syekh Mangyur yang pulang dari Tanah Arah dan muncul
tujuh kali di puncak Gunung Karang. Bekas kemunculannya itu meninggalkan jejak
tujuh buah sumur, yang sering diziarahi orang untuk minta berkah. Atau legenda
yang lain, tentang putri cantik Lenggang Kencana yang dikawini raja jin, karena
bosan digodai jejaka-jejaka kampung. Konon, kalau ternak-ternak di kampung
mati, itu artinya di kerajaan jin Lenggang Kencana sedang ada pesta besar!
"Masih kuat ke Baduy?" Nana
menyebutkan nama penduduk yang mengasingkan diri di wilayah Kanekes,
Rangkasbitung, Banten Selatan.
Aku tersenyum dan mengangguk. Baduy adalah
babak akhir dari episode "Liburan Di Banten". Rencananya dipimpin
oleh Yanto, bersama beberapa orang anggota PA lainnya, kami akan menjelajahi
wilayah Kanekes, yang terlindung di antara Pegunungan Kendeng, di mana orang
Baduy bermukim.
Aku sangat ingin pergi ke Baduy. Rasanya kalau
cuma mendengar atau membacanya saja dari koran atau buku, bahwa orang Baduy itu
beginilah dan begitulah, tidaklah komplet. Dari buku yang pernah aku baca saja,
riwayat orang Baduy atau Kanekes sampai kini masih menimbulkan perdebatan.
Beragam versi dilontarkan. Oleh kaum birokrat, mereka dicap sebagai suku
terasing. Mereka dianggap "tidak berbudaya". Itu artinya tidak sama
atau berbeda dengan "kita", masyarakat "yang berbudaya".
Kadang kala dengan kondisi seperti ini suka menimbulkan konflik. Terbukti
"penolakan" orang Baduy terhadap proyek-proyek birokrasi. Pembangunan
sekolah dasar, puskesmas, dan "bantuan" lainnya.
Di kalangan antropolog saja masih mendua.
Versi yang satu, orang Baduy adalah sisa-sisa keturunan masyarakat Padjadjaran.
Ketika kerajaan Hindu besar itu jatuh ke tangan Islam, ada sekelompok bangsawan
dan pengawalnya yang melarikan diri ke pedalaman. Mereka memilih mengasingkan
diri di tempat terpencil, yang sulit dijangkau oleh orang luar. Wilayah Kanekes
yang ditindih oleh Pegunungan Kendeng, dipeluk oleh hutan rimba, dan dililit
oleh beberapa sungai, memang cocok sebagai tempat persembunyian.
Versi yang lainnya sangat berbeda. Menurut
cerita rakyat, para tetua, dan tokoh Baduy, mereka menyebut tentang Ratu Banten
yang melarikan diri dengan menyusuri Ciujung sampai ke hulunya di Pegunungan
Kendeng, karena diserang oleh Sultan Maulana Hasanuddin, yang sedang
menyebarluaskan ajaran Islam. Akhirnya Ratu Banten menyerahkan kampung Cicakal
sebagai taklukan kepada Sultan untuk di-Islam-kan, dengan syarat
kampung-kampung lainnya di wilayah Kanekes tidak diusik keberadaannya. Bukti
versi ini sangatlah mendukung. Yaitu kampung Cicakal yang seluruh penduduknya
beragama Islam.
Kami mengambil tempat di sudut alun-alun.
Duduk selonjoran di rumput sambil makan kacang rebus. Memperhatikan orang-orang
yang sedang asyik nonton bola. Kadang kala beberapa kawan lama di sekolahnya
menegurnya. Beberapa saat mereka saling menanyakan kabar serta perkembangan
kuliah.
Aku tahu kenapa Nana memilih tempat ramai
seperti ini, karena sedang kesal terhadap keikutsertaan Eri ke Baduy. Jika Nana
sedang marah, tempat-tempat sepi selalu dihindarinya, karena dia bisa
teriak-teriak seperti orang gila nanti. Kalau teriak-teriak di tempat ramai
'kan malu. Itulah alasannya kenapa sekarang kami nongkrong di alun-alun nonton
bola.
"Kalau keberatan Eri ikut, ya sudah, aku
pulang ke Yogya," aku mencoba mengerti.
Nana terus saja mengunyah kacang rebus.
"Betul nggak akan berubah pikiran?"
Nana mengangguk ala kadarnya.
"Padahal Eri cakep, lho!" aku
meledek.
Nana melotot.
Aku mengenal Eri pada hari pertama liburanku
di sini. Yanto datang bersama Eri di sore hari. Tubuhnya tinggi langsing dan
berkulit putih bersih. Pakaiannya serba jeans yang compang-comping. Rambutnya
gondrong tidak beraturan. Berkesan bohemian dan tidak mengenal tata krama.
"Well, rupanya ini anak Yogya!"
sebuah permulaan dari Eri, yang kedengaran sangat meremehkan. "Apa kuat
nanti ke Kanekes? Jalannya naik-turun, lho!" tambahnya ke babak yang lain.
Aku tersenyum kecut.
Episode 6
Senja di Selat Sunda
Ketika kami saling berjabatan tangan dan
menyebutkan nama, tanganku digenggam Eri dengan penuh. Cukup lama. Aku
merasakan getaran yang aneh. Kalau saja tidak karena Nana yang mengusikku,
mungkin aku sudah berada di dunia yang lain. Sebuah pengalaman yang aneh
buatku.
Aku mulai menyadari, kenapa Nana tidak
menyukai Eri. Ini menyangkut soal perasaan seorang wanita. Eri memang punya
daya tarik yang luar biasa. Semua wanita pasti akan sependapat denganku jika
mengenal Eri. Dia maskulin, betul-betul seorang lelaki.
Aku saja langsung terpesona. Terutama pada
matanya. Bolanya bening dan hitam berkilat-kilat seperti hewan liar. Tapi tidak
setiap saat aku bisa mencuri-curi untuk menikmati keindahan matanya yang
misterius bagai lautan itu, karena wajahnya yang tampan sesekali tertutup oleh
rambut bagian depannya yang panjang.
Tapi Eri memergoki aku sekali waktu. Dia cuma
tersenyum. Sangat menggoda. Aku tidak berani menikmati senyumnya lagi. Ini bisa
menjebak. Aku pikir, ini mungkin yang disebut "pelet" itu.
"Kapan pulang dari Kalimantan, Eri?"
pertanyaan dari Nana ini terdengar cuma basa-basi, untuk membelokkan perhatian
Eri padaku.
"Seminggu yang lalu."
"Katanya mau jadi orang Dayak!"
Eri menggeleng.
"Katanya ingin mencari arti hidup yang
sesungguhnya!"
Eri tersenyum kecut.
"Katanya nggak akan pulang sebelum dunia
dijelajahi!"
"Kamu sinis sekali, Nana!" Eri
menengadah.
Nana menatap Eri dengan perasaan kesal.
Aku rasakan suasana dalam sekejap saja berubah
jadi gerah. Ujung dan pangkalnya cuma ada di antara Nana dan Eri. Entahlah
siapa yang lebih dulu tersulut. Aku pikir mereka menjadi sumbu sekaligus
apinya. Ini persoalan pribadi, yang cuma bisa dirasakan dan diselesaikan oleh
mereka berdua. Palihg-paling soal "cinta". Geli juga. Ternyata Nana
yang keras kepala pernah punya kisah buruk dengan "cinta".
Di kampus Nana paling tidak peduli pada
lelaki, walaupun kawan sehari-harinya hampir melulu lelaki. Sebatas bergaul sih
oke-oke saja. Tapi kalau sudah menjurus ke soal cinta, dia langsung pasang
pagar pembatas. Padahal banyak lelaki di kampus, mulai dari anak pecinta alam,
resimen mahasiswa, sampai yang doyan rally dan pesta, mendambakan Nana. Tapi
dia tidak (mungkinbelum) terusik.
"Apa yang bisa diharapkan dari lelaki
zaman sekarang, Tina, selain kita cuma jadi objek mereka saja?"
Itu kata Nana, ketika aku menyindirnya untuk
memilih salah seorang di antara mereka.
Sekarang aku mulai mengerti; kenapa Nana
selalu bersikap menjaga jarak terhadap lelaki. Mungkin Eri adalah
"gelas"nya yang pernah "retak".
"Kamu ikut juga ke Kanekes, ya!"
nada dari Nana terdengar tidak setuju.
Aku lihat Eri mencoba menahan gejolaknya
dengan mempermainkan rambutnya yang gondrong; menyibakkan, menyatukan, dan
mengikatnya dengan karet seperti buntut kuda. Tiba-tiba aku bisa melihat
wajahnya dengan jelas. Semakin tampan, tapi menyimpan kekerasan hidup. Dan
matanya tampak semakin liar.
"Aku yang mengajak Eri, Nana," Yanto
menjelaskan. "Takut ada apa-apa," tambahnya.
"Takut ada apa-apa, bagaimana?!" Nana
ketus sekali.
"Kali ini kita masuk lewat jalan
belakang, yang sebetulnya nggak diizinkan. Bisa dua atau tiga malam untuk
sampai ke Cikeusik," Yanto menerangkan betapa panjangnya perjalanan untuk
mencapai tangtu, perkampungan Baduy Dalam.
Untuk mencapai tangtu, yang terdiri dari
Cikeusik, Cikartawana, dan Cibeo, bisa ditempuh lewat tiga jalan. Melalui
Ciboleger sebagai pintu gerbang utara, pintu barat melewati Kroya, dan selatan
melintasi tambang emas Cikotok. Tapi satu-satunya jalan yang diizinkan oleh
puun, penguasa adat dan religi masyarakat Kanekes, adalah melalui kampung
Ciboleger. Ini memang rute untuk turis. Jalannya pun sudah disediakan khusus
dengan pos-pos tertentu. Sedangkan lewat pintu barat dan selatan sangat tabu,
karena kalau tidak hati-hati bisa-bisa "menginjak" tanah larangan
seperti Arca Domas dan Sasaka Domas, tempat suci bagi orang Kanekes, yang
lokasinya tidak diketahui di mana.
"Ini nggak ada dalam perjanjian!"
Nana bersikeras.
"Lho, kita 'kan nggak pernah bikin
perjanjian?" Yanto berlagak bingung sambil tertawa kecut.
Nana menggerutu.
"Apa hak kamu ngelarang aku ikut,
Nana?" Eri bergetar suaranya. "Selain aku alumni PA sekolah, toh
wilayah Kanekes bukan punya nenek moyangmu?"
"Eri 'kan senior kita, Nana," Yanto
mengingatkan.
Nana menggigit bibirnya. Memandang ke arahku
seperti meminta bantuan. Nana memang sudah bersikap sinis terhadap Eri, tapi
perkataan Eri tadi pun sangat menyudutkan Nana. Aku berusaha untuk bersikap
biasa-biasa saja, walaupun perasaanku tertekan. Bagaimanapun Nana adalah
sahabatku. Aku merasakan apa yang sedang bergejolak di dalam hatinya, karena
untuk urusan "cinta", wanita lebih mengandalkan perasaan ketimbang
pikiran.
Tiba-tiba Nana tidak bisa menahan gejolaknya.
Dia berlari ke dalam rumah.
Aku pada mulanya seperti patung bego yang
kebingungan. Tapi setelah melihat Yanto memberi isyarat, aku mengejarnya. Tapi
Nana membanting pintu dan menguncinya dari dalam.
"Begitulah Nana kalau sudah ketemu
Eri," kata ibunya. "Mereka masih kayak anak kecil," wanita
cantik setengah baya ini tertawa lucu.
Aku semakin yakin kalau Nana dan Eri pernah
ada "apa-apa". Ibu Nana saja sudah begitu maklum; seolah-olah
kejadian seperti ini bukan sekali-dua kali terjadi. Aku kembali ke halaman
belakang. Aku lihat Eri dan Yanto sedang beradu mulut.
"Aku bilang apa!" sungut Eri.
"Jangan bawa-bawa aku! Berantakan jadinya!"
"Ah, kapan dewasanya sih kalian!"
Yanto menimpali.
"Bukan aku, Yanto ! Tapi, dia yang nggak
mau dewasa!"
"Sama aja! Itulah sebabnya, kalau punya
cewek jangan ditinggal lama-lama!"
"Ah, itu lagi yang dipermasalahkan!
"
"Ya, apa lagi?" Yanto tamlpak kesal
sekali. "Kamu 'kan tahu, berapa cewek yang patah hati gara-gara
kamu?!"
"Tapi, 'kan nggak berarti aku harus
selalu di sisinya!"
"Ya, ya! Tapi, mana kabar-kabarmu pada
Nana setelah meninggalkan Yogya? Kamu tampaknya semakin egois dengan
kenikmatanmu traveling, tanpa pernah mau tahu bahwa ada seorang wanita yang
selalu mengharapkanmu.
Episode 7
Senja di Selat Sunda
Misalnya, secuil khabar darimu kek lewat kartu
pos! Syukur-syukur mau menelepon! Eh, tiba-tiba kamu nongol di depan aku. Di
depan semua orang. Di depan Nana pula! Setelah tiga tahun ngilang!" Yanto
seperti menumpahkan kejengkelannya.
Eri menarik napas. Dia tampak geram entah pada
siapa. Posisinya sangat sulit untuk menyalahkan "siapa" atau
mengkambinghitamkan "apa" saat ini.
"Ayo, kamu mau bilang apa?" Yanto
menyudutkannya.
"Kamu yang ngajak aku ikut ke Baduy,
Yanto!" nada Eri kesal. "Sekarang aku nggak ikut!" bentaknya.
"Hey, jangan kayak anak kecil gitu,
dong!" Yanto baru sadar. "Ayolah, jangan campur adukkan soal Nana
dengan rencana reuni PA. Aku butuh kamu!" Yanto mencekal bahunya.
"Ya, lewat rute normal aja!"
"Ah, bosan dong!"
"Aku nggak kepingin ngerusak acara liburannya!
Kasihan tuh si Tina, jauh-jauh datang dari Yogya!"
Aku berdehem; mengingatkan mereka bahwa aku
bukan patung. Mereka mencoba mengembalikan suasana menjadi tenang lagi.
"Gimana, ada perkembangan ?" Y anto
mendekati.
"Kamarnya dikunci," kataku
tersenyum. "Ini pasti gara-gara kamu, Eri."
"Lho, kok aku?" Eri tertawa kecut.
"Kamu apain Nana?" kejar aku.
"Kamu pikir, aku 'Drakula'? Suka ngisep
darah perempuan?" Eri tampak berang.
Yanto tertawa keras.
"Kamu jangari cerita macam-macam, Yanto!?"
Yanto menggeleng.
"Ini pasti soal cinta!" tembakku.
"Tuh 'kan, apa kubilang!" Yanto
tertawa lagi.
Eri salah tingkah. Dia tampak begitu terpukul.
"Aku sebetulnya kepengen banget ikut, Yanto. Di rumah, kamu tahu, masih
saja kayak neraka. Tapi, kalau kenyataannya Nana nggak bisa nerima aku lagi, ya
kenapa harus dipaksakan."
"Jangan pesimis," Yanto tersenyum
menghibur.
" Aku memang salah. Egois. Selama ini
cuma memikirkan kesenanganku saja; pergi dari satu kota ke kota lainnya tanpa
pernah memberi kabar padanya.
"Sekarang, setelah tiga tahun tanpa kabar
berita, datang begitu saja dan memaksa ikut reuni PA sekolah.
Ini acara kalian, bukan acaraku."
"Hey, hey, kamu 'kan senior kami. Nggak
ada alasan buat kami untuk melarang kamu ikut. Apalagi di antara kami, cuma
kamu yang tahu rute jalan belakang itu."
"Aku, memang, sudah menyia-nyiakannya.
Tapi, ah, sudahlah!" Eri tampak putus asa sekali.
Aku meminta penjelasan pada Yanto.
"Yakinkanlah dia, Yanto, bahwa aku
sebetulnya nggak berubah."
"Aku udah nyerah!" Yanto mengangkat
bahu.
"Setidak-tidaknya, aku masih ingin
bersahabat."
"Sekarang, nih! Minta tolong sama
dia!" Yanto menunjuk ke arahku.
Eri menatapku tajam. Tersenyum. Mengangguk.
Lalu pergi meninggalkan seribu tanya di hatiku. Aku masih belum mengerti,
walaupun ini lagi-lagi soal "cinta".
"Apa dia bakalan ikut ke Baduy?"
Yanto mengangguk. "Bagaimana dengan
Tina?"
"Mereka bisa membedakan mana untuk urusan
pribadi dan mana untuk urusan orang banyak."
"Kamu yakin?"
Yanto tidak mengangguk.
"Kamu mesti cerita soal ini, Yanto,"
kataku.
"No comment!" Yanto menuju dapur.
Aku memburunya. Yanto mengambil air es di
kulkas. Menyambar sepotong pepaya yang baru saja diletakkan di piring oleh ibu
Nana.
"Eri mana?" wanita itu melongok ke
halaman belakang.
"Biasa, kabur!" Yanto menyambar
sepotong lagi. "Kawinin aja sih, Bu!"
"Huss, ngomong sembarangan kamu!"
ibu Nana tersenyum.
Yanto tergelak-gelak dan menarik aku ke teras.
"Sekarang tergantung sama kamu,
Tina!" katanya sambil mohon pamit.
Tinggal aku yang kebingungan di teras. Ini di
luar rencana semula, bahwa liburanku ini akan ada sedikit ganjalan. Aku begitu
ingin melihat Baduy, suku asli Sunda itu. Tanpa Nana, tentu keinginanku itu
tinggal harapan.
Aku ketuk pintu kamar Nana.
Beberapa saat kemudian Nana muncul membuka
pintu. Tersenyum, "Maafkan aku ya, Tina." Matanya tampak merah.
"Kamu sedang nggak mau diganggu,
Na?"
"Ayolah," Nana membetotku ke dalam
kamar. "Udah pada pulang?"
Aku mengangguk. Duduk di bibir pembaringan.
Mencoba menyelidiki apa yang terjadi pada hatinya. Untuk memahami perasaan
kawan kita, terlebih dalam persoalan cinta, dibutuhkan kesabaran dan rasa
pengertian. Kata Mamaku, "Harus diemong." Tapi aku belum pernah jadi
seorang ibu, sehingga omongan Mama belum bisa aku buktikan.
"Jangan ngelihat aku kayak gitu,
dong," Nana serba salah.
Aku tertawa melihat wajah Nana memerah seperti
itu. Kalau saja anak-anak PA di kampus tahu apa yang sedang terjadi pada Nana
sekarang, aku yakin mereka akan merasa surprise.
"Nggak akan cerita soal Eri?"
pancing aku.
Nana menggigit bibirnya.
"Kamu merahasiakan sesuatu, Nana."
Nana menuju jendela kamar. Betapa sentimentil
dia. "Liburan kamu kayaknya..."
Aku buru-buru memotong, "Oh, jangan
sampai itu terjadi, Na! Kamu udah janji akan membawaku ke seluruh pesona
Banten. Ingat, kamu yang mengajakku kemari," aku berusaha menyudutkannya.
"Tapi tanpa Eri."
"Tanpa atau dengan Eri, buatku nggak ada
bedanya. Kamu nggak pernah menyinggung-nyinggung soal ini sebelumnya."
"Aku minta pengertianmu, Tina. Ini
terlalu rumit."
"Bagaimana aku bisa mengerti kalau
persoalannya sendiri aku nggak tahu? Masa cuma gara-gara nggak ketemu sama Eri
selama tiga tahun, kamu korbankan aku?" Nana menatapku, "Yanto cerita
apa?"
"Pasti ada 'apa-apa' dengan Eri."
"Siapa yang cerita?"
Aku tersenyum menang, "O-o, ini bisa jadi
headline di buletin kampus!"
Episode 8
Senja di Selat Sunda
"Liburanmu berakhir sampai di sini."
"Aku pulang."
"Silakan."
"Bener?"
Nana tampak kesal sekali.
"Tampaknya Eri sangat istimewa di hati
kamu."
"Sekarang nggak."
"Sekarang pun masih."
"Bagaimana kamu bisa ngomong
begitu?"
"Dari cara kamu memperlakukan dia."
"Aku nggak bermanis-manis sama dia."
"Nggak harus bermanis-manis, kok."
"Lantas?"
"Perasaan itu nggak bisa dibohongi.
Itulah unsur yang masih tersisa dimiliki oleh manusia, yang bisa kita
percayai."
"Udah mulai berfilsafat kamu."
"Filsafat cinta!" aku tertawa
gembira.
"Emang bagaimana gitu perasaanku sama
dia?"
"Kamu jawab sendiri aja."
"Versi kamu."
"Versiku?"
Kami tidur-tiduran di karpet. Membicarakan
lelaki memang sangat mengasyikkan bagi perempuan. Aku kira lelaki pun suka
membicarakan tentang wanita di waktu senggangnya. Aku kadang kala suka memergoki
kakakku, Robby dan konco-konconya membicarakan wanita. Bahkan kadang yang
porno-porno diselipkan, sehingga suasananya semakin meriah.
"Kenapa sih dengan Eri?"
"Nggak akan aku ceritakan."
"Nggak perlu merahasiakannya dari aku,
Nana."
"Iya?"
"Ceritain, dong."
"Rasa ingin tahumu besar."
"Siapa tahu aku bisa belajar dari
pengalamanmu."
Nana terdiam. Matanya menerawang jauh sekali.
"Tampaknya ini berat sekali bagi
kamu."
Nana mengangguk pelan. Dalam sekejap matanya
berkaca-kaca.
"Maafkan aku, Nana, kalau ini jadi
membuka luka lamamu lagi," aku merangkul bahunya. Hatiku merasa tidak enak
melihat sahabatku yang baik dirundung duka. "Sudahlah, aku nggak akan
bertanya-tanya lagi soal Eri," janjiku tersenyum menghibur.
Nana menggeleng. "Sebetulnya hal ini tak
ingin aku ceritakan, Tina. Pada siapa saja. Selama ini aku sudah kuat
memendamnya sendirian. Tapi, begitu tadi melihat dia setelah berusaha aku
lupakan selama tiga tahun, aku mulai merasakan, bahwa ini terlalu berat untuk
ditanggung sendirian. Aku harus membagikan kisah dukaku ini pada orang lain.
Pada seseorang yang aku percayai," Nana terisak-isak.
Aku menatapnya. Berusaha meyakinkannya, bahwa
aku bersedia menjadi orang yang diberi kepercayaannya. "Aku siap
mendengarkannya, Nana. Ceritakanlah, kalau itu bisa membuat hatimu lega,"
aku mengusap air matanya yang mulai jatuh.
"Tapi janji ya, nggak cerita sama
temen-temen!"
Aku memastikannya.
"Betul kamu akan siap mendengarkan
ceritaku?"
Aku mengangguk.
"Tapi tidak sekarang."
"Kapan?"
"Besok sore kita ke Pantai Carita. Aku
ingin menikmati senja di Selat Sunda."
Aku menatapnya tidak berkedip. Aku kini
semakin yakin, bahwa Eri memang istimewa dihati Nana. Mereka pasti pernah
melalui jalan-jalan yang indah penuh bunga.
Yang paling aku sukai tentu ketika Nana
mengajakku menikmati senja di Pantai Carita keesokan harinya. Kami menyewa
sebuah kamar yang menghadap ke laut agar bisa leluasa melihat bola merah
raksasa yang akan tertelan batas horison Selat Sunda. Aku lihat Nana saat itu
sangat romantis dan melankolis sekali. Hal yang tidak pernah aku lihat
sebelumnya pada diri Nana.
"Senja di Selat Sunda," aku
bersajak.
Aku lihat Nana tersentak.
"Tempat ini menyimpan banyak kenangan
buat kamu, Na?"
Nana tersenyum getir.
"Pasti Eri."
Nana menutup wajahnya.
Senja di Selat Sunda menggetarkan hati.
"Ayo, ceritalah," aku sudah tidak
bisa bersabar.
Bola mata Nana menerawang lagi. Berkeliaran ke
mana-mana. Wanita cantik dan perkasa itu sedang mengumpulkan kenangannya.
"Ini bisa semalam suntuk. Kamu tahan
udara pantai?"
Aku mengangguk.
Dan pelan-pelan dia bercerita tentang
"luka" nya, yang selama ini rapih tersimpan di sudut hatinya yang
dalam. Sampai senja berakhir. Sampai bulan empat belas muncul serta cahaya
peraknya memantul di permukaan laut.
***
Episode 9
Senja di Selat Sunda
Rhapsodi Pertemuan
Amplop lusuh itu tergeletak di meja belajar
Nana. Tak ada kesan istimewa dari bentuknya. Cuma dihiasi strip
merah-putih-biru di keempat sisinya. Amplop murahan yang harganya paling-paling
seratus perak tiga biji.
Sambil membuka sepatu dan menggantungkan tas
di pinggiran lemari, Nana terkesiap ketika membaca nama si pengirim. Nana
menendang sepatu ke kolong tempat tidur dan langsung rebahan tanpa mengganti
baju seragam dulu di tempat tidur.
Dengan rasa ingin tahu yang besar Nana merobek
bagian pinggir amplop:
Dearest, Nana!
Aku tiba di Yogya pukul 11.00 keesokan
harinya. Aku ngeluyur ngikutin kaki dan hati sambil terus bergumam: Aku mesti
menang! Aku mesti menang!
Lalu aku terdampar di pojokan alun-alun. Aku
punya " kompas " sekarang. Pasrahkan pada yang di atas. Whatever will
be, will be! So, aku kenalan dengan Steven, Gondrong, Alex, dan masih banyak
lagi. Mereka baik-baik. Pengamen dengan ratusan jam terbang. Mereka bukan
unggul di gitar; tapi di lagu. Puluhan lagu mereka hapal, tapi aku? Tak pernah
aku berusaha sebelumnya menghapal lirik-lirik lagu. Aku pikir itu tak begitu
penting. Ternyata sekarang begitu penting.
Mereka peace man, Nana. Selalu cari teman. Aku
diterima di "kantor" mereka. Aku "ngantor" pagi dan
"pulang" malam; Aku masih terus mengamati dan waspada terhadap segala
sesuatu. Ini sebuah."negara". Campur baur: Ada Ambon, Jawa, Sunda,
Batak, Palembang, orang sinting, gembel, pengompas, pelacur; campur aduk. Aku
dapat kamar Rp. 15.000/bulan. Fasilitas lengkap; dipan, tikar, bantal, dan si
‘mbok yang sudah punya cicit manis-manis.
Kawan-kawan baruku selalu bertanya, "
Ngapain ke Yogya?" Aku bilang cuma main-main. Aku iri melihat mereka enjoy
tiap hari. Dapat uang seribu-dua ribu perak. Sisakan untuk makan dan bus.
Sisanya patungan untuk mabuk -mabukan. Aku juga...
Aku punya cerita, Nana. Kemarin ada anak yang
lapar ngajak aku ngamen. Selagu-dua lagu. Aku pikir, ayolah dimulai sambil
nolong tuh anak. Aku nyanyikan lagu kesenangan kita "More than words"
di depan bule. Olala, suaraku nggak lepas. Padahal itu bule (cewek lagi) udah
interest. Penampilan pertama yang buruk. Lalu keliling meja lainnya. Mulai
lancar. Dapat berapa perak, aku nggak peduli. Aku cuma tanya sama anak itu,
"Cukup buat makan?" Dia bilang cukup. Udah makan sana. Hehehe, aku
bisa ngasih orang makan. Lumayan, ngurangin dosa.
Itulah cerita awalku di Yogya. Seterusnya aku
mau minta tolong sama kamu. Cariin dong lirik lagu Duran Duran "Ordinary
World (word?)". Itu lagu bagus, buat digenjreng dengan gitar. Kamu tahu,
aku biasa main gitar dipetik. Lagi ngamen begini ternyata kurang klop. Mesti
digenjreng. Sekalian "Blowing in the wind" si Bob Dylan. Gini
lagunya: How many roads, must…. Atau yang lainnya. Pokoknya yang digenjreng.
Nambah deh, "Blood money"-nyaBon Jovi. Koleksi kaset kamu 'kan
komplet.
Nana,
Bagaimana kalau aku jadi orang yang tak
berharga di mata keluarga dan masyarakat? Jadi orang yang serba terpaksa.
Terpaksa kerja. Kataku, ini bahaya. Aku bisa "sakit" seumur hidup.
Terus terang, Nana,
seperti yang pernah kamu lihat di diriku
sebelum berangkat, agak panik juga aku. Huh, kalau saja kebakaran hotel
tempatku bekerja itu tidak terjadi, entahlah apa yang akan terjadi padaku.
Mungkin sekarang aku sudah jadi penyanyi beken, ya. Sekitar 2 tahun, sejak aku
mulai mengisi acara di bar-bar kecil sampai sebelum hotel itu terbakar, aku
menimbang, melihat, dan memutuskan segala kebimbangan. Aku memilih untuk pergi
saja dari rumah, yang masih saja begitu. Takada perubahan. Masih kayak neraka.
Yogya adalah pilihanku, Nana. Aku jadi ingat
lagu Queen. Aku mungkin si "Sammy was low". Just watching the show,
over and oyer again, knews he was time, he made up his mind, to live he dead
behind! Spread your wings! Pull your self together, cause I know I should do
better, just because I am free man.
Bagaimana keadaan rumahku, Nana ? Adakah
Papa-Mama menanyakan tentangku sama kamu? Tak ada pilihan lain bagiku, selain
pergi meninggalkan rumah. Aku harap, kalau mereka memang merasa memiliki anak,
tentu akan menyusulku ke Yogya. Aku kemarin malam interlokal. Mama yang nerima.
Pada mulanya Mama menangis mengharapkan aku pulang. Tapi setelah itu, Mama cuma
menjelek-jelekan Papa saja dengan istri mudanya. Mama mungkin lupa, bahwa
penyebab utamanya juga adalah pacar-pacar muda Mama (Oh, Nana, aku nggak
nyangka kalau kedua orangtuaku doyan "daun muda"!). Aku betul-betul
bodoh selama ini, kalau ternyata kepergian Papa-Mama ke Jakarta selain untuk urusan
bisnis, juga ada "bisnis" yang lain. Nggak kebayang, kalau
berita-berita tentang "daun muda" yang lalu-lalu lalang di pusat
perbelanjaan Jakarta, seperti yang sering kita baca di majalah, digaet kedua
orangtuaku. Tapi, yang lebih kaget lagi, Papa ternyata mengambil salah satu
dari mereka sebagai istri muda-nya! Kalau saja Mama ikut-ikutan latah seperti
Papa, aku lebih baik terus seperti ini: tidak pernah merasa diakui sebagai anak
oleh mereka!
Bagaimana sekolahmu, Na? Sebentar lagi ujian,
ya. Wah, kamu bakal jadi mahasiswi. Kuliah di mana nanti? Di Yogya aja, deh.
Asyik lho di Yogya. Kota ini bisa dibilang "kota internasional".
Turis mancanegara dan lokal nggak ada habis-habisnya. Sambil kuliah nanti, kamu
bisa praktek bahasa di Yogya.
Nana, sambil aku perangi kekhawatiran yang
ada. Kalaupun aku kalah, aku tak kehilangan martabat kemanusiaanku. Pernah aku
bilang padamu, bahwa aku suka sekali bila melihat jembatan. Kenapa? Karena
sekaranglah aku sedang menitinya. Jika aku sampai di ujungnya, aku akan
menengok sambil tersenyum syukur. Oh, betapa manisnya sejarah hidupku. Atau
mungkin aku tak lagi menengoknya. I don't know, yet! Just keep fighting! Aku
tak ingin jadi teroris bagi nuraniku sendiri. Itu penjahat kemanusiaan. Okey, I
am nothing now. But not forever. I wish I could. Dan akhir kata, wish me luck,
Nana! I'll wait your answer!
***
Nana mengenggam surat itu ke dadanya. Dia
betul-betul terpekik sendirian di kamar ketika di luar gemuruh petir
mengagetkan. Surat yang ditulis di atas kertas buku tulis, yang dirobek
sembarangan itu masih digenggam erat-erat. Rasanya seperti baru kemarin dia ada
di sini. Senyumnya saja masih terasa di mataku.
Nana berjalan menuju jendela samping. Angin
berhembus keras menerbangkan gorden. Air hujan berhamburan. Dia tutup jendela.
Dia raba-raba kacanya. Di seberang tembok pemisah, dia melihat rumah besar
bercat putih itu semakin sepi saja.
"Hey!" ada seseorang berteriak.
Nana mencari-cari asal suara tadi.
Episode 10
Senja di Selat Sunda
"Halo, yang di bawah!" kali ini
kepala Nana ditimpuk dengan buah mangga kecil.
Nana mendongak. Di dahan pohon mangga dari
rumah sebelah yang agak menjulur ke tembok rumahnya, seorang pemuda gondrong
bertampang trash mania asyik duduk sambil mengunyah mangga.
Dada Nana berdegup kencang, walaupun. senang
bukan kepalang. Sudah beberapa hari ini dia mengharapkan akan mendapat kawan
baru sebaya dari rumah sebelah. Oh, the boy next door! hatinya terpekik.
"Kenalan, dong!" katanya. Nana
tersenyum. Inilah yang ditunggu-tunggunya.
"Namaku Eri!"
Nana menyebut namanya dengan riang.
Eri memuji namanya.
"Kok, baru nongol sekarang?"
Eri cuma tertawa.
Nana memang baru seminggu tinggal di perumahan
mewah ini. Rumah om dan tantenya. Setelah lulus SMP, ayahnya menyekolahkan dia
di kota tetangga, Serang, yang lebih ramai ketimbang kota asalnya, Pandeglang.
Maksudnya agar bisa mengejar ketinggalan segala-galanya. Sekolah di kota kecil,
seperti Pandeglang, kata ayahnya, janganlah terlalu diharapkan untuk bisa
menyamai prestasi para pelajar dari kota besar. Apalagi untuk bersaing nanti
merebut kursi di perguruan tinggi negeri. Risikonya Nana harus meninggalkan
lingkungan kekeluargaan bersama para tetangga yang sudah dibina bertahun-tahun.
Juga kawan-kawan masa kecilnya di kota asalnya.
Tadinya Nana tetap memilih meneruskan sekolah
di SMA di kotanya, tinggal bersama ketiga adiknya; Uus, Maya, dan Mia daripada
harus hidup bersama om-tantenya. Tapi om-tantenya pun berharap sekali, karena
Siska, anak mereka yang baru di kelas dua SD, butuh seorang "kakak"
di rumah; untuk menemani bermain atau belajar.
Baru satu hari tinggal di sini saja, Nana
langsung tidak kerasan. Tak ada kawan yang bisa diajak bermain. Rumah-rumah
berpagar tinggi di sebelah atau di seberang jalan, seperti tidak ada penghuninya.
Kehidupan antar tetangga seolah-olah tak berdenyut. Kesannya individual.
Terbukti ketika pertama kali pindah ke sini, tak ada sambutan atau uluran
tangan dari para tetangga, yang biasanya terjadi di kampung-kampung.
Perumahan-perumahan dari kelas real estate
sampai BTN yang tipe 21 atau tipe rumah sangat sederhana, memang bagai jamur
musim hujan bermunculan di Serang. Om Oya, adik ayahnya, memang lebih bernasib
baik dibandingkan dengan keluarga ayahnya yang lain. Bermula dari berdagang
material, kini omnya menjadi kontraktor yang sukses. Terbukti sanggup membeli
rumah di kalangan yang kalau di Jakarta sekelas dengan Pondok Indah. Dan ini
cuma ada di sebuah sudut di kota Serang. Persisnya di kawasan Industri Cilegon,
yang melaju pesat. Mulai dari toko serba ada, fast food sampai bar tersedia di
kota baja ini.
Kawan-kawan barunya di sekolah memang ramah
menyambut murid baru. Bahkan terlalu ramah, sehingga kesannya seperti
mengolok-olok. Mungkin karena dia pindahan dari kota tetangganya, yang bioskop
pun tidak punya. Tapi ketika mereka tahu dia tinggal di perumahan elit,
sepulang sekolah beberapa orang "memaksa" untuk mengunjungi rumahnya.
"Kamarmu pasti besar, ya," Susan,
kawan sebangku, tersenyum lebar. "Pasti koleksi bonekamu banyak
'kan?"
"Aku tinggal sama Om dan Tante. Mana
punya aku koleksi boneka, " Nana menggeleng.
"Punya koleksi gantungan kunci?"
Hera menyerobot. "Nanti kita tukeran, ya!"
"Itu aku punya. Tapi nggak di sini. Di
rumahku yang di Pandeglang! Malah koleksi perangko segala!"
"Oh, ya!" Hera tampak tertarik.
"Acaranya makan-makanlah yaaa!" Rini
mengusulkan.
"Hitung-hitung merayakan perkenalan
kitalah!" timpal Yuni.
Nana agak bingung, walaupun tidak bisa
menolak, karena takut kehilangan kawan-kawan barunya. Saat itu juga Nana
menelepon ke rumah, meminta kebijaksanaan tantenya, apakah diperbolehkan
mengajak beberapa kawan barunya di sekolah untuk makan siang. Untung tantenya
mau mengerti.
Hari pertama Nana di sekolah, memang
menyenangkan. Terbilang sukses. Dia langsung jadi bagian dari mereka. Tapi
setelah seminggu berjalan, belum ada seorang pun yang sebaya dengannya, yang
bisa diajaknya berkawan di perumahan elit ini. Terus terang saja, dia kesepian
sekali di rumah ini, karena om-tantenya jarang ada di rumah. Paling-paling cuma
ditemani dua orang pembantunya saja, kalau tidak ada kawan sekolah yang datang,
setelah main scrabble sendirian atau mengajari Siska matematika. Atau setiap
sore Nana cuma berangin-angin saja di halaman. Kadang kala mengintip ke tembok
sebelah, kalau-kalau ada orang yang bisa diajak bercakap-cakap. Atau
iseng-iseng mengambil buah mangga yang menjulur ke halamannya.
Kini penantiannya berakhir sore itu. Seorang
pemuda tampan dan berambut gondrong dari rumah sebelah muncul. Dia mengajak
berkenalan.
"Kamu suka nyuri manggaku, ya!" Eri
turun bergantungan dari dahan ke dahan pohon mangga.
"Kok, tau?" pipi Nana terasa merah.
Eri tertawa hinggap di pucuk tembok pemisah.
Dia duduk di sana, "Aku pernah ngintip kamu, kok! Duh, cewek kesepian.
Nggak punya temen, ya!"
"Aku 'kan nggak nyuri! Menurut peraturan,
apa saja yang masuk ke halaman rumah kita, berarti menjadi milik kita."
Eri melompat ke halaman rumah Nana. Dia kini
ada di hadapannya. "Kalau begitu, sekarang aku jadi milik kamu!"
senyumnya menggoda.
Nana tidak bisa menjawab pertanyaannya.
Sore itu Nana mencatat di buku harian sebagai
hari yang bersejarah, karena Eri-lah orang pertama dan satu-satunya teman yang
dia peroleh di lingkungan perumahan ini. Tak ada lagi selain dia, kecuali rumah-rumah
yang terkunci dengan tembok pagar bisu yang tinggi.
"Komplek ini kayak kuburan aja,"
Nana mengeluh ketika duduk di pantai, menunggu senja di Selat Sunda tiba.
"Om-mu salah beli rumah!" Eri
tertawa memetik gitarnya.
"Rumahmu aja mirip rumah hantu. Nggak ada
orangnya."
Eri berhenti memetik gitar. Dia memeluk dan
menopang wajahnya pada tubuh gitar. "Aku juga merasa kesepian seperti
kamu. itulah sebabnya kenapa aku lebih sering beada di luar rumah.
"Kamu suka hiking?"
Nana mengangguk cepat.
"Ya, berpetualanglah. Naik gunung,
menyusuri pantai, atau cuma sekedar jalan-jalan keluar-masuk kampung bersepeda.
Itu hobiku yang lain selain main musik.
Semuanya sangat menyenangkan ketimbang diam di rumah yang kayak neraka!"
"Aku nggak pernah lihat orang tuamu. Ke
mana aja mereka?"
Eri menerawang. Melihat ke langit timur. Bola
merah raksasa itu sebentar lagi jatuh. "Sebentar lagi kegelapan datang,
Nana, dan hari pun menghilang," katanya pelan dan bergetar. "Cuma
kegelapan saja yang ada di sekeliling kita."
Nana mencoba menangkap makna kalimatnya.
Episode 11
Senja di Selat Sunda
"Itulah hidupku, Nana."
Nana menatapnya.
"Orang tuaku seperti tidak pernah
merasakan, bahwa aku itu anaknya. Mereka selalu datang dan pergi
sendiri-sendiri. Jarang sekali kami bisa makan sama-sama di meja makan dalam
satu kesempatan seperti yang biasa kamu lakukan di rumah bersama Om dan
Tantemu.
Kalau aku makan, kadang cuma dengan Mama, ya
dengan Papa, atau malah cuma ditemani Bik Iyem, pembantu kami.
Biasanya Papa bilang, ‘Mana Mamamu?’ Aku
sendiri tidak pernah tahu, apalagi yang sedang dikerjakan Mama saat itu. Atau
kebalikannya, 'Papamu belum pulang?' kata Mama. Itu pun aku nggak pernah tahu,
ke kota mana lagi Papa pergi. Sebuah keluarga yang satu sama lainnya cuma bisa
berhubungan lewat telepon genggam saja," Eri tertawa hambar.
Hari-hari Nana di komplek elit itu kini
beragam setelah ada Eri. Kalau tidak bersepeda ke kampung-kampung di Minggu
pagi, biasanya mereka naik kereta ke mana saja mereka suka. Atau diisi dengan
menikmati senja di Pantai Selat Sunda dan duduk-duduk saja di halaman samping
rumah sambil mendengarkan petikan gitar Eri. Biasanya Nana yang jadi
penyanyinya. Eri memang lebih mahir memainkan gitar daripada menyanyikan
lagunya.
Menjalin bubungan dengan Eri mengantarkan Nana
jadi menyukai alam. Dia lalu ikut bergabung denga kelompok pecinta alam di
sekolahnya. Dia jadi mengenal Yanto, sang pemimpin PA dan beberapa orang
lainnya selain kawan-kawan di kelasnya. Kalau PA sekolahnya melakukan ekspedisi,
Eri suka ikut serta sekalian menurunkan "ilmu-ilmu"nya pada Yanto.
Eri memang lulusan sekolahnya juga sekaligus seniornya di PA.
Bersama Eri pula, bagi Nana seperti sedang
mengikuti sebuah drama keluarga. Atau seperti sedang membaca sebuah novel
dengan kisah yang klise. Tentang seorang anak lelaki yang tumbuh kesepian di
rumah yang besar. Harta yang melimpah ternyata bukan jaminan kebahagiaan
seseorang. Papanya memang sibuk luar biasa mengurusi perusahaannya dan ibunya
lebih memperhatikan bisnis perhiasan.
Sesekali Nana diajak bersama kelompok Eri
latihan band di sebuah rumah kosong. Kadang pula dia menggantikan penyanyi
utamanya jika terlambat datang. Atau kalau Eri mengajak kawan-kawan bandnya
untuk latihan di rumah, jika kedua orangtuanya tidak ada di rumah, Nana pun
ikut bernyanyi membikin gaduh seisi komplek.
Eri sudah setahun menganggur. Dia tiga tahun
di atas Nana. Ternyata dia tidak memilih meneruskan kuliah, tapi semakin asyik
dengan kelompok bandnya. Melewati jam terbang dari satu panggung sekolah ke
panggung seni lainnya. Kadang kala dia ikut festival band ke kota-kota lainnya
atau menjadi kelompok pembuka di bar-bar kecil di kawasan Merak. Atau traveling
sendirian ke mana saja dia suka. Terutama mengunjungi Baduy; bersahabat dengan
masyarakat yang mengasingkan diri di Banten Selatan.
"Aku dapat kerja!" Eri berteriak
ketika kami sedang makan malam.
Eri menarik kursi. Tante Oya langsung
menyodorkan piring. Bagi tantenya, Eri sudah dianggap sebagai pagian dari
mereka. Bahkan Eri bisa leluasa melakukan apa saja di rumah mereka. Begitu juga
sebaliknya, mereka bisa menyuruh apa saja pada Eri, karena tidak ada lagi
lelaki di rumah ini selain omnya.
"Kerja di mana Kak Eri?" Siska,
mencoba membantu mengambilkan nasi.
"Pokoknya Siska harus nonton, ya!"
Eri mencomot paha ayam. "Ya. Tapi, nonton apa?" Siska mulai tertarik.
"Eri and group band, sekarang punya
pekerjaan tetap! Nggak akan menclok ke sana-kemari lagi!" Eri berteriak
girang sambil menyebutkan salah satu bar kecil di kawasan hiburan malam
Cilegon.
"Wah, selamat!" Om Oya tersenyum
lebar.
"Siapa tahu nanti ada yang tertarik
merekam lagu-lagumu, Eri," Tante pun ikut memberi perhatian.
Nana menatapnya dengan perasaan gembira,
"Kamu sudah memberi tahu orangtuamu, Eri?"
Lalu tanpa gairah Eri bilang, "Aku nggak
tahu mereka ada di mana sekarang. Lagian, mereka pasti nggak akan pernah setuju
dengan apa yang aku lakukan ini. Mereka menginginkan aku kuliah. Lalu jadi
sarjana ekonomi!
Tapi kini anaknya malah jadi pemain
band!" Eri tertawa hambar.
"Mungkin main band sambil kuliah?"
Tante memancing.
"Oh, saya bukan seorang perfeksionis,
Tante."
"Kenapa tidak dicoba?" kejar Tante
lagi.
Eri menggeleng. Dia berpikir sebentar.
"Orangtua saya, Tante, tidak pernah menggubris apa yang sedang atau saya
lakukan. Melihat saya masih sehat-sehat saja, buat mereka lebih dari cukup.
Tapi ketika mereka tahu anaknya gandrung
musik, tanpa alasan yang jelas, mereka merasa bertanggung jawab atas masa depan
saya!"
"Itu gunanya orangtua," Om nimbrung.
"Seharusnya itu mereka lakukan dari sejak
awal," Eri mulai gelisah.
"Kapan mainnya?" Nana mencoba
mengalihkan topik pembicaraan.
"Minggu depan."
"Saya kamu ajak nonton 'kan?" Nana
merajuk.
Eri mengangguk. "Kalau bisa Siska, Om,
dan Tante juga nonton, ya. Ini penting buat pemunculan saya yang pertama."
Pada malam pertama pemunculannya di bar kecil,
mereka sekeluarga nonton. Tadinya Tante keberatan, karena tempat itu tidak
cocok bagi Siska, yang masih kecil. Untung Om mau menyediakan waktu khusus
untuk menemani.
Malam itu Eri tampak bersemangat sekali
memetik gitarnya. Dia tampil penuh percaya diri mengimbangi suara penyanyi
utamanya. Permainan mereka tidak mengecewakan. Terbukti banyak orang-orang yang
berjoget dan ikut berteriak-teriak mengikuti irama lagu rock 'n roll tahun
70-an.
Tapi bermain di bar kecil itu temyata tidak
bertahan lama. Eri dan kelompoknya pindah ke sebuah bar yang agak besar. Tentu
dengan bayaran yang lebih besar pula. Cuma akibatnya, Nana jadi jarang bertemu
Eri lagi. Kalau Eri pulang, pasti dini hari. Ketika dia bangun, Nana sudah ada
di sekolah. Giliran Nana ada di rumah, dia sudah sibuk dengan kelompok bandnya.
Paling-paling sesekali Nana diizinkan omnya untuk ikut Eri di malam Minggu.
Suatu malam, jendela kamar Nana diketuk. Dia
melihat Eri dengan wajah kusut. Dia membuka jendela dengan gusar, "Ada
apa, Eri, malam-malam begini?"
"Temani aku malam ini, Nana,"
pintanya serius.
"Ke mana?" Nana menguap.
"Ke pantai, ya?" harapnya.
Episode 12
Senja di Selat Sunda
Nana melihat jam di meja belajar sudah
melewati angka satu. Sebetulnya dia ingin sekali kembali memeluk guling, tapi
begitu melihat wajah Eri yang sangat memelas, dia urungkan niat tadi. Inilah
gunanya seorang teman. Siapa tahu dia pun mengalami hal yang sama seperti Eri
suatu saat nanti.
Dengan tergesa-gesa Nana menulis surat. Dia
kabarkan pada Om dan Tante tentang kepergiannya pada dini hari bersama Eri ke
pantai di Selat Sunda. Siapa tahu mereka "geger" dan melaporkan
"kehilangan"ku pada polisi, pikir Nana.
Nana melompati jendela.
Dengan jeep Eri, mereka melaju ke Selat Sunda.
Sepanjang perjalanan, Eri cuma berkonsentrasi pada kemudi dan jalanan.
"Maafkan aku, Nana," suaranya
terdengar juga.
Nana cuma tersenyum menghibur.
Kali ini tanpa gitar, Eri menceritakan keadaan
rumahnya, yang semakin hari semakin seperti neraka saja baginya.
"Mereka saling menyalahkan, Nana. Saling
melemparkan tanggungjawab, karena merasa telah gagal membesarkan dan mendidik
aku," suara Eri seperti putus harapan. Nana merapatkan jaket. Angin pantai
memang berhembus keras.
Begini kira-kira cerita Eri:
Begitu lagu terakhir usai, Eri memilih untuk
pulang lebih awal daripada menghabiskan sisa malam dengan botol-botol bir atau
wanita seperti kebiasaan para penyanyi rock di bar-bar kecil. Perasaannya tidak
menentu. Dia merasa sesuatu akan terjadi malam ini di rumahnya.
Betul juga. Baru saja Eri memasukkan jeep ke
garasi, Papanya sudah bertolak pinggang di pintu masuk. Mamanya cuma
memperhatikannya dari ruangan dalam dengan perasaan cemas.
"Ternyata begini Eri, balasan dari
kepercayaan yang Papa berikan! Keluyuran setiap malam! Tampang kayak anak
jalanan!"
"Eri nggak keluyuran, Pa," Eri
menjawab seenaknya.
"Apa namanya kalau pulang selalu
menjelang pagi, kalau bukan keluyuran!" Papanya semakin murka.
"Eri main musik, Pa."
"Kamu bisa apa dengan musik, heh?! Cuma
membawakan lagu-lagu pinggiran jalan! Bikin telinga orang jadi sakit! Apa sih
yang kamu dapat dari musik, Eri?"
"Selain kepuasan batin, Eri juga dibayar,
Pa."
"Sudah kaya kamu, heh! Berapa bayarannya
? Biar Papa nanti yang bayar kamu, kalau uang dari Papa masih saja kurang! Yang
penting kamu kuliah! Kalau perlu, Papa kirim kamu sekolah ke Eropa atau ke
Amerikar!"
"Sudah, sudah, Pa. Malu sama tetangga,"
Mamanya menengahi. Wanita cantik itu menuntun anak lelaki kesayangannya ke
dalam rumah.
"Ini semua gara-gara Mama, sih! Tuh,
lihat anak kesayanganmu sekarang. Jadi liar dan tidak intelektual! "
"Kok, Mama?" Mamanya kini
menggeliat.
"Harusnya Papa! Ke mana saja Papa selama
ini? Selalu rapat inilah-itulah! Padahal cuma cari-cari alasan biar bisa
berduaan dengan sekretaris itu!"
"Heh, heh, jangan menyebar fitnah,
Mama!" Papanya membentak. "Malah selama ini apa yang Mama lakukan
terhadap Papa? Tanggung jawab seorang istri terhadap suaminya? Apa pernah Mama
menyediakan Papa sarapan? Mempersiapkan tas, dasi, atau jas sebelum Papa
berangkat ke kantor? Semuanya dikerjakan oleh Bik Iyem! Mama ini lebih
mementingkan bisnis permata daripada ngurusin anak! Istri macam apa itu!"
"Lho, bisnis permata itu bernilai jutaan,
Papa! Kalau Mama selama ini cuma diam saja, kita mau makan apa? Bagaimana nanti
dengan biaya listrik, telepon, iuran televisi, gajih Bik Iyem, dan biaya
sehari-hari Eri ? "
"Dari gaji Papa saja itu semua sudah
cukup!"
"Tapi bagaimana dengan
keinginan-keinginan Mama, Papa? Apa Papa selama ini bisa mencukupinya? Mama
‘kan wanita. Butuh pergaulan, hiburan, dan perhiasan demi menjaga citra
suami!"
"Mama terlalu mengada-ada!"
"Papa yang tidak mau menerima Mama,
sebagai istri yang berpikiran maju! Sebagai wanita karir!"
"Tapijangan kelewatan, dong!"
"Papa mungkin yang kelewatan!"
"Tapi lihat akibatnya pada anak
kita!"
Eri tercengang. Sebetulnya malam ini dia cuma
jadi kambing hitam saja dari "peperangan " kedua orangtuanya.
Segalanya jadi jelas kini, bahwa kedua orangtuanya sudah tidak bisa mengarungi
bahtera hidup lagi bersama-sama. Mereka lebih merasa ketakutan tidak bisa
membayar rekening ini-itu daripada memikirkan pertumbuhan dirinya. Untuk alasan
lain tentang ketidakharmonisan papa-mamanya, misalnya ada orang ketiga, Eri
belum melihatnya.
Eri mengunci dirinya di dalam kamar. Dadanya
terasa terhimpit. Sebetulnya ingin sekali dia menceritakan kebanggaannya, bahwa
dia sudah bisa mendapatkan pekerjaan. Sudah bisa memperoleh uang dari
keringatnya sendiri. Ingin betul dia melihat papa-mamanya memeluknya bangga,
karena sudah bisa memilih hidup, tanpa perlu menggantungkan diri dari fasilitas
orangtua.
Tapi mana mau papa-mamanya mengerti. Mereka
cuma mau dirinya meneruskan kuliah dan jadi manusia intelektual dan mentereng
dipandang rekan sejawat Papa. Mereka tidak pernah bisa mengerti kalau yang
dibutuhkan dirinya sekarang adalah menjadi lelaki merdeka, yang bisa
bertanggung jawab pada dirinya sendiri. Dia sedang butuh pengakuan dari
sekelilingnya, untuk bisa tumbuh di masyarakat. Dan itu cuma bisa diperolehnya
dengan bekerja. Dengan mendapatkan uang dari tetesan keringatnya sendiri.
Malam terus menggelincir. Pagi mulai
menggeliat-geliat. Kesibukan baru berputar lagi.
"Papa berpendapat, menjadi seorang
pemusik itu bukan pekerjaan intelektual," Eri menelungkupkan wajahnya di
kemudi.
"Mungkin karena dandananmu yang mirip
berandalan," Nana tertawa.
"Maksudmu?"
"Cobalah potong rambutmu. Rapih sedikit.
Ganti jeans-mu yang pada bolong itu dengan yang agak sopananlah. Syukur-syukur
berjas-dasi," Nana mengusulkan sambil tertawa.
Eri ikut tertawa, walaupun kecut.
"Aku harus pergi sekolah," Nana
menguap.
Eri mengangguk. Dia menyalakan jeepnya.
"Moga-moga Om dan Tante nggak marah,
ya," katanya pelan. Tapi Eri tidak menarik kopling. Lengannya merengkuh
jemari Nana. Eri menoleh. Menatapnya.
Ombak berdebur di hati Nana.
"Aku takut kehilangan kamu, Nana,"
suara Eri bergetar.
Lengan Eri mengangkat wajah Nana. Dia mengecup
keningnya sambil berbisik, "Aku mencintaimu, Nana."
Nana terkesiap. Matahari pagi kini menyeruak
perlahan. Membangunkan mimpi-mimpi semua orang yang sedang terlena. Hari baru
kini di hadapan; harus mereka lalui tanpa tahu apa yang akan terjadi.
***
Episode 13
Senja di Selat Sunda
Rhapsodi perpisahan
Hai, Nana!
Suratmu nyampe. Ternyata alamat Poste
Restante, GPO Yogyakarta mantep juga. Aku nggak usah bingung-bingung buat nyari
alamat surat kalau bepergian sekarang. Thank's juga kiriman lirik-lirik
lagunya. Membantu banget dalam perjalangan ngamen-ku.
Aku masih betah di Yogya. Sehat, gemuk, dan
bersih. Sungguh! Walau kegiatan sehari-hari di jalan, tetaplah aku yang masih
menyisakan bekas "keteraturanku". Tak bisa tak peduli pada tubuhku
sendiri, karena itu aset mendasar.
Nana, sepatu western-ku disambar maling. Raib,
dah! Sandal jepitan aku sekarang. Aku masih merokok sedikit. Susah
ngeberentiinnya. Alkohol, no! Drugs, apalagi. Ngamen, cuma ini yang baru bisa
aku lakukan. Setiap hari aku dipelototin mata, yang entah apa artinya. Mungkin
kasihan, mungkin aneh, dan terkadang juga kilatan-kilatan mata sebal. Aku tak
peduli, walaupun suka ada juga cewek-cewek kampus yang larak-lirik (pengamennya
'kan keren, hehehe). Yang jadi pedomanku, semuanya aku lakukan dengan
penghayatan. Itu jarang aku lakukan ketika masih maen sama kawan-kawan. Wah,
kalau saja si Uzi sekarang ngikut ngamen sama aku, bakalan panen terus, deh.
Tapi Nana, di lain waktu aku merasa pada saat
dulu di mana mestinya aku jadi orang baik-baik, patuh, dan lurus, malah pengen
coba-coba jadi orang liar. Sekarang di Yogya, ketika mestinya aku jadi orang
jalan yang liar dan impulsif, malah jadi seperti orang yang terpencil. Di
antara kawan-kawan baruku di jalanan, cuma aku yang nggak minum. Cuma aku yang
nggak senang bergerombol. Cuma aku yang tak terlalu bergairah. Terutama pada
cewek-cewek senasib. Oh, betapa bebasnya pergaulan mereka. Kehidupan seperti
ini sebetulnya tidak terlalu aneh betul untukku. Hanya saja sekarang bobotnya
lebih kuat. Iya, betul-betul anak jalanan, yang sehari-harinya di jalan melulu.
Jalanan Yogya lumayan keras juga, di mana berlaku motto "Daripada menang,
lebih baik mengalah". Apa ini pernah aku tulis di surat kemarin? Aku belum
pernah clash fisik, memang. Tapi semenjak datang, semenjak aku mengenal kata
pasrah pada Tuhan, tertanam di benakku: Aku tak boleh dan tak akan dipermalukan
oleh siapa pun. Itu suara rendah dari hatiku. Dan aku enjoy sambil tetap jaga
mulut.
Ngamen itu tak bisa diandalkan buat cari
kekayaan, Nana. Tapi bisa dipakai sebagai jembatan pengubah nasib. Itu yang
tampaknya tak dihiraukan para kolegaku. Begitu dapat duit, mereka langsung
asyik dengan alkohol. Aku sempat nonton konser "Raja Pengamen", Iwan
Fals di Yogya. Hebat. Dia orang hebat. Berkharisma dan tahu persoalan. Dia
"pahlawan". Dia idola bagi orang-orang sisa. Seperti katanya: Kita
memang sampah, tapi bukan sampah plastik. Mungkin maksudnya, sampah plastik
diolah cuma jadi sampah plastik lagi.
Dari dulu aku tahu, jika terlalu banyak
keinginan akan makin membuat kita menderita. Dulu keinginanku banyak, ingin
punya keluarga hebat gitaris rock. memiliki kamu (ehem), dicintai kamu
(huuuuu), punya album kaset, dan entah apa lagi. Ternyata setelah dihayati,
tidak terlalu banyak keinginan itu yang membuat kita enteng, tapi sekaligus
mandeg. Aku sekarang, sehari-harinya keinginanku cuma memenuhi kebutuhan dasar
saja; makan, minum, dan istirahat (tidurlah). Keinginan untuk corat-coret bikin
lirik lagu, kadang jadi males kalau tidak dipaksakan.
Kawanku bilang: Arti hidup itu adalah saling
berhutang. Itu karena kawanku itu suka ngutang di warung 'kali. Mungkin
maksudnya, hidup itu saling ketergantungan. Ada benarnya. Yang pasti, hidup
tolong-menolong dan saling mendukung itu ada di kalangan bawah. Orang-orang
kebanyakan. Contohnya para pengamen inilah. Aku perhatikan, yang paling sering
dan ihklas memberi adalah sesama rakyat kecilnya. Mahasiswa, yang katanya kaum
intelektual dan peka terhadap aspirasi rakyat kecil, juga pegawai pemerintah,
weh, ternyata lebih banyak yang ogah melirikkan matanya pada kami (aku kini
digolongkan jadi bagian dari pengamen).
Sering aku tidak paham diriku. Kadang merasa
hari ini aku sedang marah pada diriku, marah pada orangtua yang nggak becus
ngurus anak, dan marah pada ketololanku, pada negaraku, dan masyarakatku. Di
lain hari aku merasa damai, aman, dan ikhlas.
Okey, Nana, untuk sementara aku tetap ngamen
dulu. Hidupku memang tak bisa lepas dari musik. Oh ya, kemarin aku naik Gunung
Merapi. Asyik juga. Di surat ini aku nggak ingin ngomongin orangtuaku. Kamu
pasti bosen. Sampai di sini dulu, ya!
***
Nana mendekap lagi surat itu. Dia membayangkan
Eri yang kesepian sendiri. Tak ada kawan jika sedang gundah-gulana. Nana sadar,
bagaimanapun Eri tetap merahasiakan kisah hidupnya pada kawan-kawari sesama
pengamennya. Kalau mereka mengamen itu untuk menyambung hidup, Eri cenderung
untuk sekadar pelepasan hati atau menghibur kegetiran hidupnya. Uang sebetulnya
bukan segala-galanya bagi Eri, tapi kedamaianlah yang dicari Eri.
"Sekarang betul-betu1 perang dunia
ketiga," Eri menutup wajahnya dengan kedua telapak tangannya, seolah tidak
mau melihat perahu nelayan yang begitu tenangnya dipermainkan ombak di Selat
Sunda.
"Ada apa lagi?" Nana menyenderkan
tubuhnya ke punggung Eri. Sebetulnya dia rindu, karena Eri seperti menghilang
begitu saja selama sebulan. Tapi, ketika sepulang sekolah tadi Eri mencegatnya
dengan jeep di muka sekolah, Nana bisa menebak bahwa kerinduannya akan sia-sia.
Wajah Eri begitu kusut dan terhimpit beban.
Mereka kembali duduk di pantai, sedang
menunggu senja turun di Selat Sunda.
Eri berdiri.
Nana menggerutu, karena terguling ke pasir.
"Papaku punya bini muda," suara Eri
tertelan ombakSelat Sunda.
Nana terperangah.
"Sebulan yang lalu Mama menangis di
kamarku. Mama memperlihatkan potret pemikahan Papa. Pengantin wanitanya tak
jauh beda dengan kamu. Lebih pantas aku anggap kakak ketimbang ibu tiri."
"Oh, Eri," Nana cuma bisa memeluk
tubuh lelaki itu. Mencoba meredakan badai di dadanya yang bergejolak.
"Apa yang harus aku lakukan, Nana?"
Eri mulai menggeliat.
Episode 14
Senja di Selat Sunda
"Aku nggak tahu, Eri," Nana belum
pernah mengalami hal ini sebelumnya. Dia baru saja di bulan-bulan awal kelas
dua SMA.
"Oh, kalau saja mereka tahu, betapa aku
menginginkan mereka hidup rukun. Betapa aku menyayangi mereka."
Nana menuntun Eri ke pantai. Nana merasa
seperti sedang membawa benda tak bernyawa. Rapuh sekali. Mereka duduk.
Eri menangis terisak-isak.
Saat inilah dia baru percaya, bahwa menangis
itu bukan cuma milik wanita. Lelaki pun bisa terjebak di dalamnya. Sebetulnya
tak perlu diributkan betul kalau "lelaki menangis itu cengeng dan senjata
wanita adalah menangis". Anggap saja "menangis" itu milik semua
orang; lelaki dan wanita. Menghadapi situasi seperti ini, Nana cuma ingat pesan
ibunya, "Mendengarkan adalah hal paling bijaksana."
"Ketika hal itu aku tanyakan, Papa tidak
membantah. Papa malah balik menyalahkan Mama, yang katanya suka keluyuran
dengan 'daun muda’ di Jakarta.
Aku betul-betul seperti anak bodoh, yang
dilempar ke sana-kemari. Mama menyalahkan Papadan begitu juga sebaliknya.
Aku pikir dalam hubungan Papa-Mama sudah nggak
ada keharmonisan lagi. Kini komplit sudah. Selain soal melulu materi, ternyata
ada orang ketiga.
Tadinya, aku pikir, Papa memang mata
keranjang. Cuma ingin menang sendiri dengan mengkambinghitamkan Mama saja. Aku
sampai perlu menguntit Mama ke Jakarta untuk membuktikan omongan Papa.
Oh, Nana!" Eri menjambak rambut
gondrongnya ke belakang.
Nana menggigit bibirnya.
Ombak Selat Sunda menggelora.
"Mama memang berbisnis permata. Tapi,
Mama ternyata kelayapan ke Mall-mall; melirik cowok-cowok yang sebaya dengan
aku. Bahkan menggaetnya ke hotel."
Aku sampai hilang pikiran saat itu.
Aku hajar cowok buaya itu di depan Mama.
Mama menangis seperti orang kesurupan."
Ombak berdebur memukuli pantai. Ujungnya yang
putih seperti busa seperti memanggil-manggil mereka agar mendekat. Ujung ombak
putih itu kini ibarat janggut putih penguasa laut, yang datang hendak menghibur
mereka.
Eri berdiri lagi. Dia mondar-mandir.
Betul-betul anak manusia yang kehilangan arah mata angin. Tak tahu harus
bertindak apa dan bagaimana.
"Tahu apa yang Mama bilang, Nana? 'Ini
lebih baik ketimbang papamu, Eri! Yang mengkhianati Mama dengan mengawini salah
satu dari mereka!"
"Apa betul itu berbeda, Nana?
"Yang mereka pikirkan adalah dirinya
sendiri, bukan aku, sebagai anak mereka.
"Aku pikir, perceraian adalah hal yang terbaik
buat mereka. Tapi mereka tidak memilih itu. Mereka masih takut dengan hukum
masyarakat tanpa pernah mau memikirkan aku."
Beberapa hari setelah itu, Eri mengajak Nana
untuk menonton pertunjukannya. Wajah Eri dari hari ke hari semakin kusut.
Seperti tak ada gairah hidup lagi.
"Kok, main di sini?" Nana keheranan
ketika jeep diparkir di sebuah hotel terkemuka di pesisir Selat Sunda.
"Kami dikontrak 6 bulan di sini,"
Eri berusaha tersenyum.
"Oh, congratulations!"' Nana
terpekik memeluk Eri. Mengecup pipinya. "Ini harus kita rayakan,
Eri!"
Eri berusaha tersenyum lagi.
"Oh, Eri, betapa aku ingin duduk-duduk di
pantai di sekitar hotelnya. Melihat keindahan Krakatau malam-malam, yang kadang
menyemburkan letupan-letupan apinya!" Nana betul-betul gembira.
"Aku mau nyanyi malam ini, Nana."
"Oh, ya?!" Nana menahan tawa.
"Aku nggak akan jadi kalau kamu ketawa
kayak tadi."
"Okey, okey," Nana menepuk-nepuk
pipi Eri. "Aku janji nggak akan mentertawakan kamu." Eri mendelik.
"Swear!" Nana mengacungkan jari
telunjuk dan tengahnya.
Eri kini tersenyum.
Nana begitu bahagia melihatnya. Kadang kala
dia merindukan senyum Eri yang mempesona sekaligus menggoda, seperti pertama
kali Nana melihatnya. Oh, perkenalan itu sangat membekas di hatinya. Ketika Eri
menimpuknya dengan buah mangga. Lalu mengajaknya berkenalan!
Eri menariknya ke lobby hotel. Mereka
melintasinya. Nana melihat ada beberapa track bowling. Para tamu, yang
mayoritas orang asing, sedang asyik menggelindingkan bola hitam itu untuk
menghancurkan barikade kendi-kendi putih.
"Nanti ajari aku bowling, ya!" Nana
merajuk.
Eri mengangguk.
Beberapa orang kawan bandnya menyambutnya,
yang juga membawa pasangan masing-masing. Mereka saling merengkuhkan tangan,
pertanda kekompakan mereka.
"Wah, kamu nggak bakalan bisa nyanyiin
rock 'n roll di sini. Apalagi metal!" Nana meneliti pengunjung bar hotel
ini, yang rata-rata berumur dan berduit.
"Kamu lihat aja nanti!" kata Uzi,
penyanyi utama sambil tertawa merangkul Yanti, pasangannya yang tersenyum
malu-malu.
"Kamu mau nyumbang lagu?" si
penggebuk drum, Adam, meledek.
Nana mencubitnya keras-keras.
"Heh, enak aja. Pacar orang, tau!"
Dini, pasangan Adam, merajuk manja.
"Kamu udah tahu Eri bakal nyanyi?"
Uzi menahan tawa.
Eri menggepit kepala Uzi dengan gemas.
"Pokoknya, malam ini posisi kamu bakalan kegusur!" Eri tertawa.
"Oh, Boy!" Uzi tertawa keras.
"Kamu denger itu, Opik!" Uzi meninju bahu pemain keyboard.
"Aku jadi penonton aja, deh!" Opik
tertawa. Dia berlindung di balik Prety, pacarnya, ketika Eri hendak menjambret
rambutnya.
"Nggak janji lah yaa!" Rehan,
pasangan si pencabik bas, Mhaex, mengerling lucu dan tertawa genit.
Tapi Nana sudah berjanji tidak tertawa untuk
hal ini.
Eri memanggil seorang pelayan. Berbicara
padanya. Lalu, "Kalian ikuti dia, ya," katanya pada Nana dan keempat
cewek lainnya.
Nana mengangguk. Kelima cewek itu mengikuti
pelayan. Nana duduk menyender ke tembok. Meminta es cola pada pelayan itu.
Cahaya di bar mulai redup. Para pengunjung yang sedang bersantai memenuhi dua
pertiga ruangan masih asyik bercengkrama dengan lawan bicaranya atau lamunannya
masing-masing.
"Saya deg-degan," Yanti meraba
dadanya.
Episode 15
Senja di Selat Sunda
"Kalian yakin para tamu bakalan suka
lagu-lagu mereka?" Dini juga ikut khawatir.
"Aku sedang berdoa untuk itu," Prety
memejamkan mata.
"Paling-paling cuma suka sama pemain
bass-nya," Rehan tertawa.
"Aku serius!" Yanti mendelik.
"Kamu kok diem aja?" Dini menyentuh
lengan Nana.
"Kami ikut prihatin, Nana, dengan apa
yang terjadi pada Eri," Rehan merangkul bahunya.
Nana mencoba tersenyum.
Lampu mulai menyorot ke panggung.
Eri dan Mhaex menyelendangkan gitar, Adam
mulai memukul-mukulkan stik drum, Opik berdiri di depan piano, dan seketika itu
pulalah melengking suara Uzi, "Oh Darling!" dari Beatles.
Nana melihat para pengunjung agak tersentak
juga. Mata mereka perlahan-lahan berpindah ke panggung di sudut ruangan.
Suasana yang romantis dan penuh kenangan seperti tercipta dari wajah-wajah
tamu, yang rata-rata di atas 40-an tahun.
Lalu meluncur lagu-lagu blues legendaris.
Rupanya malam ini mereka tidak membawakan lagu-lagu yang hingar-bingar atau
jingkrak-jingkrak tanpa harus meninggalkan akar rock 'n roll yang sudah biasa
mereka bawakan.
Di atas panggung tiba-tiba ada kelainan. Uzi
menghilang ke belakang panggung. Rupanya saat inilah Eri akan menyanyi.
Seseorang muncul membawakan kursi.
Eri duduk di kursi itu.
Hening sebentar.
Nana pada mulanya tidak percaya kalau yang
sedang membawakan "Mother"-nya John Lennon itu adalah Eri, yang
paling kesal jika disuruh menyanyi. Tapi Nana merasakan Eri bukan sekadar
menyanyi. Tiba-tiba Nana seperti melihat seseorang sedang meronta-ronta,
menjerit, menangis, dan berteriak-teriak marah pada keadaan.
"Oh, aku nggak percaya Eri bisa
nyanyi!" Yanti menutup mulutnya.
Nana merasa kelopak matanya hangat. Dia
mengusap air matanya, yang mulai mengalir hati-hati. Dia tahu persis apa yang
sedang berkecamuk di hati Eri. Kalau saja papa-mama Eri malam ini hadir di
sini, selayaknya mereka harus bahagia melihat anaknya yang sangat mendambakan
keharmonisan sebuah keluarga. Harta yang melimpah memang tidak pernah bisa
menjamin kebahagiaan seseorang.
"Bagaimana, Nana? Bagus suaraku?"
Eri meminta pendapatnya dalam perjalanan pulang tadi.
"Kamu nggak nyanyi tadi," Nana
meledek.
"Lalu, apa?"
"Kamu protes."
"Protes pada siapa?"
"Pada Tuhan."
Eri tertawa hambar, "Para tamu 'kan nggak
ada yang tahu masalahku."
"Aku 'kan tahu. Uzi, Adam, Mhaex, dan
Opik juga tahu. Yanti dan yang lainnya juga ngerti."
"Kalian bukan tamu."
"Tapi kamu menyuruh aku dan pemain band
untuk mendengarkan rintihanmu. Protesmu. Seolah-olah kamu mengumumkan pada
kami, bahwa Tuhan sudah nggak bersikap adil pada kamu. Sementara kami hidup
dengan keluarga yang bahagia, tapi kamu malah hidup berantakan."
"Yang penting pengunjung terpesona tadi
dengan suaraku."
"Mereka cuma memhayangkan John Lennon
yang nyanyi tadi," Nana tertawa.
"Sekarang kamu tertawa, Nana. Dan
kedengarannya sinis."
Nana terpaksa harus hati-hati. "Aku cuma
bosan ngedenger persoalan-persoalan yang terjadi di rumahmu, Eri. Seolah-olah
kamu mengeksploitirnya. Minta dibelaskasihani sama orang-orang, bahwa 'Nih, aku
anak yang terlahir dari keluarga broken home' .
Kenapa aku bosan ngedengernya? Karena aku
nggak hisa ngebantu apa-apa. Seharusnya kamu bisa lebih tabah dari yang terjadi
seperti sekarang, Eri."
"Apa maksudmu, Nana?" Eri
meminggirkan jeepnya.
"Sudah ma1am, Eri. Nantilah kita
bicarakan hal ini."
"Jawah, Nana. Kamu bosan dengan
keluh-kesahku atau bosan dengan aku? Malah jangan-jangan ada cowok lain,
Nana?"
"Oh, Eri, jangan kayak anak kecil."
"Kita memang masih anak kecil, Nana. Kamu
saja baru akan tujuh belas tahun. Aku belum lagi dua puluh." '
"Ayolah pulang, Eri."
"Aku memang nggak bisa kayak cowok-cowok
lain, Nana. Yang bisa menggembirakan pasangannya di setiap malam Minggu, karena
hidup mereka sendiri sudah hahagia.
Aku malah jarang mengapeli kamu di malam
Minggu. Mengajakmu nonton atau makan malam. Kalaupun aku mengajakmu pergi,
paling-paling aku menceritakan tentang keadaan rumah yang seperti neraka."
Nana tidak menjawab, walaupun hatinya
mengiyakan.
Setelah kejadian malam itu, Eri menghilang
lagi selama seminggu. Seperti angin, yang datang dan perginya tak pernah
ketahuan.. Begitulah yang terjadi pada Eri, yang bisa datang dan pergi semaunya
saja. Kadang kala Nana melongok lewat pagar pembatas, mencari-cari Bik Iyem,
pembantu tetangga sebelah itu.
"Bik, Bik," Nana memanggil pembantu
itu.
"Eh, Neng Nana."
"Nggak ada orang di rumah, Bik?"
Bik Iyem menggeleng.
"Eri ke mana, Bik?"
"Nggak tahu, Neng. Malam-malam Eri bawa
ransel. Bawaannya banyak, Neng. Mungkin pergi kemping."
Nana menggerutu sendirian, tapi dia tidak bisa
berbuat apa-apa.
Setelah itu kelompok band Eri datang
memberondong Nana dengan beragam pertanyaan. Membuatnya kesal dan tidak bisa
memihak siapa-siapa.
"Kemping ke mana Eri?" Uzi
penasaran.
"Mana aku tahu!" Nana histeris.
"Ayolah, jangan main
rahasia-rahasiaan!" Adam kesal.
"Kacau, kacau!" Mhaex nimbrung.
"Bubar, bubar deh! Ke mana sih tuh anak!"
Episode 16
Senja di Selat Sunda
Cuma Opik yang bisa memaklumi. "Mungkin
Nana nggak tahu ke mana Eri pergi. Ya, sudah. Kalaupun Nana tau, kita nggak
punya hak untuk memaksa mengatakannya," katanya pada yang lain.
"Sudah empat hari kami nggak main. Tanpa
Eri, kita nggak bisa main. Malam ini peringatan terakhir. Kalau tetep nggak
main, kami akan dipecat!" Uzi begitu kecewa.
"Cari aja pengganti Eri!" usul Nana.
"Nggak akan kami lakukan itu, Nana,"
Opik masih tenang.
"Kenapa? Karena setengah dari uang
pembelian peralatan band uangnya dari Eri?" Nana menyindir.
Mereka bersungut-sungut.
"Untuk sementara aja sambil menunggu Eri
pulang," Nana tetap pada pendiriannya.
"Inget, ini kamu yang mengusulkan!"
Uzi menunjuknya.
"Iya, ini atas usulku!" suara Nana
tegas.
"Gimana, Opik?" Uzi meminta
pendapatnya.
"Kalian punya pilihan?" Opik
melemparkan lagi persoalan.
Mhaex menyebut sebuah nama.
"Kita cobalah," Adam tidak bergairah.
Tapi keesokan paginya di sekolah, orang-orang
meributkan tentang kebakaran yang melanda hotel ternama di Pantai Selat Sunda.
Hotel di mana Eri dan bandnya biasa tampil menghibur para tamu di bar.
Nana cuma bisa terisak-isak sendirian di
kamarnya. Kenapa hal ini terjadi padamu, Eri? hati Nana meratap nelangsa.
"Sekarang semuanya berakhir, Nana,"
Uzi tidur-tiduran di rumput. Yanti membelai-belai rambut kekasihnya dengan iba.
"Ada di mana kamu, Eri!"Adam
berteriak.
"Kami nggak nyangka, bahwa malam tadi
adalah malam terakhir kami main di hotel itu," Mhaex meratapi nasib.
"Tanpa Eri," Opik tersenyum kecut.
"Bagaimana itu bisa terjadi?" Nana
panik.
"Biasa, korslet listrik!" Rehan yang
bersender di bahu Mhaex, nyeletuk.
"Ya, siapa bisa membaca garis tangan
hidup kita," Opik menarik napas. "Aku pikir, kita akan istirahat
panjang dari main band. Ini ada baiknya juga. Aku agak jenuh juga main di
bar-bar."
"Maksudmu?" Uzi bangkit.
Adam dan Mhaex juga menatapnya tidak enak.
"Tadi pagi kakakku menelepon. Dia tahu
kebakaran hotel semalam dari berita TV. Aku ditawari kursus piano di
Bandung," Opik memegangi terus lengan Prety.
"Kamu mau meninggalkan kami?" Adam
tidak percaya.
"Aku mau serius di musik sekarang.
Dukunglah aku," Opik memohon. "Kalian juga bisa melakukan hal sama
seperti aku."
"Ya, benar apa yang dibilang Opik,"
Nana menyumbang pendapat. "Kalian 'kan nggak akan selamanya main di
bar-bar. Tentu suatu hari bermimpi masuk studio rekaman. Bermimpi bikin lagu
sendiri dan didengar oleh semua orang."
"Sebaiknya kita tunggu Eri pulang,"
kata Uzi lemah.
"Kalau dia masih hidup!" Adam masih
jengkel.
Nana menarik napas panjang.
***
Episode 17
Senja di Selat Sunda
Rhapsodi Penantian
Nana!
Jika kamu terima suratku ini, mungkin aku
sudah melakukan perjalanan lagi. Kayaknya terus ke timur menenteng gitar. Kalau
lagi suntuk, ngamen adalah hiburanku. Setelah aku merasakan beberapa kali
ngamen, kini 'plong'. Aku bisa merasakannya. There is something different.
Entah apa namanya. Tak tahu aku. Cuma yang aku rasa, jadi bosan sendiri ngamen
di Yogya. Sekarang aku menyingkir dululah. Dengan kawan-kawan baruku di Yogya
nggak ada masalah, kok. Hanya aku perlu cari udara lain.
Nana, bila perjalanan ini sudah selesai dan
aku pulang, itu artinya aku jadi manusia instan yang fleksibel. Lentur dan
elastis. Manusia serba siap. Termasuk siap melempar jangkar. Aku punya tali
yang panjang, kok. Tak sepanjang milik orang lain, sih. Tali yang panjang,
artinya tidak tergantung pada suatu tempat. Aku punya dua "titik"
sekaligus. "Titik" tempat jangkar menancap dan "titik" bagi
kapal terapung. Tidak seperti pasak yang cuma satu titik dan lurus, tegak, dan
kaku melawan gelombang. Bukan mengikuti arusnya. Tali punya cakupan wilayah
yang luas, Nana, dibanding pasak.
Mungkin tak perlu jadi kapal. Perahu kecil
yang lincah ke segala arah, tapi rentan pada badai dan gelombang. Hidup memang
banyak pilihan dan aku masih terus melihat-lihat. Wah, aku sebetulnya berlayar
saja belum, ya! Kadang aku berpikir, Nana, tak akan meninggalkan rumah terlalu
jauh. Kasihan Papa dan Mama. Kami keluarga kecil. Akulah dinasti penerus
mereka. Aku tentu akan memelihara kerajaan kecil kami.
Nana, kapankah kita bisa ketemu lagi? Aku
pikir kamu nanti bakalan kesulitan membalas surat-suratku. Entahlah, aku nggak
punya alamat sekarang. Aku mungkin cuma bisa meratapi rasa kangenku padamu.
Kenanglah aku di hatimu. Tapi aku akan berusaha untuk tetap memberimu kabar.
Tentang orangtuaku, bagaimana kabar mereka?
Sesekali aku menelepon mereka. Tapi aku nggak berani menelepon kamu. Aku takut
bisa "gila" jika mendengar suaramu. Aku takut setelah mendengar
suaramu, kerinduanku padamu taktertahankan lagi. Aku nggak mau itu terjadi. Ini
bisa menyiksaku.
Terima kasih, itu saja yang bisa aku ucapkan
sama kamu. Nanti aku kabari lagi.
***
Nana mendekap lagi surat itu. Dia membayangkan
Eri sedang kelelahan menyandang ransel dan gitarnya; menahan haus dan lapar
dalam perjalanan. Sedang menuju ke mana dia sekarang? Batinnya nelangsa. Ah,
kenapa kamu tidak pulang saja Eri?
Setelah kelompok band Eri datang membawa kabar
kebakaran hotel tempat mereka bekerja, dua hari kemudian, di Minggu siang, Eri
menimpuk Nana dengan ranting kecil pohon mangga.
"Hey, ngelamunin aku, ya!" teriaknya
dari dahan pohon mangga.
Ingin sekali Nana berteriak girang saking
rindunya. Tapi itu diurungkannya. Sebagai perempuan, kata ibunya, tidak baik
mengumbar perasaan. Menunggu adalah hal terbaik yang harus dilakukan perempuan.
Ibunya memang terhitung wanita konservatif dalam soal cinta.
"Marah, ya!" Eri meloncat turun dan
kini sudah duduk di rumput.
"Ke mana aja, sih!" Nana cemberut.
"Aku ke Baduy."
"Kok, nggak bilang! Aku 'kan kepingin
juga ke Baduy."
"Di luar rencana, sih."
"Aku pikir nggak bakal pulang lagi."
Eri tersenyum.
"Hotelmu kebakaran."
"Aku denger di radio."
"Lho, katanya di Baduy nggak boleh denger
radio?"
"Sembunyi-sembunyi," Eri tertawa
kecil.
"Wah, itu merusak lingkungan
namanya!" Nana protes.
Eri mencubit pipinya.
"Udah ketemu kawan-kawanmu?"
Eri mengangguk. "Kami sepakat untuk
mencari jalan sendiri-sendiri dulu. Opik kursus piano di Bandung, Uzi mau adu
nasib di Jakarta. Siapa tahu ada band yang butuh penyanyi. Adam ikut bisnis
pamannya ke Semarang dan Mhaex memilih mengurus lebih serius sanggar
lukisnya."
"Kamu?" Nana bermanja-manja.
"Itulah sebabnya aku kemari. Ada yang
ingin aku bicarakan sama kamu, Nana. Ini mendesak sekali," nadanya serius.
"Apa lagi, sih?" Nana ogah-ogahan.
"Please, ini untuk yang terakhir, Nana."
Nana menatapnya penuh ingin tahu. Tiba-tiba
dia merasakan ada 'sesuatu' menyusup ke hatinya. Dia merasakan rasa sepi yang
panjang. Sorot matanya pun jadi redup. Eri menyembunyikan wajahnya di kedua
lututnya. Rambutnya yang gondrong menutupi seluruh wajahnya.
Mereka meluncur ke pantai di Selat Sunda.
Menghabiskan hari sambil menanti senja. Nana seperti merasakan pertemuan dengan
Eri ini untuk yang terakhir kali.
"Kamu seperti mau pergi jauh, Eri,"
perasaannya diungkapkan.
Eri memegang lengannya. Dia tidak ingin
kehilangan gadis yang selama ini selalu hadir, jika dia sedang bersusah hati.
Gadis yang selalu menemaninya dalam kegembiraan.
"Aku renungkan berhari-hari di Baduy
sana, Nana. Dan aku semakin mantap setelah hotel tempatku bekerja kebakaran."
Nana menyembunyikan wajahnya. Dia tidak berani
untuk menatap layar yang membentang luas di atas Selat Sunda. Dia seperti takut
untuk menyaksikan matahari tenggelam di layar itu, karena dia sudah merasa
hatinya berubah jadi gelap. Tak ada cahaya. Pernyataan Eri tadi cukup
menggoncangkan jiwanya.
"Aku ingin melupakan dulu masalah-masalah
yang sepertinya nggak berhenti menimpaku. Sebutlah aku pengecut. Tak apa. Yang
penting, aku sedang berusaha untuk memperbaiki keadaan. Aku cuma ingin
meninggalkan Papa-Mama; mencari suasana baru. Kalau terus-terusan begini, aku
bisa stress, Nana. Bisa frustasi di usia muda.
Episode 18
Senja di Selat Sunda
"Mungkin ini jalan keluar yang
terbaik."
"Betul itu pilihanmu, Eri?" Nana
memeluk Eri.
"Sudahlah, Nana, jangan menangis,"
Eri mengusap air mata di pipinya. "Aku menyesal sudah membuatmu
sedih." ,
"Kenapa kamu tidak tinggal di sini saja.
Toh ada aku, Siska, Om dan Tante." "Bagaimanapun mereka bukan
milikku, Nana."
"Setidaknya kami akan menghiburmu."
"Ketulusan hati kalian memang membuatku
terhibur. Bahagia rasanya jika aku berada bersama kalian, Nana. Tapi ada yang
lebih penting dari itu, kehidupanku sendiri.
Aku masih muda. Jalanku bisa saja terbentang
lurus, panjang, atau berkelok-kelok. Dan aku harus melaluinya."
"Tapi, kamu butuh pertolongan."
"Aku akan minta pertolongan pada
Tuhan."
"Tapi nggak mesti sendirian."
"Aku sedang ingin sendiri."
"Kamu akan meninggalkan aku?"
"Kamujuga masih muda, Nana. Malah jalanmu
lebih mulus dari aku. Laluilah. Nikmatilah."
"Tapi, aku ingin bersamamu melewati jalan
itu."
"Sebaiknya aku berterus terang
saja," Eri berdiri. Dia berjalan menuju lidah ombak. Kakinya terbenam di
pasir sampai semata kaki. "Aku nggak tahu pasti akan pergi ke mana dan
pulang kapan," pelan suaranya.
"Oh, Eri!" Nana seperti tidak mau
mendengarnya.
"Sebaiknya ketika aku pergi, janganlah
aku pikirkan soal pulang. Kamu tahu, aku seperti tidak punya tempat untuk
pulang, Nana. Itulah yang aku rasakan saat ini."
"Aku akan kehilangan kamu," Nana
sudah berada di belakangnya. Mereka berhadap-hadapan. Layar raksasa mulai
kemerah-merahan. Sebentar lagi senja akan turun di Selat Sunda. Ini seperti
mengisyaratkan kisah-kasih mereka, yang akan pudar dimakan oleh waktu.
Eri memeluk Nana. Mendekapnyaerat-erat.
"Aku takut untuk berjanji, Nana. Aku
nggak ingin janjiku itu nanti akan membelenggumu. Kita masih muda. Masih butuh
menghirup udara sebebas-bebasnya."
"Aku akan menunggumu pulang."
"Jangan, jangan, Nana," Eri
merapihkan rambut Nana yang jatuh di kening. "Itu bisa jadi beban buatku
di perjalanan nanti."
"Kamu akan berkirim surat?"
Eri mengangguk.
"Janji?"
"Untukmu, apa pun yang kauminta, akan aku
lakukan."
"Apa yang akan kamu cari, Eri?" Nana
merebahkan kepala di dadanya.
"Aku ingin menemukan diriku
sendiri."
"Apa selama ini kamu merasa bukan diri
kamu?"
Eri menggeleng. "Aku yang sekarang adalah
‘aku yang cengeng' .Yang begitu mudah rapuh oleh hempasan hidup. Aku ingin jadi
lelaki yang kuat, yang mengerti 'untuk apa seorang lelaki hidup'.
Selama ini aku hidup di atas kekayaan dan
kehormatan semu dari orangtuaku. Apa pun yang aku inginkan, terlebih-lebih
materi, selalu tersedia. Kalau selamanya seperti ini, aku tidak akan pernah
siap jika suatu waktu barus betul-betul kehilangan Papa dan Mama.
Aku harus meninggalkan rumah untuk sementara
waktu. Harus ada 'sesuatu' mengisi jiwaku, karena bagaimanapun aku adalah
pewaris tunggal mereka. Aku harus jadi kebanggaan mereka suatu hari
kelak."
Nana semakin merapatkan pelukannya. Dia harus
merelakan kepergian Eri untuk waktu yang tidak terbatas. Seorang wanita cuma
bisa memiliki lelaki seutuhnya dengan kelembutan perasaannya. Tak akan bisa
seorang wanita memiliki jiwa lelaki seutuhnya. Dia berharap bisa begitu;
merasakan terus kehadiran Eri di hatinya.
"Kamu tahu, Nana, sekuat-kuatnya lelaki
akan jadi lemah jika di hadapan wanita. Itulah aku sekarang di depan kamu.
"Karenanya, bantulah aku agar kuat.
Janganlah tangisi kepergianku ini."
Nana harus merelakan Eri 'pergi' seperti juga
setiap manusia harus merelakan matahari tenggelam di setiap senja.
***
Setelah tiga surat terakhir Eri dari Yogya,
Nana cuma menerima kartu pos-kartu pos saja dari Eri. Kadang baru sebulan dia
menerimanya tanpa bisa membalasnya. Tampaknya Eri mulai kesulitan untuk
berkirim surat padanya. Ini terlihat dari tempat Eri mengeposkan surat. Kadang
di kampung-kampung kecil di Madura, Bali, bahkan di Nusa Tenggara Timur, yang
tidak diketahuinya.
Hari bergulir terus.
Pada tahun pertama kepergian Eri, Nana pergi
sendirian ke Pantai Selat Sunda. Menikmati senja. Dia mencoba merasakan apa-apa
yang pernah dilaluinya bersama Eri di sini.
"Ada di mana sekarang Eri, Senja?"
bisiknya pada matahari. "Apakah Eri sedang duduk di pantai menikmatimu,
Senja?" air matanya bergulir.
Ini adalah saat perpisahan kecil bagi Nana
menikmati senja di Pantai Selat Sunda. Dia akan meneruskan pendidikan ke
perguruan tinggi negeri di Yogyakarta. Setiap liburan semester Nana
menyempatkan diri pulang sambil berharap, semoga ada sepucuk surat atau kartu
pos lagi dari Eri. Tapi cuma kehampaan saja yang dia dapatkan. Eri seperti
hilang ke dasar samudra. Tertelan belantara bumi. Paling-paling dia cuma bisa
mengadu pada matahari senja di Selat Sunda.
"Berilah aku kabar tentang Eri,
Senja?" Nana menatap langit timur Selat Sunda. "Apa yang terjadi
dengan Eri?"
Lain saat, "Aku kangen sama Eri,
Senja."
Paling-paling Nana melongok di pagar pembatas
ke rumah sebelah. Jika ada Bik Iyem, dia memanggilnya, "Eri ada di mana
sekarang, Bik?"
"Bulan lalu Bibik yang nerima tilpon. Den
Eri bilang sih di Irian," Bik Iyem memandang gadis cantik ini dengan iba.
Dia bisa merasakan kerinduan hati si gadis pada Eri.
"Ada kabar mau pulang, Bik?"
"Den Eri mau pulang kalau rumah ini sudah
tidak seperti neraka," Bik Iyem melihat ke rumah besar yang sepi itu.
"Petaka apa lagi yang akan menimpa penghuni rumah ini?" gumamnya.
"Hus, jangan ngomong yang nggak-nggak,
Bik."
Episode 19
Senja di Selat Sunda
"Astagfirullah," Bik Iyem merasa
berdosa.
Dari Bik Iyem-lah Nana selalu tahu Eri berada
.di mana. Cuma sekadar tahu. Tentang istri muda papa Eri yang melahirkan bayi
perempuan, Nana juga tahu dari Bik Iyem. Eri pasti senang punya adik sekarang.
Kadang kala dia tidak mengerti, kenapa Eri
setega itu tidak memberinya kabar. Kalau menelepon terlalu mahal, rasanya kartu
pos tidaklah berlebihan. Tapi Eri seperti bermaksud melupakannya.
Nana masih ingat kartu pos terakhir yang
dikirim Eri dari Kupang:
Cukup kenanglah daku, Nana
Yang jauh di pulau
Aku tak tahu kapan kembali
Kalaupun pulang
Ke mana harus kulabuhkan hati?
Ya, aku cukup dikenang saja
Langitmu masih terbentang, Nana
Terbanglah kamu
Jauh dariku
Nana menangis semalaman di kamar. Ini
betul-betul halilintar, menyambar tanpa pilih bulu. Setelah kabar terakhir dari
Eri yang menyakitkan itu, Nana cuma bisa mengadu pada senja di Selat Sunda.
"Kenapa Eri meninggalkan aku,
Senja?" air mata Nana gemerlap. "Haruskah aku melupakan Eri,
Senja?" begitu pengaduannya.
Senja tetap saja terjadi setiap hari tanpa Eri
di samping Nana. Ketika senja bergulir pada tahun kedua dengan kehampaan, Nana
merasakan sudah harus melupakan kenangannya bersama Eri.
Senja di Selat Sunda tertutup awan. Langit
menangis, ikut bersedih melihat ada gadis cahtik yang dirundung duka.
***
Nana menarik napas kuat-kuat ketika mengakhiri
ceritanya tentang Eri. Dilontarkan napasnya ibarat membuang segala himpitan di
dadanya. Tanpa terasa mataku menjadi hangat oleh air mata. Kisah hidup
sahabatku ini betul-betul menyentuh. Ternyata "cinta" pernah melukai
hatinya.
Nana kini tergolek memejamkan matanya. Tampak
wajahnya berseri-seri. Aku yakin sekarang Nana merasa lega. Mungkin batu yang
selama ini menghimpit dadanya sudah teiangkat.
Aku lebarkan selimut. Aku tutupi tubuh perkasa
yang kini tampak kembali menemukan kekuatannya. Wajah cantik alami itu tertidur
pulas. Betapa damai. Kalau Eri diizinkan untuk melihat Nana bahagia, inilah
saat yang paling tepat untuk melihatnya.
Aku betul-betul terharu mendengar ceritanya.
Tak kusangka betapa rapihnya dia menyimpan luka lamanya. Dua tahun aku
bersahabat dengannya dan tak secuil pun aku menaruh curiga, bahwa dia pernah
punya 'sesuatu' yang mengharu biru.
Aku baru bisa tidur menjelang fajar
menyingsing.
Ketika aku menggeliat bangun, karena merasakan
hawa panas di dalam kamar, Nana sudah tidak ada di sampingku. Aku lihat jarum
jam menunjukkan angka dua belas! Betapa lelap tidurku!
Aku melongok di jendela. Melihat ke pantai.
Nana sedang duduk sendirian. Aku berteriak memanggilnya. Nana melambaikan
tangan.
"Mandi dulu, sana!" Nana tertawa
cerah.
Aku sangat gembira bisa melihat Nana tertawa
lagi.
Sepanjang hari kami cuma jalan-jalan di
pantai; membicarakan apa saja. Buatku ini penting untuk mengembalikan tenaga,
karena lusa akan menjelajah wilayah Kanekes.
"Betul nggak akan berubah pikiran?"
aku mengingatkan lagi.
"Sekarang aku sudah plong," wajahnya
berseri-seri.
"Eri ikut ke Baduy?"
"Seperti kata Yanto, selain dia senior
PA, cuma dialah yang tahu rute lewat pintu belakang."
"Kamu tahu kenapa alasannya Eri
pulang?"
"Nanti aku tanyakan."
"Kita akan menikmati senja lagi hari ini,
Nana?"
Nana mengangguk.
Tampaknya senja di Selat Sunda tak bisa
dilepaskan oleh Nana. Aku pun pasti akan melakukan hal yang sama. Ini semata-mata
bukan melulu kenangannya saja, tapi melihat senja tanpa halangan apa-apa
sangatlah indah. Kita seperti dibawa pada kebesaran Tuhan, ketika bola merah
kekuning-kuningan itu bergulir perlahan. Cuma beberapa saat saja keindahan itu
berlangsung. Lalu semuanya berubah jadi kegelapan.
Ketika kami sedang asyik menunggu saat senja
tiba, kami dikagetkan oleh suara langkah kaki. Kami tak bisa berkata-kata
begitu tahu seorang lelaki gondrong bertampang bohemian berdiri dengan rasa
bersalah.
"Aku nggak tahu kalian ada di sini,"
katanya pelan. Suaranya tertahan di tenggorokan. "Kalau kamu keberatan,
aku akan pindah ke tempat lain."
Nana menggigit bibirnya.
"Sebaiknya aku pergi," kataku tidak
enak.
Tapi Nana menahanku. "Temani aku,"
bisiknya. "Ini terlalu cepat bagiku."
"Lebih baik kamu di sini menemani
Nana," katanya padaku.
Aku mengangguk dengan segan.
"Aku besok mau ke Jakarta. Aku dapat
kabar dari Uzi, bahwa ada pekerjaan di bar tempatnya bekerja."
Aku menyikut Nana.
"Semoga perjalanan kalian di Baduy
menyenangkan," dia berjalan.
"Mau ke mana, Eri?" akhirnya suara
Nana terdengar.
Eri berhenti seperti patung. Dia membalik,
"Aku mau duduk di sana. Masih dilarangkah aku menikmati senja, Nana?"
nadanya menyindir.
Nana tersenyum getir.
Aku menengahi, "Duduklah bersama kami,
Eri."
"Aku cuma mau menikmati senja beberapa
saat saja. Ini adalah kenangan paling indah yang aku miliki. Aku tak ingin
melewatkannya," suaranya berat dan bergetar.
"Eri," Nana mendekatinya.
Eri tampak gelisah.
"Betul kamu nggak akan mengantar kami ke
Baduy?" kini Nana sudah bisa menguasai emosinya.
Episode 20
Senja di Selat Sunda
"Kamu yang melarang aku, Nana."
"Sekarang tidak lagi."
Eri melihat ke langit timur.
"Kasihan dong sama Tina. Jauh-jauh dari Yogya."
Eri duduk di pasir. "Sebentar lagi senja,
Nana," dia mengingatkan tanpa mengiyakan apakah mau mengantar kami ke
Baduy.
Lembayung di langit timur sangat membius.
"Kenapa kamu pulang, Eri? Pasti ada
alasan untuk itu," aku dengar Nana mengusik.
"Aku kangen sama kamu," Eri
seenaknya saja bicara.
"Kan bisa lewat surat," Nana agak
protes.
"Aku memang pengecut, Nana. Serba salah.
Aku takut untuk mencintai kamu. Aku sengaja nggak berkirim surat agar kamu
benci sama aku. Agar kamu meninggalkan aku. Kamu salah sudah menunggu aku,
Nana. Apa yang bisa kamu harapkan dari aku, lelaki pengecut yang tak punya
tujuan hidup?"
Aku jadi semakin tidak enak ikut mendengarkan
percakapannya. Aku berdiri dan betul-betul meninggalkan mereka. Biarlah mereka
menumpahkan segala-galanya yang hilang selama tiga tahun.
Setelah senja berganti kegelapan, Nana masuk
ke cottage dengan wajah yang sukar aku tebak. Duduk di tempat tidur dan
bersender.
"Anibody home!" teriakku.
Nana tersenyum hambar.
"Kenapa, Na?" aku memegang
lengannya.
"Apakah salah jika aku menunggu Eri,
Tina?" sorot matanya hampa.
"Menunggu seseorang yang kita
cintai?"
Nana mengangguk.
Aku bilang, "Asal tidak sepihak
saja."
"Tapi kamu denger tadi Eri bilang
apa."
"Ya," aku mencoba memberi
pengertian.
"Aku sebetulnya sudah melupakannya,
Tina," Nana berjalan ke jendela. "Tapi tiba-tiba dia muncul mengoyak
kenangan lama."
"Eri ngomong apa lagi?"
"Selain ingin melihat adik tiri dan
mamanya dirawat di rumah sakit, dia pulang memang sengaja untukku. Dia cuma
ingin minta maaf dan menjelaskan bahwa semuanya demi kebaikanku.
Demi kebaikanku, Tina?"
Aku mengangguk pelan, "Apa yang dikatakan
Eri memang betul." Nana mendelik.
"Duniamu masih membentang luas. Eri nggak
ingin mengikatmu, sementara kamu di sini menunggu dengan ketidakpastian."
"Kalau memang begitu, kenapa Eri nggak
gamblang saja bilang?"
"Karena Eri masih mencintaimu. Dia
menyerahkan segalanya pada kamu untuk mengambil keputusan. Apa pun yang kamu
putuskan, dia akan menerimanya."
"Oh, begitu? Setelah tiga tahun aku dalam
penantian yang sia-sia, tanpa secuil pun kabar darinya, tiba-tiba dia datang
menawarkan 'cinta' lagi padaku?
Begitu, Tina?
Oh, tidak. Tidak, Tina!"
"Jangan bilang sama aku. Bilang sana sama
Eri," aku tersenyum.
Nana betul-betul gelisah.
"Eri, mana?" aku melongok di
jendela.
"Pulang."
"Nganter kita ke Baduy?"
"Dia nggak ngomong."
"Ya sudah, lewat rute normal aja."
Nana mengambil pakaian kotor dan memasukkan ke
tas. "Kita check out sekarang, Tina!" katanya bergegas.
Aku cuma bisa melongo.
***
Episode 21
Senja di Selat Sunda
Kabut di Selatan 1
Ada enam lelaki dan empat perempuan -termasuk
aku- berdiri di pinggir jalan. Mereka sudah sepakat untuk melewati jalan
lolongok, pintu belakang dari arah selatan tanpa Eri. Toh, nanti bisa tanya
sama orang-orang, begitu pikir mereka. Keinginan mereka ini sudah lama
terpendam: pergi ke Baduy menyusuri Pegunungan Kendeng. Selama ini mereka cuma
melewati rute turis, masuk lewat pintu gerbang Ciboleger atau pintu samping
Ciranji-Kroya.
Nana, Rini, dan Yayah menyetopi truk. Mereka
mengumbar senyum pada para supir, yang siapa tahu mau mengangkut kami ke
Malimping, jauh ke selatan. Kaum lelaki bersembunyi di warung. Dengan taktik
seperti ini, biasanya suka ada supir truk yang rela mengangkut para petualang
cewek. Kasih umpan cewek, yang nongol para begundal! itu pepatah mereka.
Tiba-tiba kami melihat seorang lelaki gondrong
berlari-lari. Aku melihat reaksi Nana, yang sukar sekali ditebak. Aku harus mau
mengangkat jempol, karena Nana bisa begitu cepat menguasai emosinya. Entahlah
kalau ini terjadi padaku. Dan orang-orang berseru girang.
"Masih ada tempat buatku?" Eri
tersenyum dan saling berjabat tangan. Dia tersenyum padaku dan Nana.
"Sorry, telat!" dia tertawa.
Aku membalas senyumnya, tapi Nana cuma
mengangguk.
Yanto meninju bahunya.
Kami termasuk beruntung juga ketika ada truk
langsung mengangkut ke Malimping. Dari kota kecamatan ini kami terus ber-liften
ke Cikotok, tambang emas di Banten Selatan. Menjelang senja kami tiba di
Cikotok.
Tambang emas, yang mulai dibuka oleh
perusahaan Belanda, NV Mynbouw Maatschapij Zuid Bantem, 1936, adalah sebuah
desa bertampang kota. Rumah penduduk tumbuh di bukit-bukit hijau yang indah,
seperti anak tangga yang disusun teratur oleh seniman Agung. Udaranya yang
sejuk dan nyaman semakin mendukung panorama alami ini. Penduduknya kebanyakan
pendatang.
Setelah mjnta izin pada penguasa setempat,
kami membuka tenda di tanah lapang. Untuk meneruskan perjalanan sudah tidak
mungkin. Esok pagi kami akan melanjutkan lagi. Ada jalan sepanjang 10 km yang
masih bisa dilalui kendaraan roda empat.
Keesokan paginya kami tetap beruntung lagi,
karena ada kendaraan tambang yang mengangkut kami sampai kampung Ciusul, batas
terakhir yang masih bisa dilalui mobil. Kalau naik angkutan umum, perorang kena
seribu lima ratus perak.
Setelah itu kami berjalan naik-turun bukit.
Ketika meniti jembatan gantung yang sudah tua
dan miring, aku merasa deg-degan juga begitu melihat sungai di bawahnya yang
kecoklatan. Apalagi ketika beberapa orang bergurau, dengan menggoyang-goyangkan
jembatan. Terutama Eri. Tampaknya dia berusaha ingin melihat ada orang yang
terjatuh ke sungai.
Kalau aku perhatikan sepanjang perjalanan, Eri
memang termasuk jail. Doyan iseng. Biang keributan. Mulutnya tak mau diam dan
dia bisa bergerak ke depan dan ke belakang rombongan tanpa kenal lelah.
Perjalanan memang jadi tidak membosankan. Tapi dia tampaknya tidak berani lagi
mengisengi Nana, karena jarak sudah terbentang memisahkan mereka.
"Kalau nggak kuat, biar aku
gendong," Eri sudah berjalan di sampingku dengan cengiran nakalnya.
Aku tersenyum.
"Bawain ranselku, mau?" aku
berharap.
"Hey, siapa yang mau jadi porter cewek
Yogya!" teriaknya kurang ajar. "Lumayan lho, go ceng perjam!"
tawanya menggema.
Orang-orang tertawa.
Tiba-tiba Eri dengan sangat tidak sopan
membuang ingus di depanku. Menyadari reaksiku yang jijik, dengan tenang dia
bilang, "Sekaranglah saatnya kita melakukan pelepasan. Membuang segala
tata krama, basa-basi yang biasa kita lakukan di kota.
"Mari kita back to nature! Kembali jadi
orang tak beradab!" teriaknya ngawur.
Nana menoleh ke arahku. Lewat isyarat matanya,
dia seperti menanyakan apakah aku baik-baik saja. Aku mengangguk, walaupun
kadang putus asa melihat tanjakan yang harus aku daki.
Aku betul-tul tercecer. Nana dengan setia
menemaniku istirahat. Aku jadi tidak enak pada yang lainnya, karena sudah
menghambat perjalanan. Ketika aku betul-betul tertinggal, Eri menyuruh Yanto untuk
berjalan di depan. Si gondrong yang betul-betul jadi tidak tahu tata krama ini
mengambil tempat di belakang. Aku tahu dia berjaga-jaga kalau aku tertinggal.
Nana yang merasa serba salah aku beri isyarat
untuk terus saja berjalan. Dia beberapa meter di depanku. Yang lainnya sudah
jauh di depan. Nana pun lama-lama sudah tak kelihatan lagi.
Aku duduk beristirahat di bawah pohon. Minum
sebanyak-banyaknya.
"Jangan terburu-buru minum," Eri
sudah tiba. "Pelan-pelan saja. Nanti dada kamu sakit," katanya lagi
sambil mengkuliahi, bahwa suhu badan kalau sedang panas jangan langsung kena
air. Berilah tempo untuk menurunkan suhu badan.
Akhimya aku sependapat setelah aku
batuk-batuk.
Akulah yang paling terakhir datang di tempat
beristirahat, di pinggir sungai berbatu-batu. Matahari hampir menggelincir. Eri
beberapa belas meter di belakangku. Aku tahu kalau dia sengaja menjaga jarak,
walaupun tetap menjaga keselamatanku.
Nana tersenyum menyambutku. "Eri
mengganggu kamu?" dia melihat Eri yang baru tiba dan langsung membantu
mendirikan tenda.
Aku menggeleng. "Aku berani bayar berapa
pun, Nana, kalau ada motor ojek!" aku mengeluh.
Nana tertawa lucu.
Kami yang perempuan, kebagian mengurusi dapur.
Aku agak kikuk juga ketika ikut memasak. Untung mereka membiarkan aku
istirahat. Aku tertidur pulas di hammock, yang diikat di antara dua batang
pohon rindang.
Aku dibangunkan setelah makan malam tersedia.
Sebetulnya aku agak risih juga melihat nasi dan mie rebus yang diciduk langsung
dari panci dan kadang saling berebut, piring-piring yang tampak kotor, serta
cara makan mereka yang buatku jorok.
Episode 22
Senja di Selat Sunda
Untung aku sudah mempersiapkan makan malam
yang lain. Roti, keju, dan coklat. Tapi sialnya, selera makanku langsung hilang
begitu Eri duduk di sebelahku. Dia makan tanpa menggunakan sendok. Malah dengan
sengaja piring itu diangkat dan didekatkan ke bibir. Dia langsung
menyeruputnya!
Perutku memberontak.
"Enak lho makan kayak gini," dia
menjilati piringnya sampai licin. "Ini bisa jadi obat penawar
stress!" tawanya meledak. "Selera makanmu hilang? Boleh minta
rotinya? Buat cuci mulut!"
Aku sodorkan bungkusan roti. Eri pun berteriak
pada yang lain. Dalam sekejap rotiku pun amblas. Untuk mengganjal perut, aku
cuma makan coklat dan makanan kecil yang sudah aku persiapkan. Tapi perbekalan
darurat ini pun cepat menipis, karena aku harus membagi-bagikan pada rombongan
cewek.
"Kayaknya acara makan berikutnya, kamu
harus mau bergabung, ya?" Nana tertawa senang.
Aku mengangguk lemah.
Kami berkumpul mengelilingi api unggun. Saling
tukar cerita. Banyak pertanyaan terlontar padaku. Terutama soal kehidupanku,
yang menurut mereka sangat berbenturan dengan kehidupan mereka. Aku memang
paling "berbeda" di antara mereka. Tidak segesit dan sekuat mereka.
Aku cenderung "dilayani" dan "diistimewakan" oleh mereka.
Lalu beberapa lelaki menawarkan membawakan ranselku.
Ini ide bagus. Ranselku dibongkar.
Barang-barangku dibagi-bagi kepada mereka. Kecuali barang-barang
"perusahaanku" saja, yang tetap aku bawa. Kini ranselku terasa
ringan.
Tapi ketika kami melanjutkan perjalanan lagi
keesokan harinya, ransel itu tetap saja membuat punggungku sakit. Aku sadar
bahwa setiap saat kondisi badanku semakin lelah, sehingga barang yang
semestinya ringan tetap terasa berat. Mungkin yang paling hagus, aku tidak usah
membawa apa-apa.
Menjelang tengah hari, langit berubah gelap.
Angin menderu-deru. Aku cuma melihat punggung seseorang di depanku. Lalu hilang
di tikungan. Aku menunggu Eri muncul dari belakang. Aku merasa takut sekali
ketika gerimis mulai turun.
"Kenapa?" Eri menadahkan tangannya.
"Bakalan gede nih hujannya!" katanya. "Siniin ranselmu!"
Tanpa hanyak omong aku serahkan ranselku.
Punggungku terasa ringan sekali. Aku menarik napas lega. Aku berjalan cepat-cepat.
Eri tetap di belakangku. Ranselku disandang di dadanya.
Gerimis semakin rapat. Aku hampir putus asa
ketika sadar, bahwa kampung itu ada di atas bukit. Aku harus melalui tanjakan
berbatu-batu yang panjang. Aku berlari semampuku.
Hujan mulai deras. Tubuhku basah kuyup. Eri
membantuku menaiki tanah menyerupai anak tangga. Aku betul-betul putus asa dan
menyesal sudah ikut ke sini. Aku betul-betul ambruk ketika sampai di
perkampungan.
"Kamu haik-haik saja, Ti:na?" Nana
menyambutku. Dibawanya aku ke rumah kepala kampung, di mana orang-orang sudah
bermalas-malasan di bale-bale-nya.
"Aduh, Nana," tanpa merasa malu aku
merebahkan badan di bale-bale. Beberapa orang memberi tempat yang luas padaku.
"Sebaiknya bajumu diganti dulu," Nana membangunkan aku.
"Badanku kayaknya remuk," aku bangun
dengan malas.
Setelah berganti baju dengan yang kering, aku
langsung meringkuk di sleeping bag di pojok. Hujan tak ada tanda-tanda mau
berhenti, malah semakin besar saja. Perjalanan terpaksa dilanjutkan esok hari.
Kami bermalam di kampung ini. Aku perhatikan
suasana kampung ini sangat terisolir. Mustahil bisa dimasuki mobil sampai tahun
2000. Tapi aku merasa trenyuh sekali melihat penerimaan tuan rumah, yang sangat
ramah dan manusiawi. Segala yang ada di dapur, dihidangkan pada kami. Buat
orang kampung, kedatangan tamu dari kota memang sebuah kebanggaan.
Sebelum kami pergi meringkuk, Bapak Kepala
Kampung memberi nasihat, tentang pantangan di leuweung kolot, hutan Baduy yang
penuh misteri. Untuk sampai Baduy Dalam, kita memang harus menembus leuweung
kolot. Yang membuatku ngeri adalah ketika bapak itu mengabarkan tentang tiga
orang perampok dari Rangkasbitung, yang melarikan diri ke wilayah Kanekes.
Aku berbisik pada Nana, "Jangan-jangan
kita ketemu mereka."
Nana cuma tersenyum menghiburku.
Keesokan harinya langit cerah. Kami
melanjutkan perjalanan lagi; naik turun bukit. Menjelang senja kami melintasi
sebuah sungai kecil berbatu-batu. Lagi aku selalu tiba paling akhir. Eri tetap
setia di belakangku. Seharian tadi dia tidak menggodaku.
Sungai berbatu-batu ini perbatasan alam
wilayah Kanekes, yang memisahkan dunia "luar" dengan alam Baduy.
Setelah itu leuweung kolot menjulang di depan kami. Dan kampung Baduy ada di
sana.
Aku duduk dan membuka sepatu. Merendam kedua
kakiku. Aku basuh wajahku dengan air sungai yang jernih. Terasa segar, walaupun
kulit wajahku terasa perih terbakar.
Nana menghampiriku. "Hebat," katanya
tertawa kecil. "Ternyata kamu masih kuat jalan. Aku kira udah digendong
Eri."
Aku semprot Nana dengan air sungai.
Nana membalas.
"Kita bermalam di sini aja!" Eri
muncul di balik semak-semak. "Daripada kemaleman di leuweung kolot!"
Yanto mengiyakan sambil menyuruh beberapa
orang untuk mencari tanah agak lapang.
Aris, Toni, Ato, dan Maman membongkar
ranselnya. Mereka mendirikan tenda. Peralatan berkemah berhamburan. Sebuah
flysheet, lembaran gantung, mereka rentang dan diikat di dahan-dahan. Ini bisa
jadi atap tenda jika hujan turun nanti.
"Mestinya anak Yogya ini masak buat
kita-kita!" Eri berteriak pada yang lain.
Nana melirikku sambil mengulum senyum. Aku
jadi serba salah. Nana tahu kalau aku paling tidak bisa masak. Di rumah
segalanya dikerjakan oleh pembantu. Paling-paling aku cuma bisa merebus mie.
Sialnya aku kebagian memasak nasi. Aku meminta pertolongan Nana. Ini seperti
kiamat buatku.
"Aku ajarin deh," Nana menarik aku
ke sungai.
"Eri cuma mau mempermainkan aku
saja," bisikku.
Episode 23
Senja di Selat Sunda
Nana lagi-lagi tertawa.
"Sana, kamu kumpul sama mereka saja,"
suruhku.
"Betul?" Nana menyelidik.
Aku mengangguk. Biarlah aku kerjakan sendiri
saja. Aku ingat-ingat kursus kilat yang diajarkan Nana tadi. Aku cuci beras di
sungai. Rasanya dadaku tertekan sekali, karena setiap gerakanku seperti
diperhatikan orang-orang.
Aku raba-raba benda keras persegi empat
berwarna putih ini. Para petualang menyebutnya parafin. Aku nyalakan dengan
korek api, malah tanganku yang tersundut. Aku sembunyikan rasa perihku dengan
menjilati jariku yang tersundut api tadi. Beberapa kali aku coba menyalakan
api, tapi selalu gagal. Benda "ajaib" ini masih barang aneh buatku.
Yayah yang kebagian merebus mie, membantuku menyalakan api.
"Hati-hati, nasinya jangan sampai
hangus," Eri menyindir aku.
Aku pura-pura tidak mendengar ocehannya.
Api di tungku sudah menyala. Aku letakkan
panci berisi beras di atasnya. Api pun menjilat-jilat. Sesekali aku buka tutup
panci, aku aduk-aduk. Akhirnya nasi pun matang juga, walaupun di bawahnya
terbentuk kerak lumayan tebal.
Eri mengacung-acungkan kerak, nasi yang
gosong, pada orang-orang sambil tertawa-tawa. "Ini dia nasi made in Yogya!
Lumayanlah!"
Kami mengitari api unggun.
Aku lihat Nana ingin menghentikan ulah Eri.
Tapi Eri tidak peduli. Yang lain ngobrol seperlunya saja. Yanto malah asyik main
catur dengan Aris.
"Kamu tuh noraknya nggak
ilang-ilang!" tegur Nana.
Eri cuma tertawa. Dia menghampiri aku.
"Kamu marah, Tina?" si brengsek ini duduk di sebelahku.
Aku menatapnya.
"Kalau sedang begini, aku selalu
bergembira, Nana. Kadang kala aku suka melakukan hal-hal yang di luar dugaan.
Entahlah. Yang penting aku bisa melupakan keruwetan di rumah."
"Itukah sebabnya kamu suka
traveling?" tanyaku.
Eri mengangguk.
"Tapi itu jangan dijadikan alasan untuk
bikin kesal orang, dong!" protesku.
"Aku cuma nggak betah dengan suasana
sepi. Aku pingin semua orang bergembira dalam perjalanan seperti ini."
Yanto menghampiri kami. "Siapa yang
duluan jaga, Ri?" katanya melihat ke sekeliling.
"Aku sama siAris, deh!" Eri berdiri.
"Sebaiknya kamu tidur aja. Kumpulin tenaga buat besok,"
Eri tersenyum padaku.
Aku merasa terhibur melihat senyumnya yang
mempesona. Aku lihat arlojiku. Sudah hampir jam sepuluh! Aku masuk ke tenda
lebih awal.
"Nanti tiga jam lagi di aplus, ya!"
aturnya pada Yanto. "Setelah Ato sama Maman, kamu giliran yang terakhir
sama Toni!" Eri masih memberi petunjuk pada Yanto.
Malam merembet dan gerimis mulai turun.
Di antara tidurku yang setengah terjaga, aku
dengar suara kasak-kusuk. Ketika aku buka mata, betapa gelapnya suasana
sekeliling. Aku hampir saja berteriak, karena dadaku ini seperti terhimpit. Aku
belum pemah tidur dalam kegelapan seperti ini. Tapi mulutku langsung terkunci,
begitu ingat aku sedang berada di mana. Aku meraba-raba arlojiku. Mencoba
melihatnya di keremangan cahaya. Aku pijit lampu penerang arloji. Jam satu
malam! Aku lihat Nana sedang dikerubuti kawan-kawannya. Aku mencoba memasang
kuping, mencuri percakapan mereka.
"Tadi Eri ngeronda ke batas hutan,"
bisik Nana seperti takut kedengaran oleh aku. "Dia lihat ada api di
sana."
"Api unggun?" Rini memegangi lengan
Nana.
Nana mengangguk.
"Perampok itu?" Yayah agak cemas.
"Belum pasti," hibur Nana.
"Eri, Yanto, sama Aris sedang menyelidiki. Siapa tahu mereka rombongan
seperti kita."
"Kalau bukan?" Mira gelisah.
"Jangan berisik," Nana melihat
kepadaku.
Aku pura-pura tertidur lelap.
"Kita balik lagi ke kampung aja,
deh," usul Yayah. "Tengah malam begini?" Nana mengingatkan.
"Daripada ketemu perampok!" Rini
ketakutan.
Tiba-tiba Eri dan Aris muncul.
"Yang lain mana?" sura Nana tegang.
"Jaga-jaga," ini suara Aris.
"Tina tidur?" Eri melihat ke arahku.
"Bagus. Jangan sampai dia tahu, ya."
"Gimana? Betul mereka perampok itu?"
Rini tak mau diam.
"Ada tiga orang lelaki sedang berkemah di
batas hutan," keterangan Eri ini membangunkan aku.
"Apa? Perampok itu ada di sini?"
pekikku.
Nana memelukku, "Tenang, Tina."
"Tenang bagaimana, Nana?" aku
meronta.
"Bakal bahaya kalau kita semalaman
ketakutan di sini," aku tetap memilih untuk kembali ke kampung.
"Denger, denger dulu," potong Eri.
"Mereka nggak bakalan berani keluar dari persembunyian, karena tempat ini
sudah dikurung. Apalagi sampai dateng ke tempat kita."
"Apa rencanamu, Eri?" Nana tetap
menenangkan aku.
"Kalian tidur aja. Biar kami jaga-jaga di
luar. Besok pagi baru kita putuskan, apakah mau terus ke Baduy atau balik lagi
ke kampung," Eri keluar dari tenda.
Nana berdiri dan menyusul keluar tenda.
Tinggal aku, Rihi,Yayah, dan Mira yang saling pandang dan merasakan ketakutan. Tidak
lama Nana muncul lagi. Wajahnya tetap tenang, atau katakanlah
ditenang-tenangkan agar kami ikut tenang juga. "Bagaimana, Nana?"
sambutku.
"Kita tidur saja. Perjalanan kita masih
panjang," Nana mengambil tempat.
"Apanya yang tenang?" Rini gelisah lagi.
Nana tidak menjawab. Dia menyelipkan tubuhnya
di antara aku dan Mira. Kami berdesak-desakan. Ketakutan akhirnya terkalahkan
juga oleh rasa kantuk yang menyengat.
Episode 24
Senja di Selat Sunda
Kegelapan aku rasakan membelenggu seperti
jubah-jubah penunggu hutan. Kegelapan yang menyeringai mempertontonkan
gigi-gigi taringnya. Waktu menggelinding bagai derit pintu tua, seperti ikut
menyeramkan suasana malam.
Aku menggeliat ketika seseorang menepuk-nepuk
tubuhku. Burung-burung aku dengar bersahutan dengan riang. Aku keluar dari
tenda. Warna kemerahan pun mengambang di langit timur.
Aku lihat Nana, Yayah, dan Rini sedang merebus
air. Menyiapkan teh atau kopi panas, dan sarapan mie rebus. Selalu saja aku
bangun paling akhir. Rasanya malu juga. Sebagian lelaki membereskan tenda. Aku
pergi ke sungai, mencuci muka.
"Kita kembali ke kampung?" aku sudah
membantu membukai bungkus mie.
"Ngapain balik lagi!" sambar Eri.
"Nanti sore juga kita sampai di Baduy!"
"Tapi perampok-perampok itu?" aku
menatapnya kesal.
"Sudah aku bilang, mereka nggak bakalan
berani menampakkan wajahnya. Apalagi berani muncul di jalan setapak. Mereka itu
sembunyi jauh-jauh di dalam hutan," Eri bersikeras. Tiba-tiba Yanto
menyentuhkan telunjuknya kebibir,menyuruh untuk diam. Dia menyuruh kami untuk
bersembunyi. Aku berlari mengikuti Nana ke semak-semak. Eri, Toni dan Aris
bersembunyi di batang pobon di mulut jalan setapak. Yang lainnya cuma menanti
saja dengan perasaan was-was di depan tenda.
Ah, ternyata cuma serombongan Baduy Panamping,
Baduy Luar yang hidup di sekitar Baduy Dalam; Cikeusik, Cikartawana, dan Cibeo.
Ada tiga gadis muda belia memakai pemerah pada bibirnya. Mereka membawa
buntelan. Dua bocah berambut panjang, yang memanggul pisang. Dan dua lelaki
dewasa, yang menggotong weulit, atap dari daun kelapa. Mereka berpakaian serba
bitam, yang menandakan identitas Baduy Luar. Kalau pakaian Baduy Dalam selalu
ada unsur warna putihnya. Atau bisa juga serba putih.
Penduduk Baduy Luar ini membawa hasil bumi
untuk ditukar pada kampung-kampung terdekat dengan kebutuhan sehari-hari,
seperti garam, terasi, atau ikan asin. Begitulah kebiasaan mereka, kalau tidak
berdagang ya paling-paling bertandang untuk melestarikan kehidupan bertetangga
dengan masyarakat di luar wilayah mereka..
Lalu ada rombongan kedua. Kali ini lebih
banyak. Selain yang membawa pisang, weulit, ada seseorang yang memanggul kayu
bakar. Orang itu memakai topi laken dan pakaiannya kotor sekali.
Eri keluar dari persembunyiannya. Dia berlari
mendekati si kayu bakar itu. Mencegatnya. Aku melirik Nana, yang tampak tegang.
Aku yakin bakal ada sesuatu yang terjadi. Apalagi Yanto dan Aris ikut
menghadang.
"Mau ke mana, Kang?" Eri
menelitinya.
Si kayu bakar tidak menggubris. Dia
mempercepat langkahnya, melewati rombongan Baduy panamping.
"Tewak tah, tewak! (Tangkap tuh,
tangkap!)" teriak Eri mengejar.
"Rampok, rampok!" Yanto menimpali.
Si kayu bakar merasa posisinya terjepit. Dia
membuang pikulan kayu bakarnya dan ngibrit. Tapi Eri lebih cepat dan sudah menubruknya.
Mereka bergulingan di tanah. Yanto membantunya. Orang-orang Kanekes berhenti
dan memperhatikan pergumulan itu. Eri mencekal perampok itu. Yanto menggeledah
tas kecilnya. Ada beberapa perhiasan dan segepok uang.
"Mana yang dua orang lagi?!" bentak
Eri.
Perampok ini menatapnya dengan beringas.
Eri menyuruh Aris mengikat perampok ini
kuat-kuat. Lalu menyerahkannya pada rombongan Baduy Luar. Mereka menggiringnya
ke kampung terdekat. Menyerahkannya ke kepala kampung.
"Kamu nekat, Eri!" protesku masih
was-was.
Eri malah tertawa. "Yuk, kita
berangkat!" katanya pada yag lain.
"Heh, bagaimana kalau yang dua orang lagi
melihat tadi?" aku menolak untuk pergi. "Bisa berabe nanti!"
"Mereka tinggal dua orang! Kita
bersepuluh! Kalian takut?" tantang Eri. "Percaya deh, mereka nggak
bakalan berani menampakkan batang hidungnya!"
"Asal jangan kemalaman saja," Yanto
buka suara.
"Nggak bakalan. Sore juga udah
nyampe," Eri meyakinkan. "Tanggung dong kalau balik lagi. Ini justru
keasyikannya!"
Aku meminta pendapat Nana, yang tampak mulai
terpengaruh oleh omongan Eri. Aku lihat yang lainnya sudah membereskan ransel.
"Cuma resikonya, kita nggak bisa mampir
lama-lama di Cikeusik dan Cikartawana," Eri menyebut dua kampung Baduy
Dalam. "Sasaran kita langsung ke Cibeo aja!" tegas Eri.
Aku agak kecewa juga. Berarti aku tidak akan
melihat kehidupan di dua kampung Baduy Dalam yang masih murni memegang aturan
adat. Bahkan agak tertutup menerima tamu dari luar wilayah mereka. Menurut
Nana, kampung Baduy Dalam terakhir, Cibeo, sudah tercampur dan agak terbuka
pada kehidupan dunia "luar". Kampung inilah yang tampaknya
dipersiapkan untuk "terbuka" menyambut wisatawan nusantara, yang
ingin tahu tentang kehidupan mereka.
***
Episode 25
Senja di Selat Sunda
Kabut di Selatan 2
Petualangan besar buatku pun dimulai. Satu per
satu kami memasuki leuweung kolot, hutan Baduy di pintu selatan. Aku tahu bahwa
masuk ke Kanekes lewat jalan lolongok sangatlah tabu, karena dikhawatirkan akan
"menginjak" tanah larangan, Arca Domas, yaitu titik awal yang
dipercaya orang Kanekes sebagai tempat bumi ini mulai mengeras. Tempatnya di
Bukit Pamuntuan, di hulu Ciujung pada ujung barat Pegunungan Kendeng. Namun
lokasinya sangat dirahasiakan. Cuma puun Cikeusik dan beberapa orang kepercayaannya
saja yang tahu.
"Bagaimana kalau kita 'nginjek' tanah
larangan?" bisikku khawatir pada Nana.
"Tanah larangan itu ada di dalam
hutan," Nana meyakinkan. Tambahnya, "Sepanjang kita nggak keluar dari
jalur jalan setapak, aman deh!"
Tapi beberapa kali kami berpapasan dengan
orang Kanekes, yang panamping atau tangtu. Wajah mereka seperti berkesan tidak
suka. Mereka cuma melintas apa adanya saja. Moga-moga ini cuma perasaanku saja.
"Ati-ati nya, aya rampok! (Hati-hati, ada
perampok!)" aku mendengar seseorang dari mereka memperingatkan.
Eri menerangkan, bahwa seorang dari perampok
itu sudah tertangkap basahdi perhatasan leuweung kolot. Terus terang saja,
selain lelah, hatiku tetap saja didera ketakutan yang tidak enak. Selain akan
serangan dari perampok yang tiba-tiba, juga "kualat" karena melanggar
tradisi setempat terus membayangiku.
Sepanjang perjalanan Eri mencoha mengusir rasa
takutku dengan joke-joke-nya. Aku tertawa juga. Misalnya Eri melucu tentang
seorang Baduy yang salah makan. Maksud hati mengunyah sukro, apa daya kamper
yang dimakan! Anekdot yang lainnya lagi, ketika seorang Baduy keheranan melihat
tamu dari kota memakan sabun (baca: keju).
Hatiku agak terhibur juga. Apalagi ketika
orang-orang ikut tertawa ketika melewatiku. Kedengarannya mereka bergembira.
Tapi ketika melihat Nana yang tersenyum simpul, aku jadi curiga. Pasti ada
sesuatu yang tidak beres padaku.
Nana membalik. Berjalan ke arahku. Dia
mengambil sesuatu yang menggantung di ranselku. Huh, kerak itu! Wajahku
betul-betul panas dan merah. Bagi seorang wanita, ketahuan tidak bisa masak
sangat memalukan! Apalagi kepergok nasi yang ditanaknya hangus! Aku tahu siapa
biang keroknya! Aku pelototi Eri. Agak aneh anak ini. Ketika orang-orang
was-was dengan para perampok, dia masih sempat untuk berbuat iseng. Tapi si
brengsek itu cuma cengar-cengir. Aku ambil kerak itu. Aku lempar
sekeras-kerasnya pada dia.
Eri menghindar sambil tertawa ngakak.
Nana menyuruhku untuk melanjutkan perjalanan
lagi. Dia berada di belakangku, bermaksud untuk melindungiku dari gangguan Eri.
Aku cuma menggigit bibir dan tersenyum saja
ketika menyadari sedang berada di "dunia kecil" yang masih mempunyai
aturan hidup sendiri. Desa Kanekes ini luasnya sekitar 5000 Ha. Terdiri dari
tanah perkampungan dan pertanian (2000 Ha), serta sisanya tanah tutupan (hutan
lindung). Ada 46 kampung Baduy, termasuk tiga kampung tangtu, Baduy Dalam.
Leuweung kolot sudah kami tinggalkan.
Pohon-pohonnya tidak terlalu besar, tapi cukup rapat. Kami mesti hati-hati
ketika menyusuri jalan setapak yang ditutupi akar-akaran. Atau juga menyusuri
aliran air yang berbatu-batu. Serba licin dan berlumut.
Beberapa kampung panamping, Baduy Luar, kami
lewati. Di kampung-kampung Baduy, pada siang hari penduduknya pergi menggarap
ladang atau mencari kayu bakar. Paling-paling wanita tua dan bocah-bocah saja
yang tinggal di rumah. Tapi untuk menjaga keselamatan kampung diserahkan pada
petugas ronda.
Orang panamping sudah termasuk yang mau
menerima kebudayaan modern. Hal-hal yang ditabukan seperti radio, pakaian yang
lebih dari dua warna (hitam dan putih), peralatan dapur dari gelas dan logam,
memakan binatang berkaki empat, sudah merasuki keseharian mereka. Tapi apa pun
perubahan yang terjadi di sini, kesederhanaan masih terpancar jelas di
wajah-wajah mereka. Kesederhanaan dalam pola pikir dan hidup.
Walaupun mereka sudah meninggalkan tradisi
leluhur, yang masih dipertahankan oleh saudara-saudara mereka di tiga tangtu;
Cikeusik, Cikartawana, dan Cibeo, mereka tetap tidak rakus. Mereka cuma
memenuhi sekadar kebutuhan hidup saja. Kesederhanaan itu bukanlah dikarenakan
oleh ketidakberdayaan ekonomi, melainkan ajaran hidup yang dianut. Bagi mereka
kesederhanaan merupakan kewajiban yang harus diwujudkan dalam kegiatan
sehari-hari.
Berbeda memang dengan orang tangtu. Mereka
berupaya memenuhi kebutuhan hidup dan ekonominya di bidang pertanian secara
tradisional. Mereka bertani dengan sistim slash and burning, berpindah-pindah
dalam siklus sekitar 4 -6 tahun, karena secara tradisi perputaran kembali ke
ladang semula harus terjadi dalam jangka waktu yang ganjil. Jika mereka
berpindah ke tempat yang lain, peremajaan hutan sudah dilakukan. Menggarap
lahannya pun tanpa cangkul, tapi menggunakan arit, karena buat mereka bumi
tidak boleh "dilukai".
Persis tengah hari kami sampai di Cikeusik.
Yang paling menarik, sebelum memasuki tangtu, di setiap utara kampung selalu
ada leuit. Pada tiang-tiangnya dibuat lempengan papan seperti piring. Gunanya
untuk mencegah tikus nakal naik ke lumbung.
Aku terperangah, begitu memasuki kampung
tangtu pertama ini. Rumah-rumah berdinding anyaman bambu ini masih serba baru
dan ada sisa-sisa bekas kebakaran. "Agustus 1993 lalu, kampung ini
kebakaran," Yanto menerangkan.
"Semua rumah musnah dilumat api!"
sambung Eri.
"Kecuali rumah puun," Nana menunjuk
ke titik selatan dan agak terpencil.
"Rumah puun memang kebal!" seseorang
berdecak kagum.
"Puun 'kan orang sakti!" tambah yang
lain lagi.
Aku mencoba berpikir rasional. Rumah puun
letaknya di selatan, kondisi tanahnya lebih tinggi, dan cukup jauh dengan rumah
penduduk. Maka wajar kalau tidak terjilat api. Kalau memang ada faktor-faktor
di luar logika, entahlah itu. Tapi aku harus percaya pada kenyataan sejarah
yang ada, bahwa orang-orang natural; yang menganggap "alam sebagai bagian
hidup", selalu punya kekuatan gaib.
Nana menyambung bahwa mereka punya filosofi
hidup, "Bumi haruslah dipelihara. Jangan disakiti." Itulah sebabnya
rumah-rumah mereka tidak menggunakan paku. Antara tiang-tiangnya cuma diikat
dengan akar-akar pohon dan atapnya bukan dari genteng, yang bahan bakunya
diambil dari bumi, tapi dari daun kelapa. Serta dindingnya dari bilik, anyaman
bambu. Air sungai pun tidak boleh dicemari oleh limbah kimia. Mandi memakai
sabun, atau mencuci dengan deterjen dilarang keras!
Episode 26
Senja di Selat Sunda
"Karena tidak boleh 'menyakiti' bumilah,
semua Baduy Dalam memasak di dalam rumah panggung mereka. Tanpa alas yang
representatif. Maka tidak heran kalau ada perkampungan Baduy Dalam sering
kebakaran!" Nana menjelaskan lagi tradisi turun-temurun itu.
"Ya, pantesan!" aku menggelengkan
kepala.
"Kenapa tradisi ini nggak ditinggalin
aja, sih?"
"Menurut mereka, kebakaran sudah hukum
alam. Nggak bisa ditawar-tawar lagi," Eri mencoba memuaskan rasa ingin
tahuku. Tambahnya, orang tangtu tidak pernah menyalahkan tradisi. Tapi
semata-mata kecerobohan mereka saja. "Kalau tradisi yang disalahkan, kata
mereka, Baduy Dalam nggak bakalan pernah ada!" Eri tertawa.
Benakku langsung merekam pola kampung tangtu
ini. Jika diibaratkan sebuah kotak, pusatnya adalah alun-alun. Di titik selatan
pada tanah yang agak tinggi, itulah rumah puun. Ini disengaja, agar penguasa
adat bisa mengawasi wilayahnya. Di sisi timur-barat alun-alun, rumah penduduk
berderet, mengikuti kondisi tanah yang berbukit. Di antara rumah dengan rumah
ada kamalir, saluran kecil tempat mengalirkan air hujan dari atap rumah. Mereka
tidak mengenal pagar, karena itu artinya mengaku tanah sebagai milik pribadi.
Untuk sekadar batas wilayah, mereka cuma mengenal kayu wayang, berupa sebatang
pohon atau batu.
"Perbedaannya dengan kampung panamping
cuma dalam tanahnya saja," Eri menerangkan padaku. Dia menambahkan, kalau
di tangtu, mereka tidak boleh merusak tekstur tanah. Jadi konstruksi
bangunanlah yang menyesuaikan dengan kondisi tanah. Kebalikannya di panamping,
mereka sesuka hati membangun rumah. Jika tanahnya tinggi, mereka akan
meratakannya. Kalau terlalu rendah, tentu akan ditinggikan.
Ketika melihat aku berjalan menuju rumah puun,
Yanto yang berada di dekatku, menyetop. Menurutnya, orang "luar"
seperti kami dilarang mendekati rumah puun dalam batas tertentu.Aku kini yakin
kenapa kita tidak boleh masuk ke Kanekes lewat jalan lolongok (pintu selatan),
karena selain dikhawatirkan "menginjak" tanah yang disucikan, juga
"halaman puun" ini.
Kami duduk di bale kapuunan, di titik utara,
tempat pertemuan resmi atau untuk menerima tamu. Di sebelah kanan bale
pertemuan, ada saung lesung, tempat penduduk menumbuk padi. Setiap menjelang
sore akan kita lihat wanita-wanita Baduy ngobrol sambil menumbuk padi di sini.
Dua pria tangtu, yang meronda, menghampiri
kami. Memakai aros, sarung dari benang kasar berwarna putih, yang dililitkan
menyentuh batas lutut. Lebih menyerupai rok wanita. Bajunya warna putih yang
sudah kecoklat-coklatan. Tanpa kancing dan kutung-seperti kaos. Juga telekung,
ikat kepala berwama putih. Kalau telekung itu dibuka, jangan kaget melihat
rambut mereka yang panjang seperti penyanyi rock!
Eri mengajak mereka hercakap-cakap dalam
bahasa Sunda. Orang Baduy ini tidak banyak bertanya dan kesannya seperti
menunggu saja. Jika ada pertanyaan, mereka menjawab dengan singkat saja.
"Kita disarankan untuk melanjutkan
perjalanan ke Cibeo," kata Eri.
"Kenapa?"
"Soal perampok itu."
Aku menarik napas. Sebetulnya aku ingin sekali
bermalam di sini. Selain untuk menyegarkan badan, juga ingin melihat isi rumah
Baduy Dalam. Mereka membaca keinginanku itu, tapi tidak bisa berhuat apa-apa.
Satu tangtu lagi, Cikartawana, kami lewati.
Sudah sore. Dari tangtu kedua ini cuma memakan waktu sekitar sepuluh menit
menuju tangtu terakhir, Ciheo. Lagi-lagi kami disarankan untuk meneruskan
perjalanan, karena keadaan sedang darurat. Orang Kanekes kalau berbicara
sangatlah polos dan tidak ada basa-basi. Setiap omongannya mengandung kebenaran
dan tidak bisa ditentang. "Rencana nggak selamanya mulus, ya!" Eri
tertawa kecut padaku.
Aku minta break. Kepada mereka aku bilang
bahwa punggungku sudah tidak kuat lagi membawa ransel. Eri dan Yanto langsung
membongkar ranselnya. Barang-barang mereka disebar pada ransel yang lain. Lalu
ranselku dijejalkan ke ransel Eri. Aku berharap nanti bisa melanjutkan
perjalanan lagi dengan lenggang kangkung.
"Aku kepengen ngerasain tidur di rumah
Baduy," kataku kecewa. "percuma aku jauh-jauh ke sini! Cuma capek
doang!" keluhku lagi.
"Moga-moga kita bisa tidur di
panamping," Nana memberiku semangat.
"Apa kita nggak bakalan kemalaman ?"
"Kita lewat jalan potong!" Eri
menegaskan.
"Kamu pernah lewat sana 'kan, Ri?"
Eri mengangguk cepat. "Yuk!" dia
begegas.
Setelah menyeberangi sungai dan menaiki bukit
kecil, Eri membelok memasuki hutan. Kami menyusuri jalan setapak yang tidak
pernah dilalui orang, kecuali orang Kanekes yang mencari kayu bakar. Jalan
setapaknya tertutup daun-daun kering yang basah dan akar-akar pohon.
Kami ternyata berjalan di atas Gunung Paniga
yang melingkar. Lagi-lagi aku merasa was-was, karena di wilayah tangtu Cibeo
ini ada hutan larangan yang lain, Sasaka Domas, yang menjadi tanggung jawab
puun Cibeo. Jangan-jangan kami "menginjak"nya.
"Setelah bukit itu pasti ada pancuran
alam!" Eri berteriak.
Aku memandang Nana.
Ada sebuah pohon besar tumbang. Batangnya
melintang menghalangi jalan. Kami memanjat ketika menyeberangi pohon itu. Yanto
membantuku naik.
Eri tampak berdiri di batang pohon itu. Dia
agak pendiam dan banyak berpikir sekarang. Mungkin sedang mengingat-ingat ke
arah mana yang betul, karena banyak cabang yang membingungkan.
Eri melompat dan berjalan lagi. Belum begitu
jauh ada pohon lain yang tumbang. Lebih besar dari yang pertama. Pohon yang ini
tampaknya belum begitu lama roboh. Dahan-dahannya belum dipotong semua. Eri
kini kalang kabut.
"Salah jalan, Ri?" Nana menegur.
"Kita balik lagi ke pohon tumbang yang
pertama!" Eri langsung membalik dan bergegas.
Aku merasa kepalaku kosong dan membesar.
"Tenang, Tina, tenang," Nana juga
gelisah.
Beberapa orang meneriakkan kekecewaan yang
sama. Bahkan menyarankan untuk kembali ke jalan simpang pertama.
"Ngapain balik lagi? Tanggung! Malah
lebih deket dari sini ke Ciboleger!" Eri menyebut kampung base camp di
pintu gerbang utara itu.
"Tapi mana jalannya?!"
"Sudah jam lima, nih!"
"Kalau kemalaman di sini, waduh, gawat,
Broer!"
Episode 27
Senja di Selat Sunda
"Heh, jangan ribut kayak gini dong!"
Eri tidak menggubris. Dia turun ke sisi kiri
ketika ada jalan getapak. Semakin ke bawah, malah tidak jelas arahnya. Ternyata
cuma jejak pencari kayu bakar. Terpaksa kami naik lagi, kembali ke pohon
pertama yang tumbang.
Kami mengikuti lagi ke mana Eri. Terbentur ke
lembah yang lain. Malah sekali waktu kami cuma berputar-putar saja. Aku
betul-betul panik dan kehabisan napas. Nana memapahku.
"Kasih aku waktu!" Eri gelisah.
"Kalian tunggu di sini!" Eri bergegas. Dia mundur beberapa meter dari
tempat kami berdiri. Dan hilang di balik semak-semak.
Yanto menyuruh Ato dan Aris untuk mencari
kemungkinan jalan lain. Mereka mengambil arah yang berlawanan. Menerobos
semak-semak. Sepuluh menit kemudian mereka kembali dengan wajah tegang. Bahkan
kening Eri tampak berdarah.
"Hati-hati, Ri," Nana langsung
memberinya obat merah.
Eri tampak serba salah diberi perhatian lebih
oleh Nana. "Aku tahu jalannya ke arah sana!" Eri menunjuk ke seberang
lembah. "Tapi, kenapa nggak pernah nyampe?!" Eri berteriak kesal.
Tangannya seperti menyibak-nyibakkan 'kabut' di depannya.
Matahari semakin menggelincir.
Kegelapan sebentar lagi akan merengkuh kami.
"Ini pasti ada yang ‘menghalangi'
pandangan kita!" sungut Eri sambil membanting tubuhnya ke tanah. Dia duduk
bersender pada batang pohon. Wajahnya berkeringat dan penuh rasa bersalah.
"Aneh.Aku nggak ngerti," matanya menerawang jauh, seperti mencoba
menembus 'kabut' itu.
"Kena 'kualat' 'ngkali!" ada yang
nyeletuk.
"Huss, jangan ngomong sembarangan!"
"Ya, kita sering ngelanggar aturan!"
"Buktinya kita mandi di sungai pakai
sabun!"
"Itu sih Eri, Ato, sama Maman!"
"Enak aja, kok nuduh aku! Tuh, Yayah sama
Rini malah keramas pakai shampo!"
"Sudab, sudah!"
Eri tampak terpukul sekali.
"Kita coba lagi, Ri," Yanto menariknya
untuk berdiri.
Eri berdiri. Dia merogoh senter dari
ranselnya.
"Sebaiknya kita berdoa dulu," Nana
menyarankan. "Dalam situasi begini, kita harus tetep kompak. Jangan saling
menyalahkan. Juga jangan merasa yang paling bersalah," Nana menyuruh semua
orang untuk memejamkan mata.
Eri menatap Nana dengan perasaan yang sulit
ditebak. Kami berdo'a dalam hening. Minta petunjuk pada Tuhan. Minta pikiran
dijernihkan dari hal-hal buruk yang membelenggu. Dan aku menangis, karena takut
pada segalanya. Pada perampok yang setiap saat mengancam, kualat karena
"menginjak" tanah larangan, dan pada kegelapan hutan.
Jubah-jubah hitam sekarang berkepak-kepak
menutupi bumi. Semua orang kini, selain pada Tuhan, menggantungkan hidupnya
pada nyala senter.
"Hey, ada tanda jejak nih!" Eri
berteriak girang. Senternya menyorot ke semak-semak.
Ada tanda panah dari alang-alang. Tadi kami
sudah melewati jalan setapak ini. Aneh. Ah, mungkin saja tadi kami tidak
teliti.
Dengan hati-hati kami meniti jalan setapak
yang menuju lembah. Lenganku tetap tidak mau lepas mencekal lengan Nana. Aku
tidak ingin berjalan sendirian. Kadang kala aku menjerit kalau ada duri-duri
pohon membeset kulitku.
Eri berteriak lagi ketika ada tanda bacokan di
batang pohon. Kami semakin turun ke bawah. Ada patahan ranting. Aku merasa
tanda-tanda itu seperti dibuat oleh 'seseorang' untuk kami. Inikah pertolongan
Tuhan?
"Hey, sini, sini!" Eri
berteriak-teriak di bawah sana. "Cepetan!" teriaknya lagi gembira.
"Huma di atas bukit!" Yantojuga
berteriak senang.
Ada sebuah gubuk di huma, ladang orang Baduy.
Kadang kala orang Baduy suka bermalam di huma, jika pekerjaan ladangnya belum
selesai.
Aku langsung menyuruh untuk bermalam saja. Aku
tidak meminta persetujuan mereka. Ini seperti perintah yang keluar dari mulut
seorang amatir! Untung mereka mengiyakan juga. Eri tampak sudah berhasil
membuka pintu gubuk. Kebiasaan orang Baduy memang tidak pernah mengunci rumah
seperti kita. Rasa saling percaya tertanam kuat di jiwa mereka.
Beberapa saat aku terlelap kelelahan di pojok
ruangan. Aku cuma bangun untuk makan mie rebus saja beberapa suap. Setelah itu
aku meringkuk lagi. Angin malam yang dingin menakutkan, menyusup ke dalam gubuk
lewat celah-celah dinding. Aku terbius dan terbelenggu.
Tapi itu terasa tidak lama.
Aku menjerit ketika terdengar ribut-ribut. Ada
dua orang lelaki mengobrak-abrik ransel kami. Dua orang perampok itu! Mereka
dengan rakus dan liar menyantap sisa makanan yang kami punya.
"Jangan coba-coba!" bentak yang
wajahnya brewok sambil mengacungkan golok, begitu melihat Eri bergerak
mencurigakan.
Aku menangis ketakutan dipeluk Nana.
"Heh, jangan nangis kamu!" yang
berkumis mengacungkan golok ke arahku.
Tangisku malah tambah nyaring. Seluruh
persendianku terasa copot dan bergetar. Oh, Tuhan, aku merasa celanaku basah.
Nana yang menyadari itu hampir saja tertawa. Mulutnya memang terkunci
rapat-rapat, tapi sorot matanya menandakan kegelian. Aku cuma bisa pasrah saja.
"Kataku, diem! Cewek cengeng kamu!"
lelaki biadab itu berdiri. Dia berjalan ke arahku.
Secara reflek mulut aku rapatkan. Nana terus
membantuku agar tenang. Dia berbisik mengembalikan kepercayaan diriku.
Pelan-pelan membantuku juga.
"Heh, kamu! Sini!" si Brewok
menghardik Yanto. "Ambil tali-tali itu! Iket semuanya!" perintahnya.
Si Kumis membantu Yanto mengikat. Satu-satu
kami diikat. Ketika giliran aku, mata si Kumis jelalatan. Wajahku langsung
pucat dan aku meronta-ronta, menangis, dan berteriak, ketika perampok bedebah
itu menyeretku. Nana memegangi kuat-kuat tubuhku dan Yanto menubruk si Kumis.
Yang lain berteriak-teriak. Eri berusaha bangkit, tapi ambruk lagi, karena
tangan dan kakinya diikat.
"Heh, minggir, minggir!" si Brewok
menendang dan mengancam leher Yanto dengan ujung goloknya.
Episode 28
Senja di Selat Sunda
Aku menangis menjadi-jadi. Aku pikir inilah
kisah hidupku yang tragis berawal di sini. Kisah-kisah seorang gadis korban
perkosaan, yarig sering aku baca di mass media atau di film-film Amerika,
sebentar lagi akan terjadi padaku.
"Apa-apaan kamu!" bentak si Brewok.
"Kita nggak punya waktu untuk begituan!"
Si Kumis bersungut-sungut.
Nana memelukku.
"Ayo, ikat lagi mereka!"
Setelah Nana, Yanto mengikatku. Aku tahu dia
tidak tega mengikatku kencang-kencang. Lalu Yanto pun diikat oleh mereka.
Kedua perampok itu dengan gerak cepat
mengambil beberapa pakaian dari ransel. Mencobai satu per satu, sampai dirasa
ada yang cocok. Aku kira yang pas dikenakan mereka adalah pakaian Eri dan
Yanto. Tubuh mereka sama tinggi dan besarnya. Lalu mereka mengobrak-abrik
peralatan mandi. Di dalam keremangan cahaya senter, mereka mencukur habis
jenggot dan kumis!
Aku baru menyadari kalau mereka sedang
mengganti penampilan. Mereka menyamar menjadi seperti kami untuk menerobos
keamanan. Aku semakin yakin ketika mereka mengambil dompet kami dan
memilih-milih mana yang cocok.
"Terima kasih, ya!" kata mereka
tertawa puas meninggalkan kami. Dengan ransel di punggung, penampilan mereka
jauh dari perkiraan buruk. Mereka kini tak ubahnya seperti para petualang seperti
kami.
"Aduh, ranselku masih baru, tuh!"
Yanto memaki, karena ranselnya diambil perampok.
"Punyaku juga!" Aris menggerutu.
"Ransel lagi diributin!" Rini
berteriak kesal.
"Pikirin nih, gimana ngebuka tali!"
teriaknya lagi.
Eri meronta-ronta. "Kenceng amat sih
ngiketnya, To!" katanya pada Yanto. "Si Amat aja nggak
kenceng-kenceng!" dia mencoba melucu.
"Nggak ada waktu buat ngelucu, tau!"
Yayah kini buka suara. "Kapok aku, kapok!" jeritnya.
"Tolong, toloong!"
"Berisik amat, sih!"
"Diem kenapa, sih!"
"Lagian siapa yang ngedenger?"
Aku cuma menggelengkan kepala. Dalam keadaan
darurat begini, mereka masih bisa adumulut. Aku kehabisan kata-kata. Aku cuma
memejamkan mata, karena sudah terbebas dari hal yang paling buruk tadi.
"Mendingan sekarang tidur ajalah,"
Eri mengusulkan. "Besok pagi pasti ada orang Baduy ke sini."
Aku mengiyakan usul Eri tadi. Aku sentuh tubuh
Nana. Aku lihat Nana pun mengangguk. Kami akhirnya mencoba untuk pasrah; tidur
meringkuk dengan tangan terikat, menunggu sampai matahari terbit.
Kami semua terjaga begitu suara pintu
berderit. Mata kami terpicing, karena cahaya terang dari pintu menyilaukan
mata. Seorang lelaki Baduy berdiri memandang kami dengan perasaan heran.
Beragam suara pun berlompatan dari mulut kami. Kehidupan mulai membias lagi di
wajah kami.
Aku mengucap syukur dalam hati. Pertolongan
pun akhirnya datang. Lelaki Baduy ini seperti sudah paham apa yang terjadi. Dia
menyuruh kami untuk berkemas. Kami mengikutinya menuruni bukit dan menyeberangi
sungai kecil. Beberapa kali kami naik-turun bukit, lalu sampai ke panamping
Kadu Keter. Kampung ini adalah pos terakhir jika kita masuk lewat pintu utara.
Beberapa petugas keamanan dari Rangkasbitung
menginterogasi kami. Ketika kami menceritakan tentang kejadian semalam, para
petugas itu tersentak. Mereka memang sudah mendengar rombongan kami lewat handy
talky, yang sudah menangkap salah seorang dari ketiga perampok itu di wilayah
selatan.
"Semalam dua orang dari kalian sudah
keluar dari sini," seorang petugas mengabarkan. "Mungkin mereka
sedang menuju Rangkas sekarang."
"Mereka bilang terpisah dari
rombongan," kata petugas yang lain. "Malam tadi kami sedang ada di
lapangan. Orang Baduy 'kan nggak bisa membaca surat keterangan mereka,"
tambahnya.
"Aduh!" Eri memaki.
"Mereka perampok-perampok itu, Pak!"
seru kami.
Para petugas itu memang sudah terkecoh. Mereka
langsung mengirim kabar lewat hatong ke Ciboleger. Mereka masih yakin, bahwa di
Rangkas kedua perampok itu akan dibekuk.
Tapi perjalanan buatku belum selesai. Masih
satu jam perjalanan lagi untuk keluar dari wilayah Kanekes. Masih banyak
tanjakan yang harus aku daki sebelum sampai di Ciboleger.
Tengah hari kami tiba juga di base camp. Kami
terpaksa bermalam di sini, karena kendaraan ke Rangkas cuma di pagi hari saja.
Kami bermalam di rumah Pak Askari, seorang penduduk yang sudah biasa menampung
wisatawan nusantara yang akan pergi ke Kanekes. Bahkan bapak berputra lima ini
suka jadi guide amatir.
Tak ada yang kami kerjakan selain
bermalas-malasan. Aku lebih suka duduk menyendiri. Kadang kala kejadian semalam
membayangi terus. Memberati pikiranku. Kalau sedang begini, aku jadi ingat
rumah; Papa, Mama, dan Robby.
"Ngeganggu?" Nana duduk di
sebelahku.
Aku mencoba tersenyum.
"Sudah rindu Yogya?" Nana
menyebutkan tanggal kepulanganku, yang tinggal empat hari lagi.
Aku mengangguk. "Kamu ikut pulang dengan
aku 'kan?" aku berharap.
"Eri mengajakku melihat senja di Selat
Sunda," suaranya perlahan.
"Untuk apa?" aku keberatan, karena
akan pulang sendirian.
"Eri memintaku untuk yang terakhir
kali."
"Nanti malah menjadi beban kamu."
"Aku belum selesai ngomong."
"Pokoknya aku nggak mau pulang
sendirian."
"Aku bilang tadi, Eri mengajakku. Aku
'kan nggak ngomong, bahwa aku mau diajak Eri."
"Berarti kita pulang sama-sama
'kan!"
Nana mengangguk.
"Kamu sudah siap kehilangan dia
sekarang?"
"Sejak dia pergi meninggalkan aku, sejak
dia nggak pernah ngirim surat lagi, aku sudah siap untuk kehilangan dia."
Episode 29
Senja di Selat Sunda
"Terus, Eri jadi kerja sama Uzi di
Jakarta?"
"Akhirnya antara anak dan ayah ada
kesepakatan. Eri dikirim ayahnya sekolah musik di Eropa."
"Wow! Dia bakalan kecantol cewek bule di
sana!"
"Mungkin sekarang aku harus memilih salah
satu cowok di kampus, ya!"
Aku menatapnya tidak percaya, "Betul,
Na?"
Lalu aku ajukan Alfred, si Menado yang doyan
rally, Boyke, ketua senat yang juga hobi naik gunung, atau Mulyadi, jagoan
karate kampus.
Nana cuma mengangguk-angguk. "Pokoknya
kamu jadi penasihatku, ya!" dia gembira sekali saat ini.
Lalu Nana menatapku dengan lucu. Aku tahu
kalau dia bermaksud mengingatkan aku tentang kejadian semalam, ketika aku
ketakutan sampai-sampai buang air kecil di celana.
Aku tersipu-sipu, "Aku betul-betul takut
waktu itu."
Nana tertawa keras.
Aku mencubitnya.
Nana kini menjerit. "Ini bisa jadi gosip
murahan di kampus!" teriaknya masih tertawa.
Aku terus mencubitnya.
"Hey, hey," Nana memegangi kedua
lenganku.
"Awas, kalau sampai bocor di
kampus!"
Nana menggeleng. "Ada pesen dari
temen-temen," katanya mencoba menahan tawa. "Sore ini ada pelantikan.
Kamu mendapat 'bintang kehormatan' dari kami."
"Apaan, tuh ?" aku tertarik.
"Mereka sangat terkesan, karena kamu
berhasil menjelajahi Kanekes."
Aku manggut-manggut.
Setelah aku membeli tas koja khas Baduy, yang
dianyam dari akar pohon, serta selendang untuk suvenir di rumah, menjelang
senja ada upacara kecil-kecilan di halaman. Yanto memberi wejangan alakadarnya.
Terutama mengucapkan syukur, karena sudah lolos dari bahaya yang mengancam.
Beberapa kali dia menyebut aku, yang tetap dengan semangat tinggi melintasi
Kanekes.
Lalu mataku ditutup. Aku disuruh maju, karena
akan dikalungi 'tanda kehormatan'. Eri maju dan mengalungi aku. Dia tidak
mengatakan apa-apa. Beberapa saat tidak ada suara. Aku buka selendang yang
menutup mataku. Tak ada siapa-siapa di halaman.
Aku dengar suara orang tertawa riuh di dalam
rumah Pak Askari. Aku berteriak ketika tahu apa bandul kalung 'tanda
kehormatan' itu. Kerak nasi itu! Aku betul-betul marah. Bukankah kerak sialan
ini sudah aku buang? Rupanya Eri memungutnya lagi. Anak ini memang tukang
iseng!
Tapi aku tersenyum juga. Mungkin kalau sudah
sampai di rumah nanti, aku akan minta diajari memasak pada Mama. Rasanya tidak
komplet menjadi seorang wanita kalau tidak tahu urusan dapur. Ternyata
liburanku kali ini membawa banyak kenangan buatku.
Tak akan pernah aku lupakan. Tak akan pernah
aku sesali sudah berlibur di sini.
Nana, memang, sudah mengajari aku banyak hal
lewat liburan ini.
*selesai*
Tidak ada komentar:
Posting Komentar