Jakarta, Sudah satu minggu sejak aku menempati pondok milik pamanku di tepian pantai Pelabuhan Ratu, aku selalu melihatnya berdiri di situ. Di bawah sebatang pohon kelapa. Pandangannya dibuang ke tengah-tengah lautan. Tak ada yang dilakukannya kecuali diam.
Rembang petang meremang. Malam segera datang. Gadis itu beranjak pergi dari tempatnya. Entah kemana.Mungkin pulang, barangkali. Dan ketika matahari muncul setengah dari permukaan laut, kutemukan kembali dia di situ. Di tempat yang sama. Masih diam.
Aku ingin sekali meyapanya. Mengajaknya berbincang tentang laut, ombak, pantai, karang. Pokoknya tentang apa saja. Tak penting apa yang akan kami bicarakan.
Tapi hingga kini, aku belum memiliki alasan yang tepat untuk mendekatinya. Gadis itu terlalu acuh. Bahkan ketika aku berjalan lewat di depannya, mata kami sempat bertumbukan pandang. Sesaat. Lalu, dia langsung membuang tatapan kosongnya ke tengah lautan. Asyik dengan kesendiriannya. Menikmati irama debur ombak. Aku hampir tak bisa merasakan emosinya. Ia seperti tak berjiwa. Hampa.
Tanganku menari-tari di atas kanvas. Menterjemahkan pemandangan sunrise lewat kuas dan cat minyak. Tapi sial! Konsentrasiku ambruk. Sosok misterius itu menguasai seluruh isi kepalaku. Merebut perhatianku dari matahari yang kian berajak tinggi.
Kalau terus-terusan begini, lukisanku tidak bakalan selesai-selasai. Padahal, beberapa hari lagi, aku harus mempresentasikannya di hadapan dosen seni lukisku. Kalau sampai hasilnya tidak maksimal, apalagi sampai gagal…, terpaksa aku harus mengulang di semester yang berikutnya. Buang-buang waktu, biaya dan tenaga. Resiko yang terlalu mahal.
Aku merapikan alat-alat lukisku. Lalu berlari kepantai. Bermain-main dengan ombak. Sekedar mencairkan kebekuan di kepala. Biar fres!
Terlalu asyik aku bermain-main dengan pasir, sampai lalai memperhatikan ombak. Angin yang bertiup kencang, menciptakan ombak yang sangat besar. Seperti seekor ular besar yang siap mencaplok mangsanya, menganga di depanku. Aku tak sempat menghindar. Detik selanjutnya… Bluuuuuurrrrrr!!!!! Ombak besar menggulung tubuhku. Menyeret aku ke tengah lautan. Aku tenggelam semakin dalam.
Tak ada yang bisa aku lakukan. Apa lagi ketika keningku bersentuhan dengan pasir-pasir lautan yang setajam gelas kaca. Aku hanya bisa pasrah. Maut di depan mata. Kematian datang menjemput.
Tapi tiba-tiba…, aku merasakan tubuhku terangkat ke permukaan. Seseorang menyelamatkan aku. Membawa aku ke tepian pantai.
Kepalaku pening. Aku merasakan perih di kening. Perutku mual, karena terlalu banyak air laut yang terminum. Kemudian, gelap! Aku tak sadarkan diri.
Saat aku membuka mata, aku sudah berada di dalam pondok pamanku. Aku mencoba untuk mengangkat kepala. Bangkit dari tidur. “Aaah…!” kepalaku masih terasa berat.
“Jangan bangun dulu,” kata seorang gadis seraya menghampiriku.
“K-kamu…”
Gadis itu tersenyum. Lalu memeriksa perban yang melilit di kepalaku. “Keningmu terlalu banyak mengeluarkan darah.” Dia mengambil gelas berisi ramuan buatannya dari atas meja makan. “Minum ramuan ini, bisa menurangi rasa sakitmu.”
Aku meminum ramuannya. Ia membantu memegangi gelas. Beberapa saat setelah meminum ramuan itu, mataku terasa berat. Ngantuk! Aku tertidur pulas.
Matahari menerobos celah dinding yang terbuat dari anyaman bambu. Sinarnya jatuh di pelupuk mataku. Silau. Aku terjaga. Memicingkan mata. Sudah pagi, rupanya.
Aku bangkit dari tempat tidur. Badanku tersa segar kembali. Mungkin karena khasiat ramuan yang kuminum semalam. Keningkupun sudah tidak terasa nyeri. Tapi…, kemana gadis yang menolong dan merawat lukaku? Gadis yang selalu beku. Memandang laut dengan tatapan mata yang kosong. Dia yang menyita seluruh perhatianku.
Aku beranjak ke luar pondok. Matahari pagi menyambut ramah. Kurentangkan tanganku ke atas. Menghirup udara pagi. Hangat menjalari tubuhku. Segar. Debur ombak seakan memanggil-panggil aku. Mengajakku untuk bercanda. Tapi tidak saat ini, tentunya. Aku masih trauma dengan peristiwa kemarin. Wajah kematian masih lekat dalam ingatanku. Dan aku belum mau bersua dengannya kembali. Mungkin lain waktu. Next time budy!
Hei, gadis itu ada di sana! Seperti biasa… Pandangannya dibuang ke tengah lautan. Nyaris tak ada aktivitas yang ia lakukan, kecuali sesekali jari-jari lentiknya melontarkan kerikil ke tengah lautan. Lalu kembali termenung. Beku.
Aku mengambil peralatan lukisku. Aku harus menyelesaikan lukisanku hari ini. Sebelum kembali ke Jakarta, besok. Aku baru menyadari, gadis itu merupakan obyek yang sempurna. Aku harus melukisnya. Seorang seniman, apapun bidangnya, tidak hanya dituntut pandai menterjemahkan apa yang dilihatnya. Tapi, ia juga harus mampu menterjemahkan apa yang dirasanya. Biar karya yang dihasilkannya tidak kosong. Sehingga orang yang menikmati karyanya, bisa merasakan jiwa sang seniman.
Hati-hati aku mendekati gadis itu. Takut mengganggu.
“Hai!” sapaku.
Gadis itu menoleh. “Oh, kamu… sudah sehat?” segaris senyum menghias wajah ayunya.
“Berkat kamu. Thanks, ya!”
“Ah, kamu pasti akan melakukan hal yang sama kalau aku yang mengalaminya,” gadis itu merendah.
“Aku harus berpikir dua kali.”
“O ya?”
“Habis, aku nggak pandai berenang separti kamu.”
“Bisa aja kamu.” Lagi-lagi wajahnya dihiasi segaris senyum. Manis.
“Eh, iya… kita belum kenalan. Namaku Hari!” Aku mengulurkan tangan.
“Arinda,” gadis itu menyebutkan namanya seraya menjabat tanganku.
Ah, nama yang indah. Seindah wajahnya. “Kamu keberatan nggak, kalau aku menjadikan kamu objek lukisanku?”
“Kamu mau melukis aku?”
“Iya. Kamu mau?”
“Dengan senang hati. Apa yang harus aku lakukan?”
“Seperti yang kamu lakukan setiap hari; memandang lautan.”
Tiba-tiba gadis itu terdiam. Dia seperti diingatkan dengan beban yang sedang menindih kepalanya. Aku jadi merasa bersalah.
“Arinda… ada apa?”
Gadis itu diam saja. Dia malah melempar pandangnya ke tengah lautan.
Aku mulai melukisnya. Ajaib! Jari-jariku begitu lancar mengerakkan kuas. Imajenasiku mengalir. Aku berusaha menangkap kesedihan yang tengah dirasanya.
Tanpa terasa, aku telah menyelesaikan dua buah lukisan. Dan jari-jariku belum mau berhenti, seperti tak puas-puasnya menuangkan imajinasi ke atas kanvas. Gila! Benar-benar gila! Tiga buah lukisan dalam satu hari?!
Rembang petang ditelan malam. Aku menyelasikan lukisanku yang ketiga. Luar biasa! Sosok Arinda begitu menginspirasiku.
“Sudah selesai?” tanya Arinda.
Aku mengangguk puas.
“Aku harus pulang sekarang.” Arinda baru saja hendak melangkah pergi. Aku segera menangkap pergelangan tangannya.
“Temani aku malam ini?” aku memohon, “besok aku harus kembali ke Jakarta.”
Arinda berpikir sesaat. Kemudian dia mengangguk. Setuju. Aku senang bukan kepalang.
Dan kami menghabiskan malam bersama. Memandang bintang-gemintang yang bertebaran di langit abu-abu. Berkelip indah. Malam cerah, secerah hatiku.
“Hampir setiap hari aku melihat kamu melamun seorang diri di tepian pantai. Boleh aku tau, apa yang sedang membebani pikiranmu?” tanyaku hati-hati. Takut Arinda tersinggung.
Arinda terdiam. Cukup lama. Aku melihat kedua kelopak matanya mengkristal.
“Kamu nggak perlu cerita, kalau kamu nggak mau.”
Arinda menarik nafas berat. “Orang tuaku.” Ia mengawali kisahnya, “mereka ingin menjodohkan aku dengan seorang tuan tanah kaya. Aku tak mau di jadikan istri mudanya. Masih banyak cita-cita yang ingin kuraih. Tapi, aku tak kuasa menolaknya. Ayah sudah terlalu benyak berhutang budi. Dan satu-satunya jalan, aku harus…,” Arinda tak mampu melanjutkan ceritanya. Ia menangis terseguk-seguk. Aku mengusap kepalanya, berusaha mendekap kesedihannya. Arinda terus menangis dalam pelukanku.
Malam bergulir cepat. Sinar matahari menyapa pucuk-pucuk daun kelapa. Aku membuka mata. Arinda sudah tak ada. Pergi. Entah ke mana. Mungkin pulang ke rumahnya…
Aku membenahi pakaian dan alat-alat lukisku. Hari ini aku kembali ke Jakarta. Tapi sebelumnya, aku mampir dulu ke rumah Pamanku untuk berpamitan, sekaligus menyerhkan kunci pondok.
“Kamu jadi pulang hari ini?” tanya paman.
“Jadi.”
“Nggak mau meninap di rumah paman barang sehari?”
“Besok aku harus sudah menyerahkan lukisan ini kepada dosenku.”
Bibi keluar dari ruang dalam. Ia membawa sepiring pisang goreng dan dua gelas kopi hangat. Menyajikannya di meja.
“O ya, Paman…, apa paman kenal gadis yang bernama Arinda?”
“Arinda?” dahi paman mengerut.
“Sebentar, paman,” aku mengeluarkan lukisanku dari dalam tas. Memperlihatkannya kepada paman. “Gadis yang ada di dalam lukisanku ini, paman mengenalnya?”
“Kang, ini ‘kan…”
“Bibi kenal?”
Bibi mengangguk.
“Kami mengenalnya.” Paman mendesah. “Semua orang di sini mengenalnya.”
“Kasihan anak itu…,” lanjut Bibi. “Dia memilih untuk terjun ke dalam lautan, daripada harus menikah dengan seorang tuan tanah yang banyak istrinya.”
“Te…terjun??? Maksud Bibi…?”
“Ya. Arinda bunuh diri! Sampai sekarang, jasadnya belum diketemukan.”
“Aaapaa?!” mataku membelalak mendengar keterangan Bibiku tentang Arinda. “J-jadi… siap gadis yang kulukis kemarin?”
Paman dan Bibi berpandangan. Heran.
Akhirnya aku kembali ke Jakarta membawa misteri yang tak akan terpecahkan. Misteri Arinda.
(Majalah Aneka Yess oleh DEPO)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar