"Assalamu`alaikum,boleh aku
duduk?",Ucap seorang pemuda baya mengagetkan abangnya yang sedang
termenung bertopang dagu disebuah bangku tua didepan rumah mereka sambil
menatap jeruji-jeruji besi yang menancap kokoh nun jauh di sana sebagai tanda
batas teritorial disebuah
daerah
perbatasan Palestina - Israel
"Wa`alaikum
salam,Eh Man,duduklah di sampingku!"Kata Abangnya sambil memberikan tempat
untuk adiknya duduk.
"Oh
ya, terima kasih"katanya sambil duduk di samping abangnya."Dalam
seharian ini abang kelihatan selalu gelisah dan agak gundah. Apakah ada sesuatu
yang abang pikirkan?", lanjutnya kemudian.
"Yaaaah....!"
kata abangnya sambil melepaskan desahan berat yang menghambat rongga batinnya.
Matanya masih tertuju menatap jauh memandangi jeruji besi itu, sembari mencoba
untuk memperbaiki kondisi duduknya dengan lebih rileks.
"Iman...!,
Kau sudah putuskan keputusan Abi dan Umi tempo hari?", tanya abangnya.
"Ya...,
aku sudah putuskan, Insya Allah aku akan berangkat ke Naguib...", jawab
Iman.
"Jadi
kau siap menerima tawaran itu untuk menjadi delegasi perdamaian...?",
tanya abangnya lagi.
"Bang
Ahmad !, negara kita ini makin terdesak,
sudah terlalu banyak korban berjatuhan dari anak negeri ini, bahkan bocah yang
tak berdosa harus ikut menjadi mangsa. Abang lihatkan bagaimana nasib Rami Al-
Durra?. Aku takut anak-anak yang lain akan menjadi tumbal kebiadaban mereka.
Makanya kita harus segera bertindak cepat mengambil inisiatif untuk mendapatkan
solusi dan titik terangnya permasalahan ini, moga orang Israel mau
mengerti...".
"Tapi
Man..., orang Israel itu adalah manusia-manusia licik, sudah berapa banyak
perjanjian diadakan, sudah berapa kali pertemuan dilangsungkan, namun apa
hasilnya...?!. Kau tahu sendiri bukan berapa hari yang lewat sudah diadakan
perjanjian Camp David dan Wye River, malah mereka sendiri yang
melanggarnya".
"Yah,
Aku mengerti, Bang.Aku paham. Tapi bukankah sekarang kondisi dalam keadaan
sangat kritis?, negeri kita semakin dilanda krisis. Peperangan terjadi
dimana-mana, anak-anak dan orang tua menderita, aku tak tahan mendengar pekik
tangis mereka, mayat bergelimpangan di jalan-jalan, pemukiman kita sedang
tengah dilanda aksi pembumihangusan, wanita diperkosa dan dibunuh secara sadis
dan di sebagian mereka harus rela kehilangan mata, tangan bahkan kepala. Mereka
diteror dan dibantai secara massal
sedangkan mayat mereka dibiarkan membusuk di atas tanah kelahiran mereka
sendiri. Berbagai macam perlawanan sudah kita coba, namun toh hasilnya sia-sia,
beberapa kali demonstrasi digelar, tapi sebanyak itu pula mereka harus kembali
dengan kehilangan nyawa. Dan kita juga sudah coba melawan mereka dengan
bergerilya, batu-batu menjadi saksi perjuangan kita. Tapi sampai dimana kita
mampu mematahkan kekuatan tank-tank mereka, sedangkan AK-47 mereka selalu
memuntahkan timah panas menumpahkan darah ke permukaan bumi yang kita cintai
ini, kita tidak berputus asa, inilah satu-satunya alternatif yang kita
harapkan, tidak ada jalan lain.....".
"Ya,
aku tahu....,tapi aku mencemaskan, pertemuan ini akan menambah penderitaan kita
dan negeri ini, kau lihat jeruji itu ?" kata abangnya
sambil
menunjukkan jarinya ke arah jeruji kokoh yang ada di depan mereka, "Aku
hanya khawatir jeruji-jeruji itu berangsur dan beringsut perlahan-lahan akan
sampai ke sini dan buldozer mereka dengan leluasa merayap meraung-raung meraup
segala apa yang ada di negeri ini. Kau lihat rumah kita yang reot? Abi dan
ummipun sudah semakin renta, beliau tak akan kuasa menghadapi derita ini. Tapi
semua ini berpulang kepadamu, akupun tahu kita berada di persimpangan, dan
akupun menghargai prinsipmu. Ah...entahlah, hanya Allahlah yang tahu. Yang
penting sekarang bagaimana kita harus tetap berjuang baik di medan laga atau di
meja perundingan, dan yang penting kita harus tetap berjihad. Aku tetap
mendukung pendirianmu, aku berharap moga kau berhasil, adikku".
Tak lama sesudah itu sorepun menyapa
negeri Ramallah tempat kedua tempat pemuda Hammas yang diliputi suasana perang.
Cipratan kekuningemasan cahaya mentari di ufuk baratpun mulai memenuhi rongga
langit negeri itu. Perlahan-lahan haripun mulai gelap, masih terlihat
samar-samar jeruji besi itu di bawah sorot remang-remang lampu pos penjaga
perbatasan nun jauh di sana. Yah...jeruji besi itu masih kokoh berdiri sekokoh
pendirian dan cita-cita mereka, Palestina merdeka.
Hari ini cauca cukup cerah, matahari
bersinar terang. Tak ada gumpalan hitam yang menggelantung menutupi negeri
Palestina hari ini. Tak seperti hari sebelumnya, tak ada jerit histeris, tak
ada asap-asap mngepul dan tak ada bunyi letupan senjata. Hari ini pertikaian
dan kontak senjata dihentikan untuk sementara, masing-masing pihak harus
menahan diri, embargo diberlakukan karena hari ini Iman dan kawan-kawannya
diberangkatkan dalam memenuhi undangan perundingan damai dengan Israel. Memang kedua belah pihak
sangat membutuhkan misi ini, sudah terlalu banyak korban berjatuhan dari kedua
belah pihak. Koran berbahasa 'Ibranipun kemaren melansirkan di haluan berita
utama tentang kerugian yang diderita Israel selama beberapa hari ini, jatuhnya
beberapa korban di pemukiman Israel di wilayah Nablus, Nazhira dan Thybria
serta tewasnya beberapa polisi di pos perbatasan oleh aksi gerilya mujahid
Hammas di jalur Ghaza dan sebelah barat Tel-aviv. Untuk kepentingan kedua belah
pihak bandara daruratpun dibuka untuk sementara setelah beberapa hari ditutup,
baik penerbangan dari jalur regional ataupun internasional. Iman dan
kawan-kawannya dilepas oleh keluarga mereka masing-masing. Tak lama kemudian
pesawat khusus itupun mendarat dengan selamat walaupun mengalami keterlambatan
be berapa jam dari waktu yang sudah ditentukan. Satu persatu anggota delegasi
mulai menaiki tangga pesawat. Namun di sini Iman masih berdiri terpaku, ada
perasaan aneh yang hinggap di pikirannya. Ditatapnya wajah ayah dan bundanya.
Terbersit sorot duka yang terpancar dari wajah sayu ayah bundanya yang tercinta
mengisyaratkan perpisahan mereka buat selama-lamanya.
Akankah..."Ah...". Ditepisnya pikiran itu . Namun perasaan itu tetap
melayang di pikirannya. Apakah Allah akan mengizinkan mereka untuk bertemu
kembali?. Tak seperti biasanya jiwanya yang kokoh yang tersirat di balik tubuh
tegar pemuda Hammas itu kini luruh berlinangan air mata. Ada firasat lain yang
menyebabkan butiran itu menggelinding di pelupuk matanya. Tak tega rasanya ia
meninggalkan ladang jihadnya, namun apa mau dikata tugas lain datang menyapa.
Dipeluknya tubuh renta kedua orang tuanya itu. Teringat kembali kenangan mereka
tempo dulu, berbagi suka dan duka bersama, berjuang bersama dengan anak negeri.
Kini semuanya harus ia tinggalkan, tempat ia dilahirkan dan dibesarkan.
Sekarang semua harus berakhir, tak ada ucapan yang ia lontarkan kecuali kata
perpisahan di sela-sela isak dan tangis dengan terbata-bata mengalahkan sesak
bathinnya dengan sagala curahan perasaannya. Iapun berbisik lirih.
"Ummi, Abi, aku berangkat. Relakan
aku pergi berjihad. Jangan tangisi kepergianku, jangan sesali perpisahan ini,
jangan ratapi keadaanku sesudah ini. Aku sudah pasrahkan diri ini kepada Allah,
biarlah Allah saja yang menentukan. Aku sudah ikhlas, walaupun suatu saat nanti
kita harus berpisah untuk selama-lamanya. Kalau Allah berkehendak kita bertemu,
tunggulah aku pulang dengan kemenangan dan kejayaan atau kalau tidak...tunggulah
aku di pintu keabadian. Bersabar...mesti kita kan syahid di tiang gantungan
atau tubuh ini ditembus timah panas atau meskipun kepala berpisah dari dada,
nyawa berpisah dari badan. Tabahkan hatimu, kenang ku dalam do'amu. Selamat
tinggal ayah bunda. Selamat tinggal Palestina...". Tak lama setelah
berpamitan, kemudian mengharap do'a dari abang tercinta ia pun melangkah menuju
tangga pesawat. Kembali ditatapnya ke belakang, masih dilihatnya ayah bunda dan
abangnya melambaikan tangan berlinang air mata "Oh Tuhan...tegarkan hati
hamba-Mu" desisnya perlahan. Akhirnya pesawatpun bergerak perlahan demi
perlahan makin lama makin kencang kemudian pesawatpun tinggal landas menuju
langit biru dan hilang menyibak gumpalan awan menuju sebuah negeri harapan, Naguib.
Seminggu telah berlalu perundingan
telah berakhir, keputusan pun telah dihasilkan, tak dapat dipungkiri semua
cita-cita dan harapan menjadi sia-sia. Benar dugaan, apa yang diharapkan Iman
selama ini tandas begitu saja. Perjanjian menghasilkan keputusan yang getir
bagi rakyat Palestina. Hak mereka kembali dirampas, sepertiga lagi tanah milik
Palestina dicaplok dan digusur terutama daerah bagian perbatasan, termasuk
didalamnya negeri yang ia cintai, Ramallah, Khalil dan Yifa hanya ada beberapa
wilayah yang masih bisa dipertahankan mati-matian yaitu, al- Quds dan
Yerusalem. Mereka memang serigala yang tamak dan licik. Tak satupun isi
perjanjian yang mengarah kepada misi perdamaian. Mereka pandai bersiasat dengan
tujuan untuk kepentingan pribadi. Mereka mau berdamai kalau al-Quds sudah
berada di tangan mereka. Iman dan kawan-kawannyapun tak bisa berbuat banyak,
hujjah mereka ditangkis dengan hujjah-hujjah dan dalil legitimasi hukum. Mereka
mempersenjatai diri mereka dengan dalih HAM, butir-butir undang undang
konstitusi PBB, historis teritorial, undang-undang pertahanan Internasional dan
berbagai macam dalih-dalih licik lainnya. Namun apa yang bisa dijadikan
landasan dalil bagi hujjah anak Palestina. Mereka hanya bicara diatas hati
nurani tanpa konsep, berhujjah diatas jiwa yang bersih dan polos tanpa naskah.
Mereka hanya bisa mendengar ocehan dari mulut-mulut berbisa, taktik licik dan
busuk. Kini Iman hanya bisa berpangku tangan memikirkan hasil perundingan yang
telah dicetuskan tempo hari. Pikirannya melayang jauh ke negeri yang ia cintai,
apa gerangan yang terjadi setelah pasca perundingan selama tujuh hari yang
telah lewat, secepatnya ia harus kembali berjuang di medan laga. Terbayang
kembali olehnya wajah Abi dan Ummi diatas todongan senjata orang Israel, Terlintas
dipikirannya bagaimana nasib ayah bundanya yang renta harus tengkurap di tanah
dengan kedua tangan terbelenggu di leher dibawah bayang-bayang todongan
AK-47nya orang Israel. "Oh... apa yang mesti kuperbuat ... aku harus
kembali.......", ujarnya.
Tepat jam 08.00 malam Iman baru saja
selesai melaksanakan shalat Isya. Dicobanya untuk melintir tasbih pemberian
abangnya lebih lama agar resah dan gelisah yang merayap di dadanya segera reda,
namun bayang-bayang kepedihan itu tetap merayap di persendian tubuhnya.
Kemudian dicobanya untuk bangkit dari sajadah ungu itu, diambilnya jaket lusuh
yang tergantung didinding flatnya disebuah apartemen. Kemudian dicobanya
melangkahkan kaki keluar menuju sebuah bangku taman yang rindang yang ada
ditempat yang paling pojok di taman itu. "Ah..."dingin terasa merasuk
ke tulang sumsumnya. Kembali berbagai macam pikiran merayap di rongga jiwanya .
Belum pulih derita yang ia alami, pikirannya kacau dan gundah. Siang dan malam
negeri tercinta selalu membayang di pelupuk matanya, apa yang telah terjadi?!.
Di dalam permenungannya itu dicobanya untuk menerawangkan matanya ke seluruh
penjuru taman. Namun samar-samar terlihat dari balik semak belukar yang ada di
bangku taman, di balik rimbunan daun-daun ia melihat bangunan tua yang
berbentang parit di sekelilingnya dengan aliran sebuah sungai kecil yang
bermuara di hulu sungai Nil dan di sekitar gedung itu berdiri kokoh sebuah
bangunan tua mirip sebuah gudang, dan bangunan tersebut dipagari oleh kawat
berduri yang menancap tegar memagari area bangunan tua tersebut. "TWIN
BUILD" samar-samar dibacanya tanda panah penunjuk arah yang sudah lusuh
dan hampir roboh di ujung sebuah jalan. Bangunan kembar...?, terbayang olehnya
cerita legenda kuno di mana tulisan itu mengingatkannya tentang sebuah markas
pertahanan Amerika Serikat dalam menghadapi Uni Soviet dengan bintang lakon
kenamaan JACK BISON. Seorang mata-mata Uni Soviet untuk Amerika yang akhir
hidupnya dilalui dengan tragis tapi semua itu hanya sebuah ilustrasi antara sebuah
hakikat dan sebuah legenda dari penulis cerita, seorang pujangga yang pandai
merangkai kata. Dengan penuh selidik dicobanya untuk mendekati bangunan tua
itu, bangunan yang menyerupai ornamen arsitektur campuran Prancis dan peraduan
arsitektur Romawi kuno. Keheranannya semakin menggejolak di jiwanya ketika
samar-samar ia mendengar sebuah jeritan kecil dan diiringi dengan sahutan
erangan yang memilukan sayup-sayup terdngar dibawa oleh angin Desember yang
dingin di malam itu sehingga keinginan hatinya untuk melihat bangunan itu
semakin menggejolak untuk melihat ornamen itu lebih dekat. Namun tiba-tiba
kakinya tertahan oleh sebuah teriakan dari seseorang yang memakai serdadu
lengkap dengan senjata yang terpanggul di tangan. Terlihat di helmnya sebuah
bintang kecil bersegi enam.
"Come here, boy! I hope you don't go
in this area" katanya agak ramah. "What happen there?" tanya
Iman. "Go from here quickly! You understand? Shitt...!" katanya mulai
kasar. Mendengar ocehan orang ini jiwa gerilya Iman mulai tersulut. Spontan,
tinjunya melayang menghantam telak dan mendarat persis di pelipis kanan serdadu
tersebut. Dan serdadu itu terhuyung beberapa jengkal ke belakang. Segera
dicobanya untuk menghajar sekali lagi, namun serdadu itu dengan cepat
mengarahkan moncong senjatanya ke hadapan Iman sambil berujar "OK, baby.
Go from here please" katanya lebih lunak dari sebelumnya. dengan hati yang
masih kesal akhirnya diturutinya juga perintah serdadu tadi. "OK, I'm
sorry" ujarnya sambil memundurkan tubuhnya beberapa langkah, kemudian dia
membalikkan tubuhnya menuju gedung apartementnya. Akhirnya sampailah ia di
gedung bertingkat itu. Segera ditujunya box lift yang ada di sudut ruangan,
namun tiba-tiba kakinya terhenti ketika melihat sebuah pintu besi yang
bertuliskan "SECREET ROOM". Cat yang berwarna merah hati itupun sudah
usang dan mulai terkelupas tak obahnya mirip sebuah gudang tertutup. Tertegun
hatinya yang makin dipenuhi dengan tanda tanya. Apa maksud ini semua?, begitu
rahasiakah sehingga tak seorangpun boleh menyingkapnya?. Tiba-tiba
"Blash...!" pintu lift terbuka. Diliriknya jam melingkar di
pergelangan tangannya "Sudah jam sepuluh". Tanpa berpikir panjang
ditekannya tombaol 4 yang ada di dinding box, kemudia pintu lift tertutup,
berjalan perlahan seiring dengan detik yang bergulir. Sampailah ia di kamarnya
lalu merebahkan tubuh yang sudah letih itu. Dicobanya untuk memicingkan mata
namun terbayang kembali di pelupuk matanya bagaimana nasib abi, ummi dan
abangnya. Apa yang terjadi pada mereka? Gundah itu kembali merayap di tubuhnya.
"Ah..." ia membangkitkan
tubuhnya dari ranjang tersebut menuju ruang beranda sekedar untuk menenangkan
pikirannya, menghirup udara segar Naguib di musim dingin tahun ini. Namun
tiba-tiba redup lampu bangunan itu kembali nampak samar-samar dari kejauhan.
Keheranannya semakin timbul. Kembali ditatapnya yang berjarak satu kilometer
itu dari apartementnya. Sebuah mobil patroli melintas dan beberapa orang
membukakan pintu yang berpagar kawat berduri yang terletak di sebuah jembatan
besar dan mobil itupun menghilang di balik bangunan besar tersebut.
"Ah..." tak kuat ia menahan
kantuk yang mulai merayap di pelupuk matanya. Ia coba menghilangkan beribu
pertanyaan yang menggelayut di benaknya dan ia coba untuk merebahkan badannya.
Tak lama kemudian iapun tertidur pulas yang membawa ribuan pertanyaan yang
menggoda jiwanya. Malam mulai larut, bulanpun mulai menatap malu di balik
gumpalan-gumpalan awan dikelilingi ribuan bintang yang bercengkerama menatap
seorang yang sedang hanyut dibawa oleh angin malam yang dingin, hanyut bersama
impian-impian dan cita-cita yang terpendam nun jauh di sana di sebuah negeri
yang terjajah, di sebuah negeri yang menharapkan suatu kedamaian, negeri yang
diberkati. Jangkrik bernyanyi sendu menyanyikan lagu malam yang khas. Haripun
kian larut menanti hari esok yang penuh harapan. Tak ada seorangpun yang tahu
apa yang akan terjadi di esok hari tatkala sang mentari menampakkan wajahnya di
ufuk timur.
"Kring..." sebuah bel mungil
berdering mengagetkan Iman yang termenung. Yah...sudah berapa klai hal ini ia
lakukan?. Tersentak dari lamunannya, buru-buru ia membuka pintu flatnya. Seorang teman sedelegasi
dengannya berdiri sambil mengucapkan salam "Assalamu'alaikum..."
sapanya, "Wa'alaikum salam warahmatullah, o... Yasin silahkan masuk!"
ujar Iman. Yasin, salah seorang delegasi yang berasal dari daerah sebelah utara
Ramallah, Hebron. "Ini ada surat untukmu, bacalah!" katanya sambil
menyodorkan sepucuk surat. Dibacanya sampul depan surat tersebut: Muhayyar
Ahmad. "Bang, Ahmad" seru bathinnya, "Dari mana kau dapat surat
ini?" tanya Iman. "Salah seorang serdadu penjaga datang ke kamarku
dan memberikan surat ini" jawab Yasin. "O ya terima kasih"
sambut Iman. "O ya apakah ada berita untuk bahwa malam ini akan ada
pertemuan" lanjutnya. "Pertemuan?!" sela Iman. "Ya
pertemuan...,kemungkinan kita akan dipulangkan. Tapi aku tak tahu pasti
tempatnya. Sungguh terus terang aku bingung. Mungkinkah kita pulang dengan
tangan hampa? dan tak banyak yang sudah kita perbuat" jelas Yasin.
"Ya begitulah kawan, kita mesti bersabar" lanjut Iman. "O ya aku
harus permisi, aku harus mempersiapkan barang-barang kalau memang kenyataannya
kita akan di pulangkan. Assalamu'alaikum...". Tak sabar dibukanya sampul
tersebut. Sudah seminggu ia tidak mengetahui apa gerangan yang terjadi:
"Buat adikku Iman...
Sudah seminggu kau pergi dari kami, selama itu
pulalah kami dirundung malang.
Hasil pertemuan itu sudah kami dengar dan kami ketahui. Sekarang kau sudah sadar bukan?
Mereka itu bukanlah manusia. Kau
tahu? Setelah hasil pertemuan itu
beberapa wilayah yang digusur
bergejolak, demonstrasi besar-besaran pun terjadi. Dan kau tahu bahwa abi...abi...syahid
dalam kejadian itu. Aku tak tahan
melihat bagaimana keadaan abi waktu itu, keadaannya sungguh mengenaskan, dua belas butir
peluru bersarang di tubuhnya yang
sudah renta itu, bersimbah darah membasahi bumi...kau bayangkan bukan? Dan
ribuan anak-anak dan wanita
diungsikan ke tempat lain, ummipun waktu itu juga di antara mereka. Nmaun sekarang ummi sudah di
camp pengungsian lagi wahai adikku.
Beliau sudah berada di sebuah tempat yang aman, beliau berada di bawah naungan
dan ridha Allah. Seminggu setelah
kau berangkat, salah seorang warga Yahudi menembakkan senjata membabi buta di camp tersebut. Semuanya
menemui ajal di tempat itu,
termasuk yang terjadi pada diri ummi.
Iman...
Ketika
kau membaca surat ini, jangan kau menangis, jangan kau bersedih, mereka telah berada di tempat
yang berbahagia. Berjanjilah wahai
adikku, tetaplah berjalan di medan jihad.
Ketika aku menulis surat ini, aku berada di sebuah tahanan bersama kawan-kawan kita yang lain.
Telah banyak dari mujahid Hammas
yang ditahan dan dibunuh. Dan sampai saat ini aku tak tahu harus berada di mana. Aku
dipindahkan dari satu tahanan ke
tahanan yang lain, dari satu siksaan ke siksaan yang lain. Aku merasa hidup ini tak kan lama lagi dan
aku tak tahu apakah surat ini akan
sampai di tanganmu. Semuanya hanya dengan modal tawakkal kepada Allah.
Iman...
Bersabarlah...walaupun
kau tak kan bertemu abi, ummi dan abangmu
lagi di dunia menunggu
kedatanganmu, kami menyongsongmu di
taman Firdaus ini. Tetaplah dalam jihad.
Allahu Akbar..."
Tertanda
Muhayyar
Ahmad
"Yah...asumsi orang itu bisa saja. Tapi
karangan yang saya ambil dari kisah pemuda yang bernama Iman itulah yang
mengilhami saya dan hati saya merasa terinspirasi dengan semua itu. Anda boleh
menceknya kembali di sebuah koran mingguan News week edisi ke enam bulan
Desember beberapa tahun yang lalu". "Berarti bapak mencoba membongkar
kebobrokan bangsa bapak sendiri?" kata salah seorang fotografer yang
sedang membidik jepretan terbaiknya untuk suatu majalah mingguan. "Tapi
cerita itu kan hanya sebuah rekayasa yang saya asumsikan sendiri, bukan berarti
saya menjelekkan bengsa saya. Dan kenyataannya memang begitu, bukan?".
"Apakah bapak tidak takut kalau bapak dijerat dengan undang-undang
supersif dalam rangka menggulingkan kekuasaan perdna menteri yang baru dilantik
beberapa bulan terakhir, sedangkan bapak aktif sebagai partai oposisi
Israel?" tanya wartawan yang lain. "Silahkan tangkap saya kalau saya
terbukti bersalah". "OK, Bapak sebagai orang penting di pemerintahan
Israel bahkan beberapa tahun mengetahui seluk beluk pertahanan Israel, apa visi
yang akan bapak lakukan ke depan?". "O...itu rahasia, suatu saat
kalian akan mengetahui apa gebrakan yang akan saya lakukan untuk orang-orang
Israel". "Maksud bapak untuk kemajuan Israel?". "Ya, kita
kihat nanti. Aku sekarang sedang memfokuskan diri untuk menulis sebuah buku
baru yang tak hanya menggetarkan seluruh Amerika, tapi akan menggoncang seluruh
dunia. Dan sekarang masih dalam proses, yah...kita lihat saja nanti. Sekian,
terima kasih".
Begitulah hari-hari seorang pujanggawan
penulis negarawan dan sesepuh ulung yang berkebangsaan Israel. Akhirnya buku
yang dinanti-nanti tuntas sudah. Buku itu berisi tentang rahasia pertahanan
Israel, markas pertahanan Israel, peta dan denah strategis serta pusat-pusat
penelitian politik, ekonomi, pertahanan dan keamanan Israel yang ada di
Wasingthon DC, Tel-Aviv dan wilayah lainnya. Buku yang berisi ribuan halaman
itu dijilid menjadi satu. Buku ini menjadi salah satu dokumen terpenting dan
sangat berbahaya jikalau diketahui oleh musuh-musuh Israel. Seperti hari-hari
biasa, kesibukan Mr. Ben Ashraph dalam
jumpa pers konferensi, seminar selalu hadir di tengah-tengah kehidupannya.
Namanya pun mencuat sebagai calon kandidat perdana menteri yang akan datang.
Namun masa begitu mudah membalikkan kisah hidup seseorang. Siang itu setelah
seharian disibukkan oleh berbagai macam kegiatan beberapa orang serdadu
mendatangi ruang apartementnya di sebuah kawasan elit sambil menyodorkan
sepucuk surat "Bapak disuruh datang ke markas besar. Besok akan diadkan
sebuah pengadilan akbar". "Apa maksud semua ini?" tanpa
menghiraukan pertanyaan Mr. Ben serdadu itu memborgol kedua pergelangan
tangannya sambil membawanya masuk ke dalam mobil patroli. Mobil itupun
meluncur.
Jam delapan pagi tepat waktu setempat
pengadilan itu telah dibanjiri oleh media masa seluruh dunia. Pengadilan ini
adalah pengadilan kedua terbesar sepanjang abad ini setelah pengadilan seorang
berkebangsaan Uni Soviet yang bernama Jack Bison. Maklum sang terdakwa adalah
seorang yang sangat berkedudukan penting di sebuah pertahanan Israel. Jerat
dakwaan dimulai dengan peluncuran sebuah buku supersif yang dikarangnya tempo
hari. Kemudian jerat dakwaan berikutnya adalah peluncuran buku yang baru ia
karang ribuan halaman sehingga mengakibatkaninstabilitas politik Israel dengan
judul 'PHALESTINE FOR WHO' dan jerat dakwaan yang terakhir adalah jerat dakwaan
yang sangat memilukan yang mengakibatkan vonis hukum mati adalah hasil riset
intel Israel yang menyatakan bahwa Mr. BEN ASHRAPH adalah seorang pemuda yang
bernama IMAN MUSTHAPHA KAMEEL. Seiring dengan dkwaan selesai dan vonispun telah
diputuskan. Sebelum meninggalkan ruang sidang, Mr. Ben dipersilahkan untuk
memberikan bebrapa patah kalimat sebagai kata-kata terakhir.
"Hari ini ribuan media masa memadati
ruangan ini. Jutaan manusia sedang menatap wajah asli saya.
Alhamdulillah...rahasia telah saya ungkapkan. Sekarang semua telah saya rangkum
menjadi sebuah buku, berebagai rahasia telah saya dapatkan. Tugas saya telah
selesai. Ketahuilah wahai dunia, bahwa saya adalah seorang anak manusia yang
tertindas. Ayahnya dibunuh di negerinya yang ia cintai, ibunya dibantai di
sebuah camp pengugsian di Palestina, sedangkan saya ditipu sebagai aksi balas
dendam orang Israel. Kelicikan harus dibalas dengan sebuah kelicikan. Buku itu
telah disebarkan oleh salah seorang negarawan Mesir dan telah dibaca oleh
ribuan pemuda-pemuda Islam yang sedang belajar di negeri itu. Mereka akan
mempersiapkan suatu revolusi yang besar, kemerdekaan Palestina. Buku itu yang
akna menjadi pemandu mereka dalam menjatuhkan kekuasaan Israel di jagat raya
ini. Kisah kembali kan berulang, orang Israel akan keluar dari Palestina
sebagai mana kisah Nabi kami mengeluarkan orang Yahudi dari Madinah. Wahai
dunia, saya akan berkata hanya sekali. Saya ungkapkan kepadamu wahai Amerika,
di mana letak hati nurani kalian? Ribuan warga terbunuh, ribuan rumah dibakar,
ribuan anak dibantai. Di mana kehebatan kalian yang diagungkan sebagai negeri
yang menghormati HAM sebagai polisi dunia, sebagai penjaga keamanan. Tapi semua
itu tak akan menjadi masalah. Allah masih berkehendak sesuai dengan
keinginannya. Aku masih diberikan kemampuan hidup stelah aku dihanyutkan di
sebuah sungai. Akhirnya aku terdampar, dan negarawan Mesir itulah yang
membantuku sampai anda melihat saya di tempat ini".
"Wahai pemuda Islam, kalian adalah
pelanjut Hammas di masa depan. Siapkan mental untuk berjuang, jangan mundur
walau apapun keadaannya. Sambutlah fajar kemenangan di Palestina, sambutlah
pekik takbir 'Allahu Akbar', hancurkan rahasia pertahanan Israel niscaya mereka
akan kalah dan binasa. Saya bicara di sini hanya sekali. Inilah hari bahagiaku
dalam menyongsong kepergian ayah bunda dan kakak kandungku. Selamat tinggal
semuanya...terima kasih". Kemudian mereka membawa Iman menuju luar sidang
ke sebuah tempat di sebuah kursi listrik. Aruspun dialirkan. Akhirnya di sana
Iman menghadpi hari terakhirnya dengan senyum merekah di bibir sambil
melontarkan 'Allahu Akbar'. Satu lagi seorang pejuang Hammas kembali dipanggil
keharibaannya menghadap rabbnya menyongsong taman Firdaus. Ribuan rakyat
Palestina berkabung hari itu. Langitpun ikut berduka mencurahkan deraian air mata
membasahi tanah peristirahatan terakhir seorang pejuang Islam.
"Wahai jiwa yang tenang, kembali
keharibaan tuhanmu dalam keadaan yang diridhai. MAsuklah menjadi golongan
hamba-hamba-Ku. Masuklah ke raman syurga-Ku".
(kutipan ADHIEL mahasiswa KAIRO)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar