Saat
menemuinya di tebing batu, aku melihat bahwa wajah Sisipus begitu lelah.
Tentulah begitu. Ia telah mendorong batu mendaki bukit. Namun, usahanya itu
seakan sia-sia saat sang batu kembali meluncur ke lembah.
Telah begitu
ia lakukan bertahun-tahun, mungkin berabad-abad. Setiap kali batu yang
didorongnya tiba di puncak bukit, batu itu akan menggelincir ke lembah. Tapi,
ia akan kembali mendorongnya, sementara ia tahu sesampai di puncak, batu itu
akan kembali menggelincir ke lembah.
Aku kasihan
menatap wajah yang lelah itu.
“Tidakkah
kau bosan mendorong batu dan menggeleincirkannya kembali?”
Ia
menggeleng. “Jika aku bosan, maka aku telah berhenti mendorong batu-batu itu.”
Dan memang,
belum pernah kudengar berita Sisipus berhenti mendorong batu ke atas bukit.
“Ah,
alangkah menyedihkan nasibmu.”
“Nasib
mana?”
“Kerja
kerasmu sia-sia begitu batu yang kaudorong ke puncak, kembali bergulir ke
lembah.”
“Sedih atas
itukah engkau? Oh, sungguh! Andai kau tahu, aku tak pernah sedih dengan
tergenlincirnya batu-batu. Sebab, jika ia kokoh bertengger di puncak sedangkan
aku masih hidup, apa yang akan kulakukan lagi? Jika ia bertengger di puncak,
maka itu akan membuat aku berhenti.”
----
Begitulah
Sisipus yang sepanjang hidupnya mendorong batu. Ia tak boleh bosan
mendorongnya, sebab itu akan membuat ia tidak melakukan pendakian. Ia juga
tidak boleh menggerutui batu yang menggelinding kembali ke lembah. Sebab jika
batu itu berdiam di puncak, tak akan ada lagi yang kan didorongnya.
Sisipus
adalah kita. Mendorong batu adalah hakikat ibadah. Menggelincir ke lembah
adalah fluktuasi keimanan.
Menjadi
futur bukanlah aib. Tapi, itu sebuah proses pencapaian ibadah.
Futur adalah
sebuah keniscayaan agar hakikat kita sebagai hamba itu terdefinisi.
Jika manusia
telah tak lagi futur, sampailah ia pada ujung umur.
Diberi-Nya
kita futur agar kita kembali memulai proses. Seperti Sisipus yang kembali
mendorong batu ke puncak bukit.
Futur
hakikatnya sebuah kepercayaan dari-Nya agar kita memulai lagi sebuah pendakian.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar