Ramallah, 25 Januari 2006
“Demi buah Tin
dan Zaitun...!”
Untukmu, Yasir,
risalah ini kutulis. Untuk berkabar tentang apa yang terjadi di hari terik.
Sebelumnya dengarkan, aku telah membesarkan matahari kita dalam hari-hari sulit
yang kusulam menjadi bulan dan tahun.
Rumah kita sepi,
Yasir, meski di luar orang-orang menyambut hasil pemilu dengan riuh. Hamas
menang, katanya.
Di rumah ini,
tawa telah terbenam sejak kau berkemas di hari naas itu, dan ledakan bom di
distrik Tel Aviv memberi kabar kau tak akan pulang lagi, meski sebentar. Kau
berkemas terlalu lekas, meninggalkan aku bersama dua bayi merah yang tak sempat
mengucap selamat jalan.
Yasir,
dengarlah! Dua bayi merah itu; Mahmud dan Ismail, kini telah merekah menjadi
dua pemuda gagah. Bilik ini mungkin terlalu sempit untuk menampung mereka, maka
jangan salahkan jika mereka jarang tinggal. Pahlawan selalu tinggal di luar
rumah, bukan? Itu katamu, dulu! Pun, kau tahu, Yasir, tanganku terlalu lemah
untuk menahan mereka tetap berumah. Sejak dilahirkan, katamu, mereka bukan
milik kita. Para pejuang itu bukan milik ayah dan ibunya, tetapi milik bangsa
dan agamanya.
Yang membat
ruang di rongga dadaku semakin lengang, Yasir, adalah kenyataan bahwa aku tak
mampu mengikatnya dalam satu pandangan yang sama. Tapi, mungkin memang begitu
seharusnya.
Hamas menang,
Yasir, itu kabar dari Ismail yang pulang di hari terik ini dengan wajah yang
penuh binar.
“Penderitan
telah membuat Palestina pandai memilih, Ibu,” katanya. “Penindasan, aneksasi,
dan tindakan brutal Israel, telah mengajari Palestina hanya memilih satu jalan:
jihad!”
Sepertiku,
Yasir, saat mendengarnya apakah kau akan bertanya, “Kalian menyukai perang?”
Sebagaimana kau yang hingga hari terakhirmu tak juga menyetujui bom bunuh diri.
“Tidak, Ibu,”
bantas Ismail. “Kami tidak menyukai perang. Tapi, kami cinta syahid. Dan, hari
ini Palestina dibuat mengerti jalan yang mesti dipilih; perjuangan. Hamas telah
memutuskan untuk tidak berkompromi dengan Israel. Tidak mengakuinya, serta
menuntut mereka mundur dari Jerusalem Timur, Tepi Barat dan Jalur Gaza.”
“Mereka menyebut
Hamas teroris, bukan?” lanjut Ismail, “Tak apa! Mereka bebas bilang apa saja.
Toh, bukan mereka pencatat amal dan dosa.”
Ramallah, Awal Februari 2006
“Untuk sayap
merpati dan ranting zaitun!” kata Mahmud, yang datang di hari berikut. Kau
turut dengar katanya, Yasir? “Inilah jalan yang semestinya kita tempuh, Ibu.
Kita harus menghentikan jalan darah itu!”
Jalan itu yang
telah ditempuh Mahmud; jalan ranting zaitun. Jalan damai, begitu ia menyebut.
Meskipun dengan begitu, ia harus mengikut mengakui negara Israel, dan
menciptakan dua negara berdampingan di tanah milik umat Islam ini.
Mahmud bercerita
tentang peta jalan damai, tentang embargo ekonomi yang didengungkan Barat jika
Hamas tetap pada garis politiknya. Barat menuntut pelucutan senjata, dan
pengakuan Israel atas tiga wilayah yang mereka duduki pasca-Perang 1967.
Bahkan, Israel mengancam akan terus maju jika Hamas tak meninggalkan garis
keras.
Yasir, andai
kini kau ada, ingin kutanya engkau, mesti bagaimana aku? Manakah yang mesti
kuikut dari dua anak kita?
Ramallah, Maret 06
Setelah
berminggu-minggu tak pulang, hari ini Ismail muncul di rumah. Wajahnya lelah.
“Barat
menerapkan standar ganda, Ibu,” katanya, mengkritik masalah ancaman embargo
atas pemerintahan baru Hamas. “Mereka menodai demokrasi padahal merekalah yang
selama ini mengaku sebagai pejuangnya. Demi pemilik tanah ini, bukankah pemilu
Palestina adalah pemilu yang paling demokratis? Lalu, mengapa mereka enggan
menghormatinya?”
Kau dengar,
Yasir? Seharusnya memang demikian, bukan? Bahkan, untuk pikiran yang paling
awam sekalipun, ancaman embargo ekonomi itu sungguh tidak masuk akal.
Ramallah, April 2006
Dunia kembali
terhenyak, Yasir!
Amerika dan Uni
Eropa benar-benar membuktikan ancamannya. Embargo ekonomi telah dilangsungkan
sejak pertengahan bulan ini. Palestina serentak kelaparan, kekurangan
obat-obatan, dan bencana kemanusiaan. Bantuan dari Barat dihentikan. Dan,
rasanya baru sekarang kita mengetahui bahwa kita hidup dari donor-donor mereka.
Otoritas Palestina, Yasir, yang membuat negeri ini tidak memiliki harga diri
dengan menggantungkan hidup sebagai peminta-minta, meminta sumbangan dari
Barat.
Demi buah Tin
dan Zaitun! Demi bukit suci Thur dan negeri yang diberkahi ini....
Allah telah
memilihkan jalan untuk Palestina; jihad! Lantas, nantinya dunia akan terdiam,
menyadari bahwa Palestina layak untuk memilih jalannya sendiri.
Mereka akan
diam, Yasir! Bukankah demikian adanya dengan Ariel Sharon, si pengisap darah
muslim Palestin itu? Dia yang kini terbadai koma. Dokter mengusahakannya diam,
tetapi sesungguhnya Allahlah yang membuatnya bungkam. Kau pikir untuk apa? Saat
Izrail merenggut tengkuknya dan menahan nyawanya di kerongkongan? Agar ia
menyaksi dosa-doa, seperti Firaun yang gelagapan dilarung samudera Laut merah!
Sudahkah sampai padanya berta itu? Maka sesalilah, bukan begitu?
Lihat, Yasir,
Hamas menang pemilu dan Barat serentak teperangah. Yang mereka lakukan
sekarang—dengan embargo ekonomi, standar ganda, kebijakan unilateral untuk
Israel, pembelaan yang habis-habisan atas negara misterius yang muncul dari
mitos holochaust—tak lain hanya akan membuka mata dunia bahwa Barat adalah
pemerkosa demokrasi, pemerkosa kemanusiaan, pemerkosa hak asasi... hak-hak
dasar manusia yang dijamin Tuhan. Tindakan brutal itu, karena mereka terbeliak
tak percaya pada kenyataan, seperti Quraisy di batas Mekah yang tak percaya
pada hari Futuh!
Yasir, telah
semakin dekat futuh itu....
Ramallah, April 2006
Demi Bukit Thur...!
Mata itu, Yasir,
menatapku lembut. Kurasakan keanehan. Mata Mahmud berair. Apakah yang terjadi?
“Apakah yang terjadi dengan ranting zaitun?”
Beberapa tahun
terakhir, para merpati itu telah mulai kehilangan konsistensi terhadap jalan
ranting zaitun yang diusung. Beberapa kali mereka terlibat kontak senjata
dengan Israel. Buntutnya, tahanan rumah yang dijatuhkan pada pemimpin PLO,
Yasser Arafat, di bulan-bulan terakhir menjelang wafatnya.
Menghadapi
kepala batu Israel, bergunakah cara lembut dan peta jalan damai? Kenyataan
itu—betapa kepala Israel keras melebihi batu—mungkin yang mengubah para
“merpati” ini.
“Penderitaan
rakyat akibat embargo ekonomi ini sudah tak tertahan, Ibu. Tidak cukupkah ini
menjadi alasan bagi Hamas untuk mengubah kebijakan dan melanjutkan peta jalan
damai?”
“Karena apa?”
tanyaku. “Bukankah Hamas juga berhak memimpin? Hamas memperolehnya dengan cara
bersih dan demokratis.”
“Bukan, Ibu,”
kata Mahmud. “Embargo ini karena Hamas tidak mau meninggalkan kebijakan garis
keras. Hamas tidak mau mengakui negara Israel dan melanjutkan peta jalan damai.
Hamas memilih peperangan.”
Demi Thur yang
disucikan dan tempat Musa menerima firman. Palestina bukanlah negeri yang cinta
perang. Palestina hanya bangsa yang tidak takut perang. Dari zaman Shalahudin,
atau pendahulu kami di masa Al Khathab, tidak sekalipun kami diajari rasa
takut. Lalu, mengapa jalan ini mesti kami tinggalkan?
“Ingatlah apa
yang terjadi di Hudaibiyah, Ibu! Bukahkah Rasulullah rela dipanggil Muhammad?”
tanya Mahmud. “Saat itu pula lafadz basmallah urung dijadikan pembuka
perjanjian.”
“Itukah alasanmu
memilih jalan mengalah?”
“Bukan jalan
mengalah, tetapi jalan damai....”
Ramallah, Awal Mei 06
Demi negeri yang
diberkati ini....
Gejolak terus
terjadi di bumi para nabi ini. Tapi, inilah memang yang telah diramalkan oleh
Rasulullah. Kelaparan akibat embargo telah menewaskan banyak orang Palestina.
Bahkan, yang tak habis pikir lagi, Israel menahan dana pajak rakyat Palestina
di Jalur Gaza, tak kunjung diserahkan kepada pemerintahan resmi Palestina.
Mereka benar-benar tak tahu malu.
Kudengar di luar
marak demo menggalang solidaritas untuk Palestina. Dalam demo itu, terhimpun
dana yang luar biasa besar untuk negeri nestapa ini. Namun, bagaimana dana itu
akan sampai ke Palestina sedangkan bank-bank enggan mentransfernya?
“Tak perlu
khawatir, Ibu,” kata Ismail. “Embargo ini justru semakin memantapkan pilihan
kita. Bukankah nabi-nabi terdahulu selalu mengalami pemboikotan? Ini adalah
indikasi bahwa jalan yang kita tempuh adalah jalan para shidiqin! Jalan yang
sama dengan yang telah ditempuh para syuhada dan kaum anbiyaa’!”
“Dana-dana itu?
Bagaimana akan....”
“Selalu ada
jalan. Israel dan Barat membuat makar, sedangkan Allah pun membuat makar. Lalu,
akan terbuktilah makar siapa yang lebih baik. Allah adalah sebaik-baik pembuat
makar. Mereka hendak menghalangi cahaya Allah. Pada saatnya nanti mereka akan
menyadari bahwa tangan mereka terlalu lemah untuk itu.”
Ramallah, 8 Mei 2006
“Bagaimana
mungkin Hamas akan meninggalkan kebijakan ini, Ibu?” tanya Ismail. “Cukupkah
alasan untuk melakukannya?”
Memang itu
raguku. Hamas harus mengakui Israel? Hamas harus melucuti senjata, sedangkan
Israel bebas melakukan operasi senjata ke tempat-tempat mana suka? Embargo
ekonomi yang dijadikan ancaman. Takutkah Hamas pada embargo itu?
“Palestina telah
lama diajari menahan lapar. Embargo ini sudah kami sadari akan terjadi, cepat
atau lambat. Kami sudah siap. Ini tabiat jalan perjuangan, Ibu.”
“Kalian tak akan
mengubah piagam Hamas yang tidak mengakui Israel? Kalian tidak akan
meninggalkan jalan perjuangan untuk kemerdekaan Palestina?”
Ismail
menggeleng.
Meruah
bahagiaku. Benar, tetaplah begitu! Bukankah karena ini Hamas dipilih? Keteguhan
dan garis tegas inilah yang membuat Palestina memenangkan kalian dalam pemilu.
Maka, jika kalian meninggalkannya, sama artinya kalian mengkhianati rakyat
Palestina seluruhnya. Jangan! Jangan sekali-kali kalian tinggalkan!
“Tapi... tentang
Hudaibiyah?” aku teringat kalimat Mahmud beberapa hari lalu.
Ismail
tersenyum. Bijak wajahnya. “Hudaibiyah bukan di Madinah, Ibu! Hudaibiyah adalah
sebuah wilayah Mekah! Maka wajar Rasul mengambil kebijakan semacam itu. Tapi,
jika menyangkut kedaulatan, tidak ada kompromi. Bukankah Rasulullah menghukum
semua laki-laki Bani Quraizhah yang mengkhianati Piagam Madinah? Rasul juga
mengusir Banu Nadhir karena melakukan makar hendak membunuh Rasul? Konteksnya
yang harus kita pelajari. Setiap keadaan membutuhkan cara penyikapan yang
berbeda.”
Ya... ya...!
Kalian memang tak boleh berkompromi dalam tiap jengkal tanah yang digagahi para
Zionis. Tak ada kompromi....
Ramallah, 9 Mei 2006
Demi buah Tin
dan Zaitun....
Hamas bersedia
dibawa ke meja perundingan, asalkan Israel kembali ke perbatasan 1967. Itu yang
dikatakan Ismail. Perbatasan 1967 adalah batas negara Israel yang diklaim
sepihak oleh negara itu setelah perang Arab-Israel 1967. Setelah 1967 yang
membakukan wilayah Israel membentang dari Eufrat hingga Nil, dan mencaplok
Dataran Tinggi Golan, mereka juga menduduki Jalur Gaza, Tepi Barat dan Jerusalem
Timur.
Israel harus
mundur dari tiga kota itu. Tanpa hal itu, perjanjian hanyalah omong kosong!
Bagaimana mungkin Hamas mengakui pendudukan Israel atas Tepi Barat, Jalur Gaza,
dan Jerusalem Timur? Apa yang akan Hamas katakan pada orang-orang yang terusir dan
terpaksa menjadi pengungsi? Apa yang akan Hamas katakan pada orang-orang di
Rafah, dan mereka yang terusir karena pencaplokan itu?
Tapi, Israel tak
mau mengindahkan apa yang dikatakan Hamas. Apakah perundingan namanya kalau
satu pihak keras kepala sedangkan pihak yang lain dituntut mengikuti apa
kemauannya? Tidak! Israel bak anak kecil yang merajuk, dan orang tuanya dengan
segera menimang-nimangnya sayang. Anak kecil itu meminta barang mainan milik
bocah lain. Lalu, orang tuanya memarahi si bocah pemilik mainan itu. Jika si
orang tua tak mau tahu siapa yang berhak atas mainan itu, manakah mungkin
anaknya akan mengerti?
Ramallah, Pertengahan Mei 2006
Sampai kapan
Palestina akan memeras air mata?
Yasir, di tengah
embargo dan penderitaan yang semakin berat, Fatah dan Hamas bertikai. Aku
dengar kabar dari Tepi Barat, beberapa personel Hamas dan Fatah tewas menjadi
korban.
Apa yang
terjadi? Pada awalnya, para polisi itu menuntut gaji? Palestina sedang
kesulitan ekonomi, bukankah mereka tahu? Bukan hanya polisi yang belum digaji.
Semua, semua belum menerima gaji.
Apa yang
terjadi? Abu Samhadana menjadi kepala Satuan Militer Palestina, sedangkan Abu
Samhadana adalah orang yang paling dicari Israel? Lalu, Presiden Mahmoud Abbas
memveto pengangkatan itu? Oh... aku tak habis pikir. Bagaimana mungkin semua
masalah jadi sekusut ini? Mengapa Mahmoud Abbas begitu takut pada Israel?
Apa yang
terjadi? Veto itu menimbulkan reaksi keras kalangan Hamas? Lalu, ada yang
menuduh Mahmoud Abbas adalah pengkhianat? Lalu, Fatah geram! Ribuan orang turun
di jalan-jalan di Jalur Gaza dan Tepi Barat, menyatakan dukungan pada Mahmoud
Abbas.
Apa yang
terjadi? Hamas melakukan penyerangan pada Fatah? Inilah awal perang terbuka
Hamas-Fatah. Tapi, Hamas berasalan bahwa Fatah telah melakukan penculikan
terhadap tokoh Hamas. Mana yang benar?
Yasir... aku
menangis. Negeri apa ini? Di sela kelaparan dan tekanan dari luar, mereka masih
sanggup berperang sesama. Di mana jihad? Di mana semangat perlawanan terhadap
penjajah itu?
Sementara di
tempat lain, tekanan-tekanan semacam ini mampu menyatukan yang terberai, mampu
mengikat yang terbelah! Tekanan membuat mereka menemukan titik kesamaan. Tapi,
lihatlah Palestina! Lihatlah, Yasir...!
Apakah kau
menangis? Ayo, menangislah, Yasir! Kita seharusnya menangis untuk petaka ini.
Di mana Allah? Di mana Rasulullah? Di mana Al Quran dan Sunah? Tidakkah itu
cukup menjadi pengikat?
Oh... di mana
tentara Badar? Di mana pahlawan Uhud yang tercerai-berai lalu kembali lagi? Di
mana pemilik perjanjian suci?
Ramallah, Pertengahan Mei 2006.
Palestina di
ambang perang saudara.
Bertasbihlah,
Yasir, pujilah tuhanmu. Sucikan nama-Nya. Para pemimpin Hamas dan Fatah
akhirnya menyerukan pengikutnya agar menghentikan pertikaian, dan kembali pada
satu tujuan, kemerdekaan Palestina. Ini setelah Presiden Mahmoud Abbas
mengancam akan melakukan referendum membentuk pemerintahan baru.
Ini menakutkan,
Yasir...!
Tapi, syukurlah
semua sudah berlalu, untuk sementara telah berlalu. Yang gugur dalam peperangan
itu, semoga mendapat tempat yang layak. Yang tertinggal, mudah-mudahan bisa
mengubur dendam. Mari menatap masa depan Palestina.
Awal Juni, 2006
Yasir,
percayakah kau bahwa terbitnya dua rembulan adalah salah satu pertanda kiamat?
Di rumah kita,
Yasir, hari ini terbit dua matahari. Bukan hanya rembulan, ini adalah matahari
bagiku. Bagi kita. Lama tak kulihat Mahmud dan Ismail pulang bersama. Ya
Allah... rindu sekali aku melihat mereka saling berbicara.
Mahmud yang
datang pertama, mengetuk pintu dengan penuh perasaan. Hatinya memang sehalus
pualam. Tak lama, ketukan kedua menjadi pertanda. Ismail tiba dengan mata
berbinar penuh waja! Dia memang sekeras besi baja! Penuh gelora.
Yasir, dua
matahari itu kini sedang duduk bercengkerama. Memandangnya, bagai tak percaya
aku bahwa Palestina akan diguncang perang saudara. Tidak! Palestina tidak akan
terlibat perang saudara. Palestina masih memiliki begitu banyak cinta untuk
menampung sedikit perbedaan antara orang-orang bangsanya.
Juni 2006
Demi Buah Tin
dan Zaitun! Demi Bukit Suci Thur, dan negeri yang diberkahi ini....
Kusatukan dua
tangan; Ismail dan Mahmud. Tanganku membingkai dua telapak mereka yang menyatu.
“Tetaplah pada
jalan yang dipilihkan Allah ini! Jangan hirau dengan embargo dan tekanan
orang-orang yang merasa dirinya kuat—padahal sesungguhnya mereka lemah—dan
menganggap mampu menggenggam dunia dengan tangannya. Palestina tidak akan
menyerah karena lapar. Palestina telah lama diajari cara menahan lapar. Ini
masalah yang tidak seberapa dibanding dengan kemerdekaan yang harus kalian
perjuangkan. Palestina tidak akan menangis. Palestina telah lelah menangis.
Nyatanya, menangis itu tidak mengubah apa-apa. Hanya jihad yang akan mengubah
nasib. Tetaplah pada jalan ini. Palestina lebih suka mati kelaparan daripada
harus menyerah!”
Yasir, ini
adalah jalan yang telah dipilihkan! Tidak ada kesudahan yang buruk sepanjang
Palestina tetap berada pada titian ini. Barat hanya akan memilih salah satu;
membiarkan Palestina berdiri merdeka, atau terus memaksanya runtuh. Jika yang
kedua mereka pilih, maka runtuhlah demokrasi. Runtuhlah Barat. Runtuhlah
kepercayaan dunia kepadanya.
“Siapa lagi yang
akan percaya, selain orang-orang yang buta?!
(kutipan kisah WIBOWO)
(kutipan kisah WIBOWO)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar