Minggu, 26 Agustus 2012

Burung Pipit dan Pak Tani


BBurung Pipit dan Pak Tani

Ibu Pipit bergembira. Lima telurnya telah menetas. Lima anaknya itu kini berciap-ciap meminta makanan. Ibu Pipit rajin mencari makanan.
“Ayo, makanlah yang banyak, agar kalian cepat besar!” kata Ibu Pipit.
Anak-anaknya makan dengan lahap. Beberapa hari kemudian, bulu-bulu sudah mulai tumbuh di sekujur tubuh mereka. Hanya bulu sayap mereka saja yang belum tumbuh sempurna.
Ibu Pipit berpesan, “Beberapa hari lagi, kalau bulu sayap kalian sudah tumbuh, kalian harus segera belajar terbang.”
Sarang Ibu Pipit itu berada di pohon akasia. Pohonnya tinggi. Dahannya besar. Pohon itu milik seorang petani. Petani itu tinggal di sebuah pondok yang tidak jauh dari sana. Ia tinggal bersama istri dan dua orang anaknya.
Pondok milik petani itu sudah reyot. Pak Tani berencana memperbaiki tiang pondoknya yang dimakan rayap. Ia berjalan berkeliling bersama dua anaknya. Mereka melihat-lihat pohon akasia yang tampak kokoh itu.
“Nak,” kata Pak Tani, “mintalah bantuan para tetangga untuk menebang pohon akasia ini. Kita akan menggunakannya memperbaiki tiang pondok.”
“Baiklah,” jawab anaknya. “Nanti sore saya meminta bantuan tetangga.”
Mendengar hal itu, anak-anak pipit panik. “Ibu, ini sungguh bahaya. Pak Tani dan anaknya itu akan menebang pohon ini. Padahal, kami belum bisa terbang. Bulu-bulu sayap kami belum semuanya tumbuh.”
Tapi, Ibu Pipit tampak tenang-tenang saja.
“Kalian jangan panik,” kata si Ibu. “Tak akan terjadi apa-apa hari ini.”
Maka, kelima anak pipit itu kembali tenang.
Sore harinya, Pak Tani dan anaknya berjalan-jalan di bawah pohon.
“Bagaimana, Nak?” tanya Pak Tani. “Apakah kalian sudah meminta bantuan para tetangga?”
“Mereka tidak bisa membantu, Ayah. Mereka semua sedang sibuk.”
“Ya sudah,” gumam Pak Tani. “Kalau begitu, kita tunggu saja sampai para tetangga tidak sibuk dan bersedia membantu kita.”
Maka, sore hari itu berlalu begitu saja. Tidak terjadi penebangan pohon. Ibu Pipit dan anak-anaknya tidur dengan tenang. “Bukankah sudah Ibu katakan,” kata Ibu Pipit sebelum tidur, “tidak akan terjadi apa-apa hari ini.”
Anak-anaknya sudah tidur pulas.
-----
Esok harinya, kembali Pak Tani berjalan-jalan di bawah pohon akasia.
“Nak,” kata Pak Tani, “mintalah bantuan tetangga. Mungkin hari ini mereka sudah tidak sibuk. Kita harus segera menembang pohon ini.”
“Baiklah, Ayah. Saya akan menemui mereka sekarang,” jawab anaknya.
Anak-anak pipit yang mendengar hal itu, kembali panik. “Ibu, bagaimana kalau pohon ini ditebang? Padahal, kami belum bisa terbang.”
Ibu Pipit menjawab dengan tenang, “Sudahlah, tak perlu panik. Tidak akan terjadi apa-apa hari ini.”
Maka, kelima anaknya pun kembali tenang.
Tak berapa lama kemudian, anak Pak Tani tiba. Ia menemui ayahnya.
“Bagaimana, Nak? Apakah para tetangga bersedia membantu?”
“Mereka belum bisa membantu, Ayah,” jawab anaknya. “Mereka baru saja menyelesaikan pekerjaan, dan sekarang sedang beristirahat.”
Pak Tani mengangguk-angguk. “Ya sudah. Kalau begitu, kita tunggu mereka selesai beristirahat.”
Pagi itu berlalu seperti biasa. Tidak terjadi penebangan pohon.
-----
Sore harinya, Pak Tani kembali berjalan-jalan di bawah pohon akasia.
“Sekarang, mintalah bantuan tetangga, Nak. Mereka pasti sudah selesai beristirahat. Kita hars menebang pohon ini segera.”
“Baiklah, Ayah, saya akan menemui mereka.”
Anak-anak pipit kembali panik mendengar niat Pak Tani dan anak-anaknya itu. “Ibu, sekarang mereka benar-benar akan menebang pohon ini.”
Ibu Pipit tampak tenang-tenang saja. “Tenanglah,” katanya. “Tidak akan terjadi apa-apa sore ini.” Lalu, anak-anaknya pun kembali tenang.
-----
Pak Tani masih berdiri di bawah pohon akasia itu. Ia mengukur batang pohon yang besar. Lalu, datanglah anak-anaknya. “Bagaimana, Nak?” tanya Pak Tani. “Apakah para tetangga sudah bersedia membantu?”
“Belum, Ayah,” jawab anak-anaknya. “Mereka masih memiliki urusan lain sehingga belum bisa membantu kita menebang pohon ini.”
Pak Tani berpikir sejenak. “Kalau begitu, kita tidak usah mengharapkan bantuan mereka, Nak. Besok pagi, kita sendiri yang akan menebang pohon ini. Kita harus menyelesaikan pekerjaan kita sendiri. Kita tidak boleh terlalu mengharapkan bantuan orang lain.”
“Baiklah, Ayah. Besok pagi, kita akan menebang pohon ini.”
Kali ini, anak-anak pipit tidak terlihat panik. Beberapa kali rencana menebang pohon itu diucapkan Pak Tani, tapi ibunya selalu mengatakan mereka tak perlu panik. Namun, rupanya justru Ibu Pipit yang tampak panik.
“Anak-anakku, keadaan sekarang berbahaya. Malam ini, kita harus pergi dari sini. Kita harus pindah ke pohon yang lain, dengan cara apa pun.”
Kelima anaknya tampak bingung. “Kenapa kau sekarang tampak panik, Ibu? Bukankah keadaan ini tidak jauh berbeda dengan keadaan sebelumnya? Apa yang kautakutkan? Bukankah tidak akan terjadi apa-apa besok pagi?”
“Tidak, Nak,” jawab Ibu Pipit. “Keadaan sekarang jauh berbeda dengan keadaan sebelumnya. Ini sungguh bahaya. Tidak ada yang lebih menakutkan dari manusia selain mereka yang bertekad menyelesaikan pekerjaannya sendiri tanpa menunggu bantuan orang lain.”
“Apakah besok pagi mereka benar-benar menebang pohon ini, Ibu?”
“Benar, Nak. Mereka akan menebang pohon ini.”
-----
Maka, malam itu, Ibu Pipit membantu anak-anaknya pindah ke pohon yang lain. Mereka belum bisa terbang. Jadi, mereka hanya melompat dari satu dahan ke dahan lain hingga sampai ke pohon yang tidak jauh dari sana.
Pagi harinya, Pak Tani dengan dibantu dua anaknya, mulai menebang pohon. Ibu Pipit dan kelima anaknya melihat pohon itu rubuh, berikut sarang tempat mereka tinggal. Dalam hati, mereka bersyukur bisa selamat.
“Begitulah, Nak,” kata Ibu Pipit. “Manusia yang tidak menggantungkan diri pada bantuan orang lain, akan menyelesaikan pekerjaannya dengan segera.”
Anak-anak pipit mengangguk. Mereka bertekad segera belajar terbang, tak perlu menunggu bulu-bulu sayap mereka tumbuh dengan sempurna.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar