Minggu, 26 Agustus 2012

Cinta dan Matahari


Cinta dan Matahari

Ramallah, 25 Januari 2006
“Demi buah Tin dan Zaitun...!”
Untukmu, Yasir, risalah ini kutulis. Untuk berkabar tentang apa yang terjadi di hari terik. Sebelumnya dengarkan, aku telah membesarkan matahari kita dalam hari-hari sulit yang kusulam menjadi bulan dan tahun.
Rumah kita sepi, Yasir, meski di luar orang-orang menyambut hasil pemilu dengan riuh. Hamas menang, katanya.
Di rumah ini, tawa telah terbenam sejak kau berkemas di hari naas itu, dan ledakan bom di distrik Tel Aviv memberi kabar kau tak akan pulang lagi, meski sebentar. Kau berkemas terlalu lekas, meninggalkan aku bersama dua bayi merah yang tak sempat mengucap selamat jalan.
Yasir, dengarlah! Dua bayi merah itu; Mahmud dan Ismail, kini telah merekah menjadi dua pemuda gagah. Bilik ini mungkin terlalu sempit untuk menampung mereka, maka jangan salahkan jika mereka jarang tinggal. Pahlawan selalu tinggal di luar rumah, bukan? Itu katamu, dulu! Pun, kau tahu, Yasir, tanganku terlalu lemah untuk menahan mereka tetap berumah. Sejak dilahirkan, katamu, mereka bukan milik kita. Para pejuang itu bukan milik ayah dan ibunya, tetapi milik bangsa dan agamanya.
Yang membat ruang di rongga dadaku semakin lengang, Yasir, adalah kenyataan bahwa aku tak mampu mengikatnya dalam satu pandangan yang sama. Tapi, mungkin memang begitu seharusnya.
Hamas menang, Yasir, itu kabar dari Ismail yang pulang di hari terik ini dengan wajah yang penuh binar.
“Penderitan telah membuat Palestina pandai memilih, Ibu,” katanya. “Penindasan, aneksasi, dan tindakan brutal Israel, telah mengajari Palestina hanya memilih satu jalan: jihad!”
Sepertiku, Yasir, saat mendengarnya apakah kau akan bertanya, “Kalian menyukai perang?” Sebagaimana kau yang hingga hari terakhirmu tak juga menyetujui bom bunuh diri.
“Tidak, Ibu,” bantas Ismail. “Kami tidak menyukai perang. Tapi, kami cinta syahid. Dan, hari ini Palestina dibuat mengerti jalan yang mesti dipilih; perjuangan. Hamas telah memutuskan untuk tidak berkompromi dengan Israel. Tidak mengakuinya, serta menuntut mereka mundur dari Jerusalem Timur, Tepi Barat dan Jalur Gaza.”
“Mereka menyebut Hamas teroris, bukan?” lanjut Ismail, “Tak apa! Mereka bebas bilang apa saja. Toh, bukan mereka pencatat amal dan dosa.”

Ramallah, Awal Februari 2006
“Untuk sayap merpati dan ranting zaitun!” kata Mahmud, yang datang di hari berikut. Kau turut dengar katanya, Yasir? “Inilah jalan yang semestinya kita tempuh, Ibu. Kita harus menghentikan jalan darah itu!”
Jalan itu yang telah ditempuh Mahmud; jalan ranting zaitun. Jalan damai, begitu ia menyebut. Meskipun dengan begitu, ia harus mengikut mengakui negara Israel, dan menciptakan dua negara berdampingan di tanah milik umat Islam ini.
Mahmud bercerita tentang peta jalan damai, tentang embargo ekonomi yang didengungkan Barat jika Hamas tetap pada garis politiknya. Barat menuntut pelucutan senjata, dan pengakuan Israel atas tiga wilayah yang mereka duduki pasca-Perang 1967. Bahkan, Israel mengancam akan terus maju jika Hamas tak meninggalkan garis keras.
Yasir, andai kini kau ada, ingin kutanya engkau, mesti bagaimana aku? Manakah yang mesti kuikut dari dua anak kita?

Ramallah, Maret 06
Setelah berminggu-minggu tak pulang, hari ini Ismail muncul di rumah. Wajahnya lelah.
“Barat menerapkan standar ganda, Ibu,” katanya, mengkritik masalah ancaman embargo atas pemerintahan baru Hamas. “Mereka menodai demokrasi padahal merekalah yang selama ini mengaku sebagai pejuangnya. Demi pemilik tanah ini, bukankah pemilu Palestina adalah pemilu yang paling demokratis? Lalu, mengapa mereka enggan menghormatinya?”
Kau dengar, Yasir? Seharusnya memang demikian, bukan? Bahkan, untuk pikiran yang paling awam sekalipun, ancaman embargo ekonomi itu sungguh tidak masuk akal.

Ramallah, April 2006
Dunia kembali terhenyak, Yasir!
Amerika dan Uni Eropa benar-benar membuktikan ancamannya. Embargo ekonomi telah dilangsungkan sejak pertengahan bulan ini. Palestina serentak kelaparan, kekurangan obat-obatan, dan bencana kemanusiaan. Bantuan dari Barat dihentikan. Dan, rasanya baru sekarang kita mengetahui bahwa kita hidup dari donor-donor mereka. Otoritas Palestina, Yasir, yang membuat negeri ini tidak memiliki harga diri dengan menggantungkan hidup sebagai peminta-minta, meminta sumbangan dari Barat.
Demi buah Tin dan Zaitun! Demi bukit suci Thur dan negeri yang diberkahi ini....
Allah telah memilihkan jalan untuk Palestina; jihad! Lantas, nantinya dunia akan terdiam, menyadari bahwa Palestina layak untuk memilih jalannya sendiri.
Mereka akan diam, Yasir! Bukankah demikian adanya dengan Ariel Sharon, si pengisap darah muslim Palestin itu? Dia yang kini terbadai koma. Dokter mengusahakannya diam, tetapi sesungguhnya Allahlah yang membuatnya bungkam. Kau pikir untuk apa? Saat Izrail merenggut tengkuknya dan menahan nyawanya di kerongkongan? Agar ia menyaksi dosa-doa, seperti Firaun yang gelagapan dilarung samudera Laut merah! Sudahkah sampai padanya berta itu? Maka sesalilah, bukan begitu?
Lihat, Yasir, Hamas menang pemilu dan Barat serentak teperangah. Yang mereka lakukan sekarang—dengan embargo ekonomi, standar ganda, kebijakan unilateral untuk Israel, pembelaan yang habis-habisan atas negara misterius yang muncul dari mitos holochaust—tak lain hanya akan membuka mata dunia bahwa Barat adalah pemerkosa demokrasi, pemerkosa kemanusiaan, pemerkosa hak asasi... hak-hak dasar manusia yang dijamin Tuhan. Tindakan brutal itu, karena mereka terbeliak tak percaya pada kenyataan, seperti Quraisy di batas Mekah yang tak percaya pada hari Futuh!
Yasir, telah semakin dekat futuh itu....

Ramallah, April 2006
Demi Bukit Thur...!
Mata itu, Yasir, menatapku lembut. Kurasakan keanehan. Mata Mahmud berair. Apakah yang terjadi? “Apakah yang terjadi dengan ranting zaitun?”
Beberapa tahun terakhir, para merpati itu telah mulai kehilangan konsistensi terhadap jalan ranting zaitun yang diusung. Beberapa kali mereka terlibat kontak senjata dengan Israel. Buntutnya, tahanan rumah yang dijatuhkan pada pemimpin PLO, Yasser Arafat, di bulan-bulan terakhir menjelang wafatnya.
Menghadapi kepala batu Israel, bergunakah cara lembut dan peta jalan damai? Kenyataan itu—betapa kepala Israel keras melebihi batu—mungkin yang mengubah para “merpati” ini.
“Penderitaan rakyat akibat embargo ekonomi ini sudah tak tertahan, Ibu. Tidak cukupkah ini menjadi alasan bagi Hamas untuk mengubah kebijakan dan melanjutkan peta jalan damai?”
“Karena apa?” tanyaku. “Bukankah Hamas juga berhak memimpin? Hamas memperolehnya dengan cara bersih dan demokratis.”
“Bukan, Ibu,” kata Mahmud. “Embargo ini karena Hamas tidak mau meninggalkan kebijakan garis keras. Hamas tidak mau mengakui negara Israel dan melanjutkan peta jalan damai. Hamas memilih peperangan.”
Demi Thur yang disucikan dan tempat Musa menerima firman. Palestina bukanlah negeri yang cinta perang. Palestina hanya bangsa yang tidak takut perang. Dari zaman Shalahudin, atau pendahulu kami di masa Al Khathab, tidak sekalipun kami diajari rasa takut. Lalu, mengapa jalan ini mesti kami tinggalkan?
“Ingatlah apa yang terjadi di Hudaibiyah, Ibu! Bukahkah Rasulullah rela dipanggil Muhammad?” tanya Mahmud. “Saat itu pula lafadz basmallah urung dijadikan pembuka perjanjian.”
“Itukah alasanmu memilih jalan mengalah?”
“Bukan jalan mengalah, tetapi jalan damai....”

Ramallah, Awal Mei 06
Demi negeri yang diberkati ini....
Gejolak terus terjadi di bumi para nabi ini. Tapi, inilah memang yang telah diramalkan oleh Rasulullah. Kelaparan akibat embargo telah menewaskan banyak orang Palestina. Bahkan, yang tak habis pikir lagi, Israel menahan dana pajak rakyat Palestina di Jalur Gaza, tak kunjung diserahkan kepada pemerintahan resmi Palestina. Mereka benar-benar tak tahu malu.
Kudengar di luar marak demo menggalang solidaritas untuk Palestina. Dalam demo itu, terhimpun dana yang luar biasa besar untuk negeri nestapa ini. Namun, bagaimana dana itu akan sampai ke Palestina sedangkan bank-bank enggan mentransfernya?
“Tak perlu khawatir, Ibu,” kata Ismail. “Embargo ini justru semakin memantapkan pilihan kita. Bukankah nabi-nabi terdahulu selalu mengalami pemboikotan? Ini adalah indikasi bahwa jalan yang kita tempuh adalah jalan para shidiqin! Jalan yang sama dengan yang telah ditempuh para syuhada dan kaum anbiyaa’!”
“Dana-dana itu? Bagaimana akan....”
“Selalu ada jalan. Israel dan Barat membuat makar, sedangkan Allah pun membuat makar. Lalu, akan terbuktilah makar siapa yang lebih baik. Allah adalah sebaik-baik pembuat makar. Mereka hendak menghalangi cahaya Allah. Pada saatnya nanti mereka akan menyadari bahwa tangan mereka terlalu lemah untuk itu.”

Ramallah, 8 Mei 2006
“Bagaimana mungkin Hamas akan meninggalkan kebijakan ini, Ibu?” tanya Ismail. “Cukupkah alasan untuk melakukannya?”
Memang itu raguku. Hamas harus mengakui Israel? Hamas harus melucuti senjata, sedangkan Israel bebas melakukan operasi senjata ke tempat-tempat mana suka? Embargo ekonomi yang dijadikan ancaman. Takutkah Hamas pada embargo itu?
“Palestina telah lama diajari menahan lapar. Embargo ini sudah kami sadari akan terjadi, cepat atau lambat. Kami sudah siap. Ini tabiat jalan perjuangan, Ibu.”
“Kalian tak akan mengubah piagam Hamas yang tidak mengakui Israel? Kalian tidak akan meninggalkan jalan perjuangan untuk kemerdekaan Palestina?”
Ismail menggeleng.
Meruah bahagiaku. Benar, tetaplah begitu! Bukankah karena ini Hamas dipilih? Keteguhan dan garis tegas inilah yang membuat Palestina memenangkan kalian dalam pemilu. Maka, jika kalian meninggalkannya, sama artinya kalian mengkhianati rakyat Palestina seluruhnya. Jangan! Jangan sekali-kali kalian tinggalkan!
“Tapi... tentang Hudaibiyah?” aku teringat kalimat Mahmud beberapa hari lalu.
Ismail tersenyum. Bijak wajahnya. “Hudaibiyah bukan di Madinah, Ibu! Hudaibiyah adalah sebuah wilayah Mekah! Maka wajar Rasul mengambil kebijakan semacam itu. Tapi, jika menyangkut kedaulatan, tidak ada kompromi. Bukankah Rasulullah menghukum semua laki-laki Bani Quraizhah yang mengkhianati Piagam Madinah? Rasul juga mengusir Banu Nadhir karena melakukan makar hendak membunuh Rasul? Konteksnya yang harus kita pelajari. Setiap keadaan membutuhkan cara penyikapan yang berbeda.”
Ya... ya...! Kalian memang tak boleh berkompromi dalam tiap jengkal tanah yang digagahi para Zionis. Tak ada kompromi....

Ramallah, 9 Mei 2006
Demi buah Tin dan Zaitun....
Hamas bersedia dibawa ke meja perundingan, asalkan Israel kembali ke perbatasan 1967. Itu yang dikatakan Ismail. Perbatasan 1967 adalah batas negara Israel yang diklaim sepihak oleh negara itu setelah perang Arab-Israel 1967. Setelah 1967 yang membakukan wilayah Israel membentang dari Eufrat hingga Nil, dan mencaplok Dataran Tinggi Golan, mereka juga menduduki Jalur Gaza, Tepi Barat dan Jerusalem Timur.
Israel harus mundur dari tiga kota itu. Tanpa hal itu, perjanjian hanyalah omong kosong! Bagaimana mungkin Hamas mengakui pendudukan Israel atas Tepi Barat, Jalur Gaza, dan Jerusalem Timur? Apa yang akan Hamas katakan pada orang-orang yang terusir dan terpaksa menjadi pengungsi? Apa yang akan Hamas katakan pada orang-orang di Rafah, dan mereka yang terusir karena pencaplokan itu?
Tapi, Israel tak mau mengindahkan apa yang dikatakan Hamas. Apakah perundingan namanya kalau satu pihak keras kepala sedangkan pihak yang lain dituntut mengikuti apa kemauannya? Tidak! Israel bak anak kecil yang merajuk, dan orang tuanya dengan segera menimang-nimangnya sayang. Anak kecil itu meminta barang mainan milik bocah lain. Lalu, orang tuanya memarahi si bocah pemilik mainan itu. Jika si orang tua tak mau tahu siapa yang berhak atas mainan itu, manakah mungkin anaknya akan mengerti?

Ramallah, Pertengahan Mei 2006
Sampai kapan Palestina akan memeras air mata?
Yasir, di tengah embargo dan penderitaan yang semakin berat, Fatah dan Hamas bertikai. Aku dengar kabar dari Tepi Barat, beberapa personel Hamas dan Fatah tewas menjadi korban.
Apa yang terjadi? Pada awalnya, para polisi itu menuntut gaji? Palestina sedang kesulitan ekonomi, bukankah mereka tahu? Bukan hanya polisi yang belum digaji. Semua, semua belum menerima gaji.
Apa yang terjadi? Abu Samhadana menjadi kepala Satuan Militer Palestina, sedangkan Abu Samhadana adalah orang yang paling dicari Israel? Lalu, Presiden Mahmoud Abbas memveto pengangkatan itu? Oh... aku tak habis pikir. Bagaimana mungkin semua masalah jadi sekusut ini? Mengapa Mahmoud Abbas begitu takut pada Israel?
Apa yang terjadi? Veto itu menimbulkan reaksi keras kalangan Hamas? Lalu, ada yang menuduh Mahmoud Abbas adalah pengkhianat? Lalu, Fatah geram! Ribuan orang turun di jalan-jalan di Jalur Gaza dan Tepi Barat, menyatakan dukungan pada Mahmoud Abbas.
Apa yang terjadi? Hamas melakukan penyerangan pada Fatah? Inilah awal perang terbuka Hamas-Fatah. Tapi, Hamas berasalan bahwa Fatah telah melakukan penculikan terhadap tokoh Hamas. Mana yang benar?
Yasir... aku menangis. Negeri apa ini? Di sela kelaparan dan tekanan dari luar, mereka masih sanggup berperang sesama. Di mana jihad? Di mana semangat perlawanan terhadap penjajah itu?
Sementara di tempat lain, tekanan-tekanan semacam ini mampu menyatukan yang terberai, mampu mengikat yang terbelah! Tekanan membuat mereka menemukan titik kesamaan. Tapi, lihatlah Palestina! Lihatlah, Yasir...!
Apakah kau menangis? Ayo, menangislah, Yasir! Kita seharusnya menangis untuk petaka ini. Di mana Allah? Di mana Rasulullah? Di mana Al Quran dan Sunah? Tidakkah itu cukup menjadi pengikat?
Oh... di mana tentara Badar? Di mana pahlawan Uhud yang tercerai-berai lalu kembali lagi? Di mana pemilik perjanjian suci?

Ramallah, Pertengahan Mei 2006.
Palestina di ambang perang saudara.
Bertasbihlah, Yasir, pujilah tuhanmu. Sucikan nama-Nya. Para pemimpin Hamas dan Fatah akhirnya menyerukan pengikutnya agar menghentikan pertikaian, dan kembali pada satu tujuan, kemerdekaan Palestina. Ini setelah Presiden Mahmoud Abbas mengancam akan melakukan referendum membentuk pemerintahan baru.
Ini menakutkan, Yasir...!
Tapi, syukurlah semua sudah berlalu, untuk sementara telah berlalu. Yang gugur dalam peperangan itu, semoga mendapat tempat yang layak. Yang tertinggal, mudah-mudahan bisa mengubur dendam. Mari menatap masa depan Palestina.

Awal Juni, 2006
Yasir, percayakah kau bahwa terbitnya dua rembulan adalah salah satu pertanda kiamat?
Di rumah kita, Yasir, hari ini terbit dua matahari. Bukan hanya rembulan, ini adalah matahari bagiku. Bagi kita. Lama tak kulihat Mahmud dan Ismail pulang bersama. Ya Allah... rindu sekali aku melihat mereka saling berbicara.
Mahmud yang datang pertama, mengetuk pintu dengan penuh perasaan. Hatinya memang sehalus pualam. Tak lama, ketukan kedua menjadi pertanda. Ismail tiba dengan mata berbinar penuh waja! Dia memang sekeras besi baja! Penuh gelora.
Yasir, dua matahari itu kini sedang duduk bercengkerama. Memandangnya, bagai tak percaya aku bahwa Palestina akan diguncang perang saudara. Tidak! Palestina tidak akan terlibat perang saudara. Palestina masih memiliki begitu banyak cinta untuk menampung sedikit perbedaan antara orang-orang bangsanya.

Juni 2006
Demi Buah Tin dan Zaitun! Demi Bukit Suci Thur, dan negeri yang diberkahi ini....
Kusatukan dua tangan; Ismail dan Mahmud. Tanganku membingkai dua telapak mereka yang menyatu.
“Tetaplah pada jalan yang dipilihkan Allah ini! Jangan hirau dengan embargo dan tekanan orang-orang yang merasa dirinya kuat—padahal sesungguhnya mereka lemah—dan menganggap mampu menggenggam dunia dengan tangannya. Palestina tidak akan menyerah karena lapar. Palestina telah lama diajari cara menahan lapar. Ini masalah yang tidak seberapa dibanding dengan kemerdekaan yang harus kalian perjuangkan. Palestina tidak akan menangis. Palestina telah lelah menangis. Nyatanya, menangis itu tidak mengubah apa-apa. Hanya jihad yang akan mengubah nasib. Tetaplah pada jalan ini. Palestina lebih suka mati kelaparan daripada harus menyerah!”
Yasir, ini adalah jalan yang telah dipilihkan! Tidak ada kesudahan yang buruk sepanjang Palestina tetap berada pada titian ini. Barat hanya akan memilih salah satu; membiarkan Palestina berdiri merdeka, atau terus memaksanya runtuh. Jika yang kedua mereka pilih, maka runtuhlah demokrasi. Runtuhlah Barat. Runtuhlah kepercayaan dunia kepadanya.
“Siapa lagi yang akan percaya, selain orang-orang yang buta?!

(kutipan kisah WIBOWO)




Tidak ada komentar:

Posting Komentar