Seorang akhwat teman saya berkata bahwa dia
kesal karena ikhwan yang sedang dia “mediatori” untuk taaruf dengan teman
sepengajiannya, memiliki persepsi yang berbeda tentang sebuah harapan dan
kecantikan.
“Waktu saya tanya, apakah dia mensyaratkan
akhwat yang cantik atau tidak, dia menjawab malu-malu. Nggak letterlijk,
sih! Tapi, intinya ya sama, dia maunya yang cantik. Laki-laki dimana pun sama
saja, maunya yang cantik melulu! Lha, kalau semua ikhwan maunya yang cantik,
akhwat yang ”nggak cantik” kayak saya gini mau dikemanain?”
Saya tertawa mendengar ”aduan” yang
meledak-ledak itu.
Yah, memang kebangetan kalau ada ikhwan
yang mundur dari sebuah taaruf dengan alasan fisik. Kalau cacat fisik—misalnya
buta atau pincang—mungkin masih bisa dimaklumi, sebab tidak semua orang siap
menerima ”kekurangan” semacam ini, kendati jika bisa menerima tentu ia menuai
kemuliaan. Tapi, kalau seseorang mundur gara-gara sekadar wajah akhwat yang
nggak ”gue banget” maka tentu harus dikaji lagi niat sang ikhwan tersebut.
Berapa sih umur kecantikan itu? Tak lama.
Apalagi kalau yang dimaksud adalah kecantikan wajah. Dalam hal ini, bukan
sekadar kulit halus yang beranjak keriput di usia kepala empat. Bukan, bukan
itu! Kalau ngomongin kepala empat, mah... kebilang lama, lah!
Kecantikan—atau lebih tepatnya persepsi
kecantikan—dalam diri seseorang akan bergeser dan selalu bergeser. Yang tidak
bergeser adalah kecantikan yang timbul karena persepsi akhlak yang baik. Maka
tak heran jika Rasulullah berwasiat agar hendaknya seorang wanita dinikahi
karena agamanya (seorang wanita dinikahi karena kecantikannya, hartanya,
keturunannya, dan agamanya. Barang siapa menikahi wanita karena agamanya maka
ia akan mendapatkan keempatnya). Agama memberi garansi akhlak yang baik yang
dengan itu persepsi dan citra kecantikan seseorang akan terbentuk.
Ada sebuah kalimat masyhur dari zaman Rasul
(saya gak berani menyebut ini hadits karena saya belum tahu derajat sanadnya)
yang kurang lebih berbunyi: ”Saat kalian belum bertemu dengan suatu kaum, maka
yang paling menarik di antara mereka dalam pandanganmu adalah yang paling indah
namanya. Ketika kalian sudah melihat kaum tersebut, maka yang paling menarik
adalah yang paling indah wajahnya. Ketika kalian sudah bercakap dengan mereka,
maka yang paling menarik adalah yang paling halus tutur katanya. Katika kalian
sudah bergaul dengan mereka yang yang paling menarik adalah yang paling bagus
akhlaknya.”
Persepsi ”kemenarikan” dari suatu kaum
bergeser pelan-pelan seiring dengan semakin kita mengenal. Begitu juga tentang
seorang wanita yang ditakdirkan menjadi pendamping hidup kita. Wajah yang
memesona saat pertama kita melihatnya tentu memberi citra ”kemenarikan” sesuai
kadarnya sendiri. Namun, persepsi cantik akan bergeser saat kita sudah bercakap
dengannya. Wajah tak lagi penting, yang penting adalah tutur kata yang baik.
Kemudian, lambat laun, tutur kata yang baik pun menjadi tidak penting, lebih
penting adalah akhlaknya yang menarik.
Jadi, kalau seseorang ’mengharapkan’
pendamping yang cantik, tentu sangat wajar karena wajah yang cantik memberi
persepsi tentang kecantikan itu pada kadarnya sendiri. Sebenarnya, kalau mau
jujur, siapa sih yang berniat untuk menikah dengan akhwat yang buruk rupa?
Kalaupun kemudian seseorang menikah dengan akhwat buruk rupa, saya yakin ia
menemukan ”kecantikan” yang lain. Sebab, cantik tidak hanya dibentuk oleh wajah
yang menarik.
Tapi, harapan dan syarat itu beda, Bro!
”Mengharapkan” yang cantik itu wajar. Tapi, kalau ”mensyaratkan” yang cantik
itu kurang ajar. Kecantikan wajah yang bagai artis sinetron hanya akan berumur
beberapa hari, apalagi ketika kau bisa melihatnya (dan memilikinya) sepanjang
hari!
Nah... kalau kemudian ada ikhwan yang
mundur dari akhwat dengan akhlak yang baik dan tutur kata yang baik pula, dan
ikhwan itu mundur semata-mata karena ”wajahnya bukan tipe gue,” saya hanya bisa
geleng-geleng kepala dan berkata sedih: istighfar, Akh! Istighfar!
Rawamangun, 15 September 2007
Tidak ada komentar:
Posting Komentar