Ibu Pipit
bergembira. Lima telurnya telah menetas. Lima anaknya itu kini berciap-ciap
meminta makanan. Ibu Pipit rajin mencari makanan.
“Ayo, makanlah
yang banyak, agar kalian cepat besar!” kata Ibu Pipit.
Anak-anaknya
makan dengan lahap. Beberapa hari kemudian, bulu-bulu sudah mulai tumbuh di
sekujur tubuh mereka. Hanya bulu sayap mereka saja yang belum tumbuh sempurna.
Ibu Pipit
berpesan, “Beberapa hari lagi, kalau bulu sayap kalian sudah tumbuh, kalian
harus segera belajar terbang.”
Sarang Ibu
Pipit itu berada di pohon akasia. Pohonnya tinggi. Dahannya besar. Pohon itu
milik seorang petani. Petani itu tinggal di sebuah pondok yang tidak jauh dari
sana. Ia tinggal bersama istri dan dua orang anaknya.
Pondok milik
petani itu sudah reyot. Pak Tani berencana memperbaiki tiang pondoknya yang
dimakan rayap. Ia berjalan berkeliling bersama dua anaknya. Mereka
melihat-lihat pohon akasia yang tampak kokoh itu.
“Nak,” kata
Pak Tani, “mintalah bantuan para tetangga untuk menebang pohon akasia ini. Kita
akan menggunakannya memperbaiki tiang pondok.”
“Baiklah,”
jawab anaknya. “Nanti sore saya meminta bantuan tetangga.”
Mendengar hal
itu, anak-anak pipit panik. “Ibu, ini sungguh bahaya. Pak Tani dan anaknya itu
akan menebang pohon ini. Padahal, kami belum bisa terbang. Bulu-bulu sayap kami
belum semuanya tumbuh.”
Tapi, Ibu
Pipit tampak tenang-tenang saja.
“Kalian jangan
panik,” kata si Ibu. “Tak akan terjadi apa-apa hari ini.”
Maka, kelima
anak pipit itu kembali tenang.
Sore harinya,
Pak Tani dan anaknya berjalan-jalan di bawah pohon.
“Bagaimana,
Nak?” tanya Pak Tani. “Apakah kalian sudah meminta bantuan para tetangga?”
“Mereka tidak
bisa membantu, Ayah. Mereka semua sedang sibuk.”
“Ya sudah,”
gumam Pak Tani. “Kalau begitu, kita tunggu saja sampai para tetangga tidak
sibuk dan bersedia membantu kita.”
Maka, sore
hari itu berlalu begitu saja. Tidak terjadi penebangan pohon. Ibu Pipit dan
anak-anaknya tidur dengan tenang. “Bukankah sudah Ibu katakan,” kata Ibu Pipit
sebelum tidur, “tidak akan terjadi apa-apa hari ini.”
Anak-anaknya
sudah tidur pulas.
-----
Esok harinya,
kembali Pak Tani berjalan-jalan di bawah pohon akasia.
“Nak,” kata
Pak Tani, “mintalah bantuan tetangga. Mungkin hari ini mereka sudah tidak
sibuk. Kita harus segera menembang pohon ini.”
“Baiklah,
Ayah. Saya akan menemui mereka sekarang,” jawab anaknya.
Anak-anak
pipit yang mendengar hal itu, kembali panik. “Ibu, bagaimana kalau pohon ini
ditebang? Padahal, kami belum bisa terbang.”
Ibu Pipit
menjawab dengan tenang, “Sudahlah, tak perlu panik. Tidak akan terjadi apa-apa
hari ini.”
Maka, kelima
anaknya pun kembali tenang.
Tak berapa
lama kemudian, anak Pak Tani tiba. Ia menemui ayahnya.
“Bagaimana,
Nak? Apakah para tetangga bersedia membantu?”
“Mereka belum
bisa membantu, Ayah,” jawab anaknya. “Mereka baru saja menyelesaikan pekerjaan,
dan sekarang sedang beristirahat.”
Pak Tani
mengangguk-angguk. “Ya sudah. Kalau begitu, kita tunggu mereka selesai
beristirahat.”
Pagi itu
berlalu seperti biasa. Tidak terjadi penebangan pohon.
-----
Sore harinya,
Pak Tani kembali berjalan-jalan di bawah pohon akasia.
“Sekarang,
mintalah bantuan tetangga, Nak. Mereka pasti sudah selesai beristirahat. Kita
hars menebang pohon ini segera.”
“Baiklah,
Ayah, saya akan menemui mereka.”
Anak-anak
pipit kembali panik mendengar niat Pak Tani dan anak-anaknya itu. “Ibu,
sekarang mereka benar-benar akan menebang pohon ini.”
Ibu Pipit
tampak tenang-tenang saja. “Tenanglah,” katanya. “Tidak akan terjadi apa-apa
sore ini.” Lalu, anak-anaknya pun kembali tenang.
-----
Pak Tani masih
berdiri di bawah pohon akasia itu. Ia mengukur batang pohon yang besar. Lalu,
datanglah anak-anaknya. “Bagaimana, Nak?” tanya Pak Tani. “Apakah para tetangga
sudah bersedia membantu?”
“Belum, Ayah,”
jawab anak-anaknya. “Mereka masih memiliki urusan lain sehingga belum bisa
membantu kita menebang pohon ini.”
Pak Tani
berpikir sejenak. “Kalau begitu, kita tidak usah mengharapkan bantuan mereka,
Nak. Besok pagi, kita sendiri yang akan menebang pohon ini. Kita harus
menyelesaikan pekerjaan kita sendiri. Kita tidak boleh terlalu mengharapkan
bantuan orang lain.”
“Baiklah,
Ayah. Besok pagi, kita akan menebang pohon ini.”
Kali ini,
anak-anak pipit tidak terlihat panik. Beberapa kali rencana menebang pohon itu
diucapkan Pak Tani, tapi ibunya selalu mengatakan mereka tak perlu panik.
Namun, rupanya justru Ibu Pipit yang tampak panik.
“Anak-anakku,
keadaan sekarang berbahaya. Malam ini, kita harus pergi dari sini. Kita harus
pindah ke pohon yang lain, dengan cara apa pun.”
Kelima anaknya
tampak bingung. “Kenapa kau sekarang tampak panik, Ibu? Bukankah keadaan ini
tidak jauh berbeda dengan keadaan sebelumnya? Apa yang kautakutkan? Bukankah
tidak akan terjadi apa-apa besok pagi?”
“Tidak, Nak,”
jawab Ibu Pipit. “Keadaan sekarang jauh berbeda dengan keadaan sebelumnya. Ini
sungguh bahaya. Tidak ada yang lebih menakutkan dari manusia selain mereka yang
bertekad menyelesaikan pekerjaannya sendiri tanpa menunggu bantuan orang lain.”
“Apakah besok
pagi mereka benar-benar menebang pohon ini, Ibu?”
“Benar, Nak.
Mereka akan menebang pohon ini.”
-----
Maka, malam
itu, Ibu Pipit membantu anak-anaknya pindah ke pohon yang lain. Mereka belum
bisa terbang. Jadi, mereka hanya melompat dari satu dahan ke dahan lain hingga
sampai ke pohon yang tidak jauh dari sana.
Pagi harinya,
Pak Tani dengan dibantu dua anaknya, mulai menebang pohon. Ibu Pipit dan kelima
anaknya melihat pohon itu rubuh, berikut sarang tempat mereka tinggal. Dalam
hati, mereka bersyukur bisa selamat.
“Begitulah,
Nak,” kata Ibu Pipit. “Manusia yang tidak menggantungkan diri pada bantuan
orang lain, akan menyelesaikan pekerjaannya dengan segera.”
Anak-anak
pipit mengangguk. Mereka bertekad segera belajar terbang, tak perlu menunggu
bulu-bulu sayap mereka tumbuh dengan sempurna.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar