Kamis, 23 Agustus 2012

JERUJI -JERUJI BESI

    "Assalamu`alaikum,boleh aku duduk?",Ucap seorang pemuda baya mengagetkan abangnya yang sedang termenung bertopang dagu disebuah bangku tua didepan rumah mereka sambil menatap jeruji-jeruji besi yang menancap kokoh nun jauh di sana sebagai tanda batas teritorial disebuah
daerah perbatasan Palestina - Israel


"Wa`alaikum salam,Eh Man,duduklah di sampingku!"Kata Abangnya sambil memberikan tempat untuk adiknya duduk.
"Oh ya, terima kasih"katanya sambil duduk di samping abangnya."Dalam seharian ini abang kelihatan selalu gelisah dan agak gundah. Apakah ada sesuatu yang abang pikirkan?", lanjutnya kemudian.
"Yaaaah....!" kata abangnya sambil melepaskan desahan berat yang menghambat rongga batinnya. Matanya masih tertuju menatap jauh memandangi jeruji besi itu, sembari mencoba untuk memperbaiki kondisi duduknya dengan lebih rileks.
"Iman...!, Kau sudah putuskan keputusan Abi dan Umi tempo hari?", tanya abangnya.
"Ya..., aku sudah putuskan, Insya Allah aku akan berangkat ke Naguib...", jawab Iman.
"Jadi kau siap menerima tawaran itu untuk menjadi delegasi perdamaian...?", tanya abangnya lagi.
"Bang Ahmad !, negara kita ini makin  terdesak, sudah terlalu banyak korban berjatuhan dari anak negeri ini, bahkan bocah yang tak berdosa harus ikut menjadi mangsa. Abang lihatkan bagaimana nasib Rami Al- Durra?. Aku takut anak-anak yang lain akan menjadi tumbal kebiadaban mereka. Makanya kita harus segera bertindak cepat mengambil inisiatif untuk mendapatkan solusi dan titik terangnya permasalahan ini, moga orang Israel mau mengerti...".
"Tapi Man..., orang Israel itu adalah manusia-manusia licik, sudah berapa banyak perjanjian diadakan, sudah berapa kali pertemuan dilangsungkan, namun apa hasilnya...?!. Kau tahu sendiri bukan berapa hari yang lewat sudah diadakan perjanjian Camp David dan Wye River, malah mereka sendiri yang melanggarnya".
"Yah, Aku mengerti, Bang.Aku paham. Tapi bukankah sekarang kondisi dalam keadaan sangat kritis?, negeri kita semakin dilanda krisis. Peperangan terjadi dimana-mana, anak-anak dan orang tua menderita, aku tak tahan mendengar pekik tangis mereka, mayat bergelimpangan di jalan-jalan, pemukiman kita sedang tengah dilanda aksi pembumihangusan, wanita diperkosa dan dibunuh secara sadis dan di sebagian mereka harus rela kehilangan mata, tangan bahkan kepala. Mereka diteror dan  dibantai secara massal sedangkan mayat mereka dibiarkan membusuk di atas tanah kelahiran mereka sendiri. Berbagai macam perlawanan sudah kita coba, namun toh hasilnya sia-sia, beberapa kali demonstrasi digelar, tapi sebanyak itu pula mereka harus kembali dengan kehilangan nyawa. Dan kita juga sudah coba melawan mereka dengan bergerilya, batu-batu menjadi saksi perjuangan kita. Tapi sampai dimana kita mampu mematahkan kekuatan tank-tank mereka, sedangkan AK-47 mereka selalu memuntahkan timah panas menumpahkan darah ke permukaan bumi yang kita cintai ini, kita tidak berputus asa, inilah satu-satunya alternatif yang kita harapkan, tidak ada jalan lain.....".
"Ya, aku tahu....,tapi aku mencemaskan, pertemuan ini akan menambah penderitaan kita dan negeri ini, kau lihat jeruji itu ?" kata abangnya
sambil menunjukkan jarinya ke arah jeruji kokoh yang ada di depan mereka, "Aku hanya khawatir jeruji-jeruji itu berangsur dan beringsut perlahan-lahan akan sampai ke sini dan buldozer mereka dengan leluasa merayap meraung-raung meraup segala apa yang ada di negeri ini. Kau lihat rumah kita yang reot? Abi dan ummipun sudah semakin renta, beliau tak akan kuasa menghadapi derita ini. Tapi semua ini berpulang kepadamu, akupun tahu kita berada di persimpangan, dan akupun menghargai prinsipmu. Ah...entahlah, hanya Allahlah yang tahu. Yang penting sekarang bagaimana kita harus tetap berjuang baik di medan laga atau di meja perundingan, dan yang penting kita harus tetap berjihad. Aku tetap mendukung pendirianmu, aku berharap moga kau berhasil, adikku".
     Tak lama sesudah itu sorepun menyapa negeri Ramallah tempat kedua tempat pemuda Hammas yang diliputi suasana perang. Cipratan kekuningemasan cahaya mentari di ufuk baratpun mulai memenuhi rongga langit negeri itu. Perlahan-lahan haripun mulai gelap, masih terlihat samar-samar jeruji besi itu di bawah sorot remang-remang lampu pos penjaga perbatasan nun jauh di sana. Yah...jeruji besi itu masih kokoh berdiri sekokoh pendirian dan cita-cita mereka, Palestina merdeka.
     Hari ini cauca cukup cerah, matahari bersinar terang. Tak ada gumpalan hitam yang menggelantung menutupi negeri Palestina hari ini. Tak seperti hari sebelumnya, tak ada jerit histeris, tak ada asap-asap mngepul dan tak ada bunyi letupan senjata. Hari ini pertikaian dan kontak senjata dihentikan untuk sementara, masing-masing pihak harus menahan diri, embargo diberlakukan karena hari ini Iman dan kawan-kawannya diberangkatkan dalam memenuhi undangan perundingan  damai dengan Israel. Memang kedua belah pihak sangat membutuhkan misi ini, sudah terlalu banyak korban berjatuhan dari kedua belah pihak. Koran berbahasa 'Ibranipun kemaren melansirkan di haluan berita utama tentang kerugian yang diderita Israel selama beberapa hari ini, jatuhnya beberapa korban di pemukiman Israel di wilayah Nablus, Nazhira dan Thybria serta tewasnya beberapa polisi di pos perbatasan oleh aksi gerilya mujahid Hammas di jalur Ghaza dan sebelah barat Tel-aviv. Untuk kepentingan kedua belah pihak bandara daruratpun dibuka untuk sementara setelah beberapa hari ditutup, baik penerbangan dari jalur regional ataupun internasional. Iman dan kawan-kawannya dilepas oleh keluarga mereka masing-masing. Tak lama kemudian pesawat khusus itupun mendarat dengan selamat walaupun mengalami keterlambatan be berapa jam dari waktu yang sudah ditentukan. Satu persatu anggota delegasi mulai menaiki tangga pesawat. Namun di sini Iman masih berdiri terpaku, ada perasaan aneh yang hinggap di pikirannya. Ditatapnya wajah ayah dan bundanya. Terbersit sorot duka yang terpancar dari wajah sayu ayah bundanya yang tercinta mengisyaratkan perpisahan mereka buat selama-lamanya. Akankah..."Ah...". Ditepisnya pikiran itu . Namun perasaan itu tetap melayang di pikirannya. Apakah Allah akan mengizinkan mereka untuk bertemu kembali?. Tak seperti biasanya jiwanya yang kokoh yang tersirat di balik tubuh tegar pemuda Hammas itu kini luruh berlinangan air mata. Ada firasat lain yang menyebabkan butiran itu menggelinding di pelupuk matanya. Tak tega rasanya ia meninggalkan ladang jihadnya, namun apa mau dikata tugas lain datang menyapa. Dipeluknya tubuh renta kedua orang tuanya itu. Teringat kembali kenangan mereka tempo dulu, berbagi suka dan duka bersama, berjuang bersama dengan anak negeri. Kini semuanya harus ia tinggalkan, tempat ia dilahirkan dan dibesarkan. Sekarang semua harus berakhir, tak ada ucapan yang ia lontarkan kecuali kata perpisahan di sela-sela isak dan tangis dengan terbata-bata mengalahkan sesak bathinnya dengan sagala curahan perasaannya. Iapun berbisik lirih.
     "Ummi, Abi, aku berangkat. Relakan aku pergi berjihad. Jangan tangisi kepergianku, jangan sesali perpisahan ini, jangan ratapi keadaanku sesudah ini. Aku sudah pasrahkan diri ini kepada Allah, biarlah Allah saja yang menentukan. Aku sudah ikhlas, walaupun suatu saat nanti kita harus berpisah untuk selama-lamanya. Kalau Allah berkehendak kita bertemu, tunggulah aku pulang dengan kemenangan dan kejayaan atau kalau tidak...tunggulah aku di pintu keabadian. Bersabar...mesti kita kan syahid di tiang gantungan atau tubuh ini ditembus timah panas atau meskipun kepala berpisah dari dada, nyawa berpisah dari badan. Tabahkan hatimu, kenang ku dalam do'amu. Selamat tinggal ayah bunda. Selamat tinggal Palestina...". Tak lama setelah berpamitan, kemudian mengharap do'a dari abang tercinta ia pun melangkah menuju tangga pesawat. Kembali ditatapnya ke belakang, masih dilihatnya ayah bunda dan abangnya melambaikan tangan berlinang air mata "Oh Tuhan...tegarkan hati hamba-Mu" desisnya perlahan. Akhirnya pesawatpun bergerak perlahan demi perlahan makin lama makin kencang kemudian pesawatpun tinggal landas menuju langit biru dan hilang menyibak gumpalan awan menuju sebuah negeri harapan, Naguib.     
          Seminggu telah berlalu perundingan telah berakhir, keputusan pun telah dihasilkan, tak dapat dipungkiri semua cita-cita dan harapan menjadi sia-sia. Benar dugaan, apa yang diharapkan Iman selama ini tandas begitu saja. Perjanjian menghasilkan keputusan yang getir bagi rakyat Palestina. Hak mereka kembali dirampas, sepertiga lagi tanah milik Palestina dicaplok dan digusur terutama daerah bagian perbatasan, termasuk didalamnya negeri yang ia cintai, Ramallah, Khalil dan Yifa hanya ada beberapa wilayah yang masih bisa dipertahankan mati-matian yaitu, al- Quds dan Yerusalem. Mereka memang serigala yang tamak dan licik. Tak satupun isi perjanjian yang mengarah kepada misi perdamaian. Mereka pandai bersiasat dengan tujuan untuk kepentingan pribadi. Mereka mau berdamai kalau al-Quds sudah berada di tangan mereka. Iman dan kawan-kawannyapun tak bisa berbuat banyak, hujjah mereka ditangkis dengan hujjah-hujjah dan dalil legitimasi hukum. Mereka mempersenjatai diri mereka dengan dalih HAM, butir-butir undang undang konstitusi PBB, historis teritorial, undang-undang pertahanan Internasional dan berbagai macam dalih-dalih licik lainnya. Namun apa yang bisa dijadikan landasan dalil bagi hujjah anak Palestina. Mereka hanya bicara diatas hati nurani tanpa konsep, berhujjah diatas jiwa yang bersih dan polos tanpa naskah. Mereka hanya bisa mendengar ocehan dari mulut-mulut berbisa, taktik licik dan busuk. Kini Iman hanya bisa berpangku tangan memikirkan hasil perundingan yang telah dicetuskan tempo hari. Pikirannya melayang jauh ke negeri yang ia cintai, apa gerangan yang terjadi setelah pasca perundingan selama tujuh hari yang telah lewat, secepatnya ia harus kembali berjuang di medan laga. Terbayang kembali olehnya wajah Abi dan Ummi diatas todongan senjata orang Israel, Terlintas dipikirannya bagaimana nasib ayah bundanya yang renta harus tengkurap di tanah dengan kedua tangan terbelenggu di leher dibawah bayang-bayang todongan AK-47nya orang Israel. "Oh... apa yang mesti kuperbuat ... aku harus kembali.......", ujarnya.
          Tepat jam 08.00 malam Iman baru saja selesai melaksanakan shalat Isya. Dicobanya untuk melintir tasbih pemberian abangnya lebih lama agar resah dan gelisah yang merayap di dadanya segera reda, namun bayang-bayang kepedihan itu tetap merayap di persendian tubuhnya. Kemudian dicobanya untuk bangkit dari sajadah ungu itu, diambilnya jaket lusuh yang tergantung didinding flatnya disebuah apartemen. Kemudian dicobanya melangkahkan kaki keluar menuju sebuah bangku taman yang rindang yang ada ditempat yang paling pojok di taman itu. "Ah..."dingin terasa merasuk ke tulang sumsumnya. Kembali berbagai macam pikiran merayap di rongga jiwanya . Belum pulih derita yang ia alami, pikirannya kacau dan gundah. Siang dan malam negeri tercinta selalu membayang di pelupuk matanya, apa yang telah terjadi?!. Di dalam permenungannya itu dicobanya untuk menerawangkan matanya ke seluruh penjuru taman. Namun samar-samar terlihat dari balik semak belukar yang ada di bangku taman, di balik rimbunan daun-daun ia melihat bangunan tua yang berbentang parit di sekelilingnya dengan aliran sebuah sungai kecil yang bermuara di hulu sungai Nil dan di sekitar gedung itu berdiri kokoh sebuah bangunan tua mirip sebuah gudang, dan bangunan tersebut dipagari oleh kawat berduri yang menancap tegar memagari area bangunan tua tersebut. "TWIN BUILD" samar-samar dibacanya tanda panah penunjuk arah yang sudah lusuh dan hampir roboh di ujung sebuah jalan. Bangunan kembar...?, terbayang olehnya cerita legenda kuno di mana tulisan itu mengingatkannya tentang sebuah markas pertahanan Amerika Serikat dalam menghadapi Uni Soviet dengan bintang lakon kenamaan JACK BISON. Seorang mata-mata Uni Soviet untuk Amerika yang akhir hidupnya dilalui dengan tragis tapi semua itu hanya sebuah ilustrasi antara sebuah hakikat dan sebuah legenda dari penulis cerita, seorang pujangga yang pandai merangkai kata. Dengan penuh selidik dicobanya untuk mendekati bangunan tua itu, bangunan yang menyerupai ornamen arsitektur campuran Prancis dan peraduan arsitektur Romawi kuno. Keheranannya semakin menggejolak di jiwanya ketika samar-samar ia mendengar sebuah jeritan kecil dan diiringi dengan sahutan erangan yang memilukan sayup-sayup terdngar dibawa oleh angin Desember yang dingin di malam itu sehingga keinginan hatinya untuk melihat bangunan itu semakin menggejolak untuk melihat ornamen itu lebih dekat. Namun tiba-tiba kakinya tertahan oleh sebuah teriakan dari seseorang yang memakai serdadu lengkap dengan senjata yang terpanggul di tangan. Terlihat di helmnya sebuah bintang kecil bersegi enam.
     "Come here, boy! I hope you don't go in this area" katanya agak ramah. "What happen there?" tanya Iman. "Go from here quickly! You understand? Shitt...!" katanya mulai kasar. Mendengar ocehan orang ini jiwa gerilya Iman mulai tersulut. Spontan, tinjunya melayang menghantam telak dan mendarat persis di pelipis kanan serdadu tersebut. Dan serdadu itu terhuyung beberapa jengkal ke belakang. Segera dicobanya untuk menghajar sekali lagi, namun serdadu itu dengan cepat mengarahkan moncong senjatanya ke hadapan Iman sambil berujar "OK, baby. Go from here please" katanya lebih lunak dari sebelumnya. dengan hati yang masih kesal akhirnya diturutinya juga perintah serdadu tadi. "OK, I'm sorry" ujarnya sambil memundurkan tubuhnya beberapa langkah, kemudian dia membalikkan tubuhnya menuju gedung apartementnya. Akhirnya sampailah ia di gedung bertingkat itu. Segera ditujunya box lift yang ada di sudut ruangan, namun tiba-tiba kakinya terhenti ketika melihat sebuah pintu besi yang bertuliskan "SECREET ROOM". Cat yang berwarna merah hati itupun sudah usang dan mulai terkelupas tak obahnya mirip sebuah gudang tertutup. Tertegun hatinya yang makin dipenuhi dengan tanda tanya. Apa maksud ini semua?, begitu rahasiakah sehingga tak seorangpun boleh menyingkapnya?. Tiba-tiba "Blash...!" pintu lift terbuka. Diliriknya jam melingkar di pergelangan tangannya "Sudah jam sepuluh". Tanpa berpikir panjang ditekannya tombaol 4 yang ada di dinding box, kemudia pintu lift tertutup, berjalan perlahan seiring dengan detik yang bergulir. Sampailah ia di kamarnya lalu merebahkan tubuh yang sudah letih itu. Dicobanya untuk memicingkan mata namun terbayang kembali di pelupuk matanya bagaimana nasib abi, ummi dan abangnya. Apa yang terjadi pada mereka? Gundah itu kembali merayap di tubuhnya.
     "Ah..." ia membangkitkan tubuhnya dari ranjang tersebut menuju ruang beranda sekedar untuk menenangkan pikirannya, menghirup udara segar Naguib di musim dingin tahun ini. Namun tiba-tiba redup lampu bangunan itu kembali nampak samar-samar dari kejauhan. Keheranannya semakin timbul. Kembali ditatapnya yang berjarak satu kilometer itu dari apartementnya. Sebuah mobil patroli melintas dan beberapa orang membukakan pintu yang berpagar kawat berduri yang terletak di sebuah jembatan besar dan mobil itupun menghilang di balik bangunan besar tersebut.
     "Ah..." tak kuat ia menahan kantuk yang mulai merayap di pelupuk matanya. Ia coba menghilangkan beribu pertanyaan yang menggelayut di benaknya dan ia coba untuk merebahkan badannya. Tak lama kemudian iapun tertidur pulas yang membawa ribuan pertanyaan yang menggoda jiwanya. Malam mulai larut, bulanpun mulai menatap malu di balik gumpalan-gumpalan awan dikelilingi ribuan bintang yang bercengkerama menatap seorang yang sedang hanyut dibawa oleh angin malam yang dingin, hanyut bersama impian-impian dan cita-cita yang terpendam nun jauh di sana di sebuah negeri yang terjajah, di sebuah negeri yang menharapkan suatu kedamaian, negeri yang diberkati. Jangkrik bernyanyi sendu menyanyikan lagu malam yang khas. Haripun kian larut menanti hari esok yang penuh harapan. Tak ada seorangpun yang tahu apa yang akan terjadi di esok hari tatkala sang mentari menampakkan wajahnya di ufuk timur.
     "Kring..." sebuah bel mungil berdering mengagetkan Iman yang termenung. Yah...sudah berapa klai hal ini ia lakukan?. Tersentak dari lamunannya, buru-buru ia membuka  pintu flatnya. Seorang teman sedelegasi dengannya berdiri sambil mengucapkan salam "Assalamu'alaikum..." sapanya, "Wa'alaikum salam warahmatullah, o... Yasin silahkan masuk!" ujar Iman. Yasin, salah seorang delegasi yang berasal dari daerah sebelah utara Ramallah, Hebron. "Ini ada surat untukmu, bacalah!" katanya sambil menyodorkan sepucuk surat. Dibacanya sampul depan surat tersebut: Muhayyar Ahmad. "Bang, Ahmad" seru bathinnya, "Dari mana kau dapat surat ini?" tanya Iman. "Salah seorang serdadu penjaga datang ke kamarku dan memberikan surat ini" jawab Yasin. "O ya terima kasih" sambut Iman. "O ya apakah ada berita untuk bahwa malam ini akan ada pertemuan" lanjutnya. "Pertemuan?!" sela Iman. "Ya pertemuan...,kemungkinan kita akan dipulangkan. Tapi aku tak tahu pasti tempatnya. Sungguh terus terang aku bingung. Mungkinkah kita pulang dengan tangan hampa? dan tak banyak yang sudah kita perbuat" jelas Yasin. "Ya begitulah kawan, kita mesti bersabar" lanjut Iman. "O ya aku harus permisi, aku harus mempersiapkan barang-barang kalau memang kenyataannya kita akan di pulangkan. Assalamu'alaikum...". Tak sabar dibukanya sampul tersebut. Sudah seminggu ia tidak mengetahui apa gerangan yang terjadi:
                   
          "Buat adikku Iman...
 Sudah seminggu kau pergi dari kami, selama itu pulalah kami           dirundung malang. Hasil pertemuan itu sudah kami dengar dan kami       ketahui. Sekarang kau sudah sadar bukan? Mereka itu bukanlah          manusia. Kau tahu?  Setelah hasil pertemuan itu beberapa wilayah       yang digusur bergejolak, demonstrasi besar-besaran pun terjadi.       Dan kau tahu bahwa abi...abi...syahid dalam kejadian itu. Aku       tak tahan melihat bagaimana keadaan abi waktu itu, keadaannya         sungguh mengenaskan, dua belas butir peluru bersarang di       tubuhnya yang sudah renta itu, bersimbah darah membasahi              bumi...kau bayangkan bukan? Dan ribuan anak-anak dan wanita       diungsikan ke tempat lain, ummipun waktu itu juga di antara       mereka. Nmaun sekarang ummi sudah di camp pengungsian lagi wahai       adikku. Beliau sudah berada di sebuah tempat yang aman,               beliau berada di bawah naungan dan ridha Allah. Seminggu setelah       kau berangkat, salah seorang warga Yahudi menembakkan senjata       membabi buta di camp tersebut. Semuanya menemui ajal di tempat       itu, termasuk yang terjadi pada diri ummi.
            Iman...
Ketika kau membaca surat ini, jangan kau menangis, jangan kau       bersedih, mereka telah berada di tempat yang berbahagia.       Berjanjilah wahai adikku, tetaplah berjalan di medan jihad.           Ketika aku menulis surat ini, aku berada di sebuah tahanan       bersama kawan-kawan kita yang lain. Telah banyak dari mujahid       Hammas yang ditahan dan dibunuh. Dan sampai saat ini aku tak       tahu harus berada di mana. Aku dipindahkan dari satu tahanan ke       tahanan yang lain, dari satu siksaan ke siksaan yang lain. Aku       merasa hidup ini tak kan lama lagi dan aku tak tahu apakah surat       ini akan sampai di tanganmu. Semuanya hanya dengan modal       tawakkal kepada Allah.
            Iman...
Bersabarlah...walaupun kau tak kan bertemu abi, ummi dan abangmu       lagi di dunia  menunggu kedatanganmu, kami       menyongsongmu di taman Firdaus ini. Tetaplah dalam jihad.
             Allahu Akbar..."

                                                                                                                    Tertanda
                                                                                                               Muhayyar Ahmad

"Yah...asumsi orang itu bisa saja. Tapi karangan yang saya ambil dari kisah pemuda yang bernama Iman itulah yang mengilhami saya dan hati saya merasa terinspirasi dengan semua itu. Anda boleh menceknya kembali di sebuah koran mingguan News week edisi ke enam bulan Desember beberapa tahun yang lalu". "Berarti bapak mencoba membongkar kebobrokan bangsa bapak sendiri?" kata salah seorang fotografer yang sedang membidik jepretan terbaiknya untuk suatu majalah mingguan. "Tapi cerita itu kan hanya sebuah rekayasa yang saya asumsikan sendiri, bukan berarti saya menjelekkan bengsa saya. Dan kenyataannya memang begitu, bukan?". "Apakah bapak tidak takut kalau bapak dijerat dengan undang-undang supersif dalam rangka menggulingkan kekuasaan perdna menteri yang baru dilantik beberapa bulan terakhir, sedangkan bapak aktif sebagai partai oposisi Israel?" tanya wartawan yang lain. "Silahkan tangkap saya kalau saya terbukti bersalah". "OK, Bapak sebagai orang penting di pemerintahan Israel bahkan beberapa tahun mengetahui seluk beluk pertahanan Israel, apa visi yang akan bapak lakukan ke depan?". "O...itu rahasia, suatu saat kalian akan mengetahui apa gebrakan yang akan saya lakukan untuk orang-orang Israel". "Maksud bapak untuk kemajuan Israel?". "Ya, kita kihat nanti. Aku sekarang sedang memfokuskan diri untuk menulis sebuah buku baru yang tak hanya menggetarkan seluruh Amerika, tapi akan menggoncang seluruh dunia. Dan sekarang masih dalam proses, yah...kita lihat saja nanti. Sekian, terima kasih".
     Begitulah hari-hari seorang pujanggawan penulis negarawan dan sesepuh ulung yang berkebangsaan Israel. Akhirnya buku yang dinanti-nanti tuntas sudah. Buku itu berisi tentang rahasia pertahanan Israel, markas pertahanan Israel, peta dan denah strategis serta pusat-pusat penelitian politik, ekonomi, pertahanan dan keamanan Israel yang ada di Wasingthon DC, Tel-Aviv dan wilayah lainnya. Buku yang berisi ribuan halaman itu dijilid menjadi satu. Buku ini menjadi salah satu dokumen terpenting dan sangat berbahaya jikalau diketahui oleh musuh-musuh Israel. Seperti hari-hari biasa, kesibukan Mr. Ben Ashraph  dalam jumpa pers konferensi, seminar selalu hadir di tengah-tengah kehidupannya. Namanya pun mencuat sebagai calon kandidat perdana menteri yang akan datang. Namun masa begitu mudah membalikkan kisah hidup seseorang. Siang itu setelah seharian disibukkan oleh berbagai macam kegiatan beberapa orang serdadu mendatangi ruang apartementnya di sebuah kawasan elit sambil menyodorkan sepucuk surat "Bapak disuruh datang ke markas besar. Besok akan diadkan sebuah pengadilan akbar". "Apa maksud semua ini?" tanpa menghiraukan pertanyaan Mr. Ben serdadu itu memborgol kedua pergelangan tangannya sambil membawanya masuk ke dalam mobil patroli. Mobil itupun meluncur.
     Jam delapan pagi tepat waktu setempat pengadilan itu telah dibanjiri oleh media masa seluruh dunia. Pengadilan ini adalah pengadilan kedua terbesar sepanjang abad ini setelah pengadilan seorang berkebangsaan Uni Soviet yang bernama Jack Bison. Maklum sang terdakwa adalah seorang yang sangat berkedudukan penting di sebuah pertahanan Israel. Jerat dakwaan dimulai dengan peluncuran sebuah buku supersif yang dikarangnya tempo hari. Kemudian jerat dakwaan berikutnya adalah peluncuran buku yang baru ia karang ribuan halaman sehingga mengakibatkaninstabilitas politik Israel dengan judul 'PHALESTINE FOR WHO' dan jerat dakwaan yang terakhir adalah jerat dakwaan yang sangat memilukan yang mengakibatkan vonis hukum mati adalah hasil riset intel Israel yang menyatakan bahwa Mr. BEN ASHRAPH adalah seorang pemuda yang bernama IMAN MUSTHAPHA KAMEEL. Seiring dengan dkwaan selesai dan vonispun telah diputuskan. Sebelum meninggalkan ruang sidang, Mr. Ben dipersilahkan untuk memberikan bebrapa patah kalimat sebagai kata-kata terakhir.
