Saat
kecil, saya bingung jika ditanya apa cita-cita saya. Maka, tak heran jika saya
takjub dengan teman SD yang sudah bisa menjawab “sesuatu” dalam pertanyaan yang
sama: “Saya ingin jadi presiden, dokter, insinyur,” dan sebagainya. Jika
ditanya cita-cita, saya menjawabnya asal-asalan, kadang menjiplak jawaban
teman, atau tiba-tiba saya menemukan bahwa saya menginginkan sesuatu sehingga
segera menganggapnya sebagai cita-cita.
Saya suka wayang kulit, dan membayangkan memiliki satu set lengkap wayang kardus (sayang, tidak kesampaian.) Saya menginginkan sepeda, bola, akuarium kecil, dan sejenisnya. Tapi, tentu saja itu tidak layak disebut sebagai cita-cita. Cita-cita berbeda jauh dengan keinginan, bukan?
Bicara tentang cita-cita di masa kecil, sangat erat kaitannya dengan proses identifikasi diri, berikut perkembangan dan lingkungan psikologis yang membesarkan. Pertama kali saya “menemukan” cita-cita adalah saat ada guru baru di sekolah saya. Guru yang simpatik, ramah dan cantik. Saat itu, tiba-tiba saya ingin menjadi guru. Saat dunia heboh dengan sandiwara radio Saur Sepuh, saya bercita-cita menjadi pendekar penegak kebenaran seperti Brama Kumbara. Seusai membaca serial Empat Sekawan karya Enid Blyton, saya bercita-cita menjadi detektif. Ketika Ellyas Pical menang melawan petinju Thailand (dan laki-laki dewasa di seluruh kampung saya mengelu-elukannya) tiba-tiba saya ingin menjadi petinju.
Saya menyimpulkan bahwa cita-cita kita di masa kecil sangat bersifat subjektif, berimpit dengan kekaguman atau ketakjuban kita pada sesuatu tertentu. Sangat tergantung pada citra positif kita terhadap sesuatu itu. Hal yang sama tentulah terjadi sebaliknya dalam kebalikan yang sempurna.
Seorang kawan sama sekali tidak mau menjadi ABRI walaupun dia memiliki kesempatan dan uang pelican, serta koneksi yang mantap. Tahukah, apa alasan dia menolak? Karena ia “benci” ayahnya. Ayahnya seorang ABRI. Ia benci ayahnya yang tidak bertanggung jawab terhadap keluarga. Ayahnya selingkuh dan menikah dengan wanita lain di tempat tugas baru.
Saya suka wayang kulit, dan membayangkan memiliki satu set lengkap wayang kardus (sayang, tidak kesampaian.) Saya menginginkan sepeda, bola, akuarium kecil, dan sejenisnya. Tapi, tentu saja itu tidak layak disebut sebagai cita-cita. Cita-cita berbeda jauh dengan keinginan, bukan?
Bicara tentang cita-cita di masa kecil, sangat erat kaitannya dengan proses identifikasi diri, berikut perkembangan dan lingkungan psikologis yang membesarkan. Pertama kali saya “menemukan” cita-cita adalah saat ada guru baru di sekolah saya. Guru yang simpatik, ramah dan cantik. Saat itu, tiba-tiba saya ingin menjadi guru. Saat dunia heboh dengan sandiwara radio Saur Sepuh, saya bercita-cita menjadi pendekar penegak kebenaran seperti Brama Kumbara. Seusai membaca serial Empat Sekawan karya Enid Blyton, saya bercita-cita menjadi detektif. Ketika Ellyas Pical menang melawan petinju Thailand (dan laki-laki dewasa di seluruh kampung saya mengelu-elukannya) tiba-tiba saya ingin menjadi petinju.
Saya menyimpulkan bahwa cita-cita kita di masa kecil sangat bersifat subjektif, berimpit dengan kekaguman atau ketakjuban kita pada sesuatu tertentu. Sangat tergantung pada citra positif kita terhadap sesuatu itu. Hal yang sama tentulah terjadi sebaliknya dalam kebalikan yang sempurna.
Seorang kawan sama sekali tidak mau menjadi ABRI walaupun dia memiliki kesempatan dan uang pelican, serta koneksi yang mantap. Tahukah, apa alasan dia menolak? Karena ia “benci” ayahnya. Ayahnya seorang ABRI. Ia benci ayahnya yang tidak bertanggung jawab terhadap keluarga. Ayahnya selingkuh dan menikah dengan wanita lain di tempat tugas baru.
----
Apakah yang diketahui anak tentang
cita-cita yang dia sebut? Tak banyak—jika tak boleh dibilang tak ada. Tapi,
karena saya menganggap “berani memiliki cita-cita” harus diajarkan kepada anak
selagi dini agar memiliki target di saat dewasa kelak, maka saya bertanya
kepada anak saya. Nur Ahmadi Suluh Rahino, si kecil yang sekarang menjelang
usia 6 tahun, menjawab malu-malu dengan suaranya kecil nyaring; “Abah, aku
ingin jadi penulis!”
Ah, hati saya langsung gerimis. Basah, oleh
keharuan. Saya yakin, Suluh belum paham apa itu penulis. Tapi, saya
mendengarnya sebagai: “Abah, aku ingin menjadi engkau saat dewasa nanti!”
Apakah ini berarti citra diri saya di dalam
hatinya sangat positif? Segera saya memeluknya, dan mata saya berembun. “Nak,
betapa Abah tersanjung. Cepatlah besar, dan jadilah seperti yang sekarang
kaukatakan!”
<saktiwibowo2005@yahoo.com>
Bandung, 11 April 2006,
Usai rihlah bareng Abang, Isman, Salman, Rozak, Ponco, Yaumil, dan Bahri.
(Tulisan ini pernah
dipublikasikan di rubrik Kolom Ayah, majalah Ummi, dengan judul: Cita-Cita
Anakku.”)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar