Kamis, 14 Juli 2016

SEBUAH JANJI

Titian bisa lapuk, janji bisa mungkir
Janji yang tidak ditepati oleh pembuat janji
(Peribahasa)

Sekitar tahun 1970-an, di kota kecil di Jawa Barat, seorang anak laki-laki berusia belasan tahun  berangan-angan memiliki mobil. Pada masa itu pemilik mobil hanyalah orang-orang berduit saja.
“Bapak, aku ingin punya mobil!” rengek anak itu kepada bapaknya yang sehari-hari bekerja sebagai petani.
Bapaknya sendiri menyadari kemiskinannya, rasanya tidak mungkin mampu membeli mobil. Makan saja susah. Akan tetapi, anaknya terus merengek.
Anehnya, saking sayangnya pada anak, bapaknya tidak tega menolak kemauan anaknya ini. Untuk menyenangkan hatinya, maka ia berkata kepada anaknya,“Ya Nak, Bapak belikan nanti, ya!”
Si anak laki-laki senang bukan main. Mimpinya tak lama lagi akan terwujud!  Setiap hari ia menunggu hadiah mobil kesayangannya.
Setiap ia ingat mobil, ia pasti segera menagih kepada Bapaknya,”Pak, mana mobilnya. Aku sudah tidak sabar untuk menyetir mobil keliling kota!”
Bapaknya kembali menyahut perlahan,”Iya Nak, pasti Bapak belikan!” Si anak kembali senang bukan main.
Bulan demi bulan lewat, tahun demi tahun berlalu, tetapi mobil tak kunjung terwujud juga. Kembali si anak menagih dengan menangis kepada Bapaknya,”Bapak, mana mobilnya! Bapak bohong! Pokoknya besok mobil harus ada!”
Si Bapak terdiam, ia tercenung, ada rasa menyesal memberi janji, tapi telanjur. “Ya Nak, tunggu saja besok, pasti mobil itu sudah ada di depan rumah kita!” Si anak berteriak senang,” Wow! Mobil, mobil!”
Beberapa hari kemudian manakala si anak keluar rumah, ia melihat kursi terbuat dari bambu, tetapi di matanya kursi itu laksana mobil! Lalu dinaikinya kursi itu sambil bergaya tengah menyetir mobil, putar kiri putar kanan, sambil berseru breeeemmm...breeeeeeemmm!!
Ketika bapaknya melihat hal ini, awalnya biasa saja, karena pikirnya anak itu masih kesengsem ingin punya mobil. Akan tetapi, lama-kelamaan tingkah lakunya semakin aneh. Kini anak laki-laki ini bergaya seperti membawa mobil ke tengah jalan, ke tengah pasar, ke mana saja ia mau.
Orang-orang yang melihatnya kaget, tercenung, kasihan. Ternyata anak ini sudah gila! Khayalan ingin punya mobil telah merusak pikirannya!
Kini masyarakat yang melihatnya seolah mendapat hiburan. Setiap anak ini bergaya membawa mobil di tengah keramaian, apalagi ke tengah pasar, maka orang-orang yang melihatnya berteriak seru: Maju! Maju!
Mendengar teriakan ini anak itu langsung maju setengah berlari. Kemudian terdengar teriakan lain: Atret! Atret! Mendengar teriakan ini, anak ini langsung berlaga mundur. Sejak itu anak yang telah menjadi gila tersebut dipanggil Atret!
Cerita di atas merupakan kisah nyata yang saya lihat sendiri ketika saya masih SD.  Sangat menyedihkan. Bisa-bisanya orangtua berjanji tanpa melihat kenyataan hidup. Tidak menyadari siapa dirinya.
Menyayangi anak tidaklah salah, tetapi mengucapkan janji palsu pada anak sendiri, bisa jadi berdosa. Pepatah mengatakan, janji adalah utang. Berjanjilah sesuai dengan kemampuan, baik dari sisi biaya, waktu, dan kondisi yang ada.
Alangkah baik bila berterus-terang, apa adanya, sebab anak tahunya menerima saja. Anak hanya mengingat janji yang ditepati, sebab anak sangat percaya pada orangtuanya.
Tanpa disadari, mengabaikan janji berpengaruh buruk pada sisi kejiwaan anak. Jadilah orangtua yang bijak,  baik dalam berbicara maupun bertindak.
Selain itu, orangtua harus belajar memahami dan menyelami jiwa anak. Bisa jadi anak itu bermula dari stres berkepanjangan, berlanjut depresi, akhirnya gila.
Perubahan-perubahan ini lolos perhatian orangtua ini. Bisa jadi karena ketidaktahuan sebagai orang desa mengenai perkembangan jiwa anak. Mungkin juga dibiarkan saja dengan perkiraan ”tidak apa-apa”.
Dalam psikologi populer disebutkan 10 karakter manusia yang berpengaruh pada orang lain. Kesepuluh tipe tersebut, yaitu tipe Split Mirror, tipe Mirage, tipe Fire Tongue, tipe Stork Bird, tipe Soybean, tipe Empty Vat, tipe Long Nose, tipe Faucet, tipe Rumpled Yarn, tipe Gecko.
Tipe-tipe tersebut memiliki ciri khas tersendiri. Akan tetapi, di sini tidak akan dijelaskan satu persatu, tetapi yang paling pas bila dikaitkan dengan makna kata “janji" yaitu tipe Soybean.
Orang dengan tipe Soybean mudah memberi janji, meluncur begitu saja dari mulutnya. Anehnya, tipe orang seperti ini mudah pula ingkar janji. Ada saja alasan yang keluar untuk mengingkarinya.
Luarbiasanya, bila ia ingkar janji, sikapnya biasa-biasa saja. Tidak merasa  bersalah. Tipe seperti ini sulit dipercaya dalam segala hal. Lidah memang tidak bertulang. Janji menyangkut nama baik, menyangkut kepercayaan. Mencederai janji, mencederai kepercayaan.
Berkaitan dengan janji, berikut ada kisah nyata yang bisa menjadi teladan buat kita semua.
Ada seorang ayah yang selalu berkata kepada anaknya sebelum berangkat ke sekolah: Anakku, apa pun yang terjadi, Papa akan selalu bersamamu!
Suatu ketika terjadi gempa tahun 1988 berkekuatan 6,9 skala Richer yang memporakporandakan negara Armenia (bagian dari Uni Soviet waktu itu). Gempa luarbiasa ini mengakibatkan 45.000 warga Armenia meninggal. Saking dahsyatnya, Uni Soviet menetapkan Hari Berkabung Nasional.
Gempa dahsyat ini pun ikut meruntuhkan gedung sekolah tempat anaknya belajar. Sang Ayah segera berlari ke sekolah anaknya tersebut.
Dilihatnyalah seluruh bangunan sekolah sudah runtuh dan menimpa seluruh murid yang berada di bawahnya. Harapan hidup sudah tipis. Semua orang yang melihatnya pun sudah putus asa. Pasrah.
Melihat tragedi ini Sang Ayah menangis histeris. Ia tidak menyangka musibah menimpa anaknya. Dalam keputusasaan tiba-tiba ia teringat, setiap berangkat sekolah ia selalu berkata kepada anaknya: Anakku, apa pun yang terjadi, Papa akan selalu bersamamu!
Tiba-tiba semangatnya tumbuh kembali, rasa putus asa ia singkirkan. Sang Ayah segera berlari menghampiri reruntuhan bangunan kelas anaknya belajar. Dengan tangannya ia mengangkat reruntuhan batu-batu dan puing-puing satu persatu.
Orang-orang yang ada di situ sudah mengingatkan pecuma saja usahanya ini. Akan tetapi, Sang Ayah tidak menghiraukan imbauan orang-orang di sekitarnya. Sang Ayah selalu teringat janjinya kepada anaknya: akan menyertai dalam situasi apa pun.
Satu jam, dua jam, terus berlalu hingga akhirnya sampai 18 jam Sang Ayah masih mengangkat puing-puing bangunan itu!
Lalu tiba-tiba Sang Ayah mendengar lamat-lamat suatu suara anak kecil di bawah reruntuhan itu. Suara yang sangat dikenalnya! Kemudian ia berteriak: Armando!!! Tiba-tiba terdengar suara lemah di bawah reruntuhan: Papaaaa!!
Mendengar suara anaknya ini Sang Ayah semakin bersemangat mengangkat puing-puing untuk menyelamatkan anaknya. Terbukti anaknya masih hidup! Bahkan di dalamnya ditemukan lagi 14 anak yang juga masih hidup!
Sang Ayah dan anak saling berpelukan histeris. Sang Ayah sambil menangis kembali berkata: Anakku, apa pun yang terjadi, Papa akan selalu bersamamu!
Sebaliknya, Armando  berkata lagi kepada teman-temannya yang msih hidup: Benar ‘kan, Papaku pasti datang untuk menyelamatkan kita!
Cerita nyata yang sangat mengharukan. Kita dapat memetik kisah gigihnya seorang ayah memenuhi janjinya. Ia merasa bertanggung jawab dengan janji yang diucapkannya dan tertantang untuk membuktikannya.
Kita merindukan sosok ayah sebagai pelindung, penjaga, dan sumber pengharapan di kala susah. Kita merindukan sosok ayah yang konsisten, lembut, tidak bersikap kasar, disegani, dan dipercaya. Seorang ayah yang berani mengambil risiko apa pun demi menjaga anaknya.
Kepada siapa lagi seorang anak berkeluh-kesah selain kepada orangtuanya sendiri?
Seorang ayah memang sangat disarankan menjadi teladan bagi anak-anaknya sendiri. Tidak ada yang lebih berbahagia bagi seorang ayah ketika dikagumi oleh anaknya sendiri, baik dalam sikap maupun perbuatan.
Sebaliknya, tidak ada yang lebih berbahagia bagi seorang anak ketika orangtuanya berkata kepada anaknya: Ayah bangga punya anak sepertimu, Nak!”

JUST SHARE : http://edukasi.kompas.com/read/2016/06/29/12305241/janji

Tidak ada komentar:

Posting Komentar