     "Hari ini ribuan media masa memadati ruangan ini. Jutaan manusia sedang menatap wajah asli saya. Alhamdulillah...rahasia telah saya ungkapkan. Sekarang semua telah saya rangkum menjadi sebuah buku, berebagai rahasia telah saya dapatkan. Tugas saya telah selesai. Ketahuilah wahai dunia, bahwa saya adalah seorang anak manusia yang tertindas. Ayahnya dibunuh di negerinya yang ia cintai, ibunya dibantai di sebuah camp pengugsian di Palestina, sedangkan saya ditipu sebagai aksi balas dendam orang Israel. Kelicikan harus dibalas dengan sebuah kelicikan. Buku itu telah disebarkan oleh salah seorang negarawan Mesir dan telah dibaca oleh ribuan pemuda-pemuda Islam yang sedang belajar di negeri itu. Mereka akan mempersiapkan suatu revolusi yang besar, kemerdekaan Palestina. Buku itu yang akna menjadi pemandu mereka dalam menjatuhkan kekuasaan Israel di jagat raya ini. Kisah kembali kan berulang, orang Israel akan keluar dari Palestina sebagai mana kisah Nabi kami mengeluarkan orang Yahudi dari Madinah. Wahai dunia, saya akan berkata hanya sekali. Saya ungkapkan kepadamu wahai Amerika, di mana letak hati nurani kalian? Ribuan warga terbunuh, ribuan rumah dibakar, ribuan anak dibantai. Di mana kehebatan kalian yang diagungkan sebagai negeri yang menghormati HAM sebagai polisi dunia, sebagai penjaga keamanan. Tapi semua itu tak akan menjadi masalah. Allah masih berkehendak sesuai dengan keinginannya. Aku masih diberikan kemampuan hidup stelah aku dihanyutkan di sebuah sungai. Akhirnya aku terdampar, dan negarawan Mesir itulah yang membantuku sampai anda melihat saya di tempat ini".
     "Wahai pemuda Islam, kalian adalah pelanjut Hammas di masa depan. Siapkan mental untuk berjuang, jangan mundur walau apapun keadaannya. Sambutlah fajar kemenangan di Palestina, sambutlah pekik takbir 'Allahu Akbar', hancurkan rahasia pertahanan Israel niscaya mereka akan kalah dan binasa. Saya bicara di sini hanya sekali. Inilah hari bahagiaku dalam menyongsong kepergian ayah bunda dan kakak kandungku. Selamat tinggal semuanya...terima kasih". Kemudian mereka membawa Iman menuju luar sidang ke sebuah tempat di sebuah kursi listrik. Aruspun dialirkan. Akhirnya di sana Iman menghadpi hari terakhirnya dengan senyum merekah di bibir sambil melontarkan 'Allahu Akbar'. Satu lagi seorang pejuang Hammas kembali dipanggil keharibaannya menghadap rabbnya menyongsong taman Firdaus. Ribuan rakyat Palestina berkabung hari itu. Langitpun ikut berduka mencurahkan deraian air mata membasahi tanah peristirahatan terakhir seorang pejuang Islam.
     "Wahai jiwa yang tenang, kembali keharibaan tuhanmu dalam keadaan yang diridhai. MAsuklah menjadi golongan hamba-hamba-Ku. Masuklah ke raman syurga-Ku".



(kutipan ADHIEL mahasiswa KAIRO)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